40. Restu yang Tak Didapat

2.3K 289 220
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

***

Sekuat apapun kita berusaha, jika memang tidak ditakdirkan bersama. Maka kita tidak akan pernah bisa bersatu. Begitu pun jika kita berusaha untuk saling menjauh, jika memang ditakdirkan bersama. Maka akan menjumpai titik temu.

Pinta [Terakhir]
Rani Septiani

***

Araz mengacak rambutnya. Ia terus saja beristighfar. Berusaha menghilangkan emosi yang mulai tumbuh di hatinya. Ia tidak ingin emosi membuatnya justru bertindak yang tidak-tidak dan berakhir penyesalan. Segera ia bangkit untuk mengambil air wudhu dan mulai membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Setelah merasa lebih tenang, Araz menghentikan bacaannya. Dan meraih ponsel di atas nakas. Ia melirik jam ternyata sudah jam sepuluh malam.

Setelah teleponnya dijawab, ia segera mengucap salam. Dan orang di seberang sana menjawab salamnya.

"Bagaimana? Kapan rencananya kamu mau ngelamar Kayla sama papa dan mama?" tanya orang di seberang sana yang sedang berada di rumah tetapi lebih tepatnya ia sedang berada di ruang kerjanya.

"Itu masalahnya, Mas. Papa dan mama tidak memberi restu," ucap Araz. Hatinya sangat sakit saat mengetahui fakta ini.

Refleks Adit menjatuhkan bisnis file yang sedang dipegangnya. Ini yang Mas khawatirkan, Raz. Saat pertama kali bertemu Kayla di taman denganmu. Mas langsung bertanya apa pekerjaannya. Dan Mas bertanya apa kamu yakin? Itu karena Mas tahu ini akan terjadi. Batin Adit.

"Mas?" panggil Araz saat tak mendapat respon apapun.

"Alasannya apa? Karena Papa dan Mama menginginkan menantu seorang dokter juga kan?" tanya Adit membuat Araz mengerutkan keningnya.

"Mas tahu dari mana?" Alih-alih menjawab. Araz justru balik bertanya.

"Dulu sebelum Mas memutuskan untuk angkat kaki dari rumah. Mas pernah mendengar obrolan papa dan mama yang mengatakn ingin anak-anaknya menjadi seorang dokter dan memiliki menantu seorang dokter juga," jelas Adit membuat Araz mengembuskan napas kasar.

"Astaghfirullah. Bagaimana bisa? Sedangkan yang menentukan jodoh setiap hamba itu adalah Allah." Araz memberikan tanggapan.

"Tapi satu hal yang Mas nggak tahu. Kenapa mereka ingin menantu seorang dokter. Apa kamu tahu alasannya?" tanya Adit. Siapa tahu dengan mengetahui alasannya. Araz bisa mencari peluang untuk membujuk orang tuanya agar bisa menerima Kayla.

"Saya sudah tanya. Tapi papa dan mama tidak memberi tahu," jawab Araz lirih. Ia bingung, bagaimana cara memberi tahu orang tua Kayla dan Kayla tentang perkara ini. Araz menyesali segala tindakannya. Seharusnya ia memberi orang tuanya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk datang ke rumah Kayla. Semua ini di luar dugaannya. Ia mengira orang tuanya tidak akan mempermasalahkan soal pekerjaan Kayla karena menurut Araz tidak ada yang salah dengan menjadi seorang penulis. Justru ia ingin bisa menjadi seorang penulis juga karena dengan begitu, ilmu yang dibagikannya bisa bermanfaat dan menjadi amal jariyah.

"Raz. Kamu denger Mas?" tanya Adit untuk yang kesekian kalinya membuat Araz tersadar.

"Terus langkah kamu selanjutnya apa?" tanya Adit.

"Saya tidak mau menyakiti Kayla, Mas. Tapi biar bagaimana pun, Kayla dan orang tuanya harus tahu perkara ini. Saya tidak mau menggantungkan mereka tanpa sebuah kepastian. Saya tahu, pasti banyak lelaki baik di luar sana yang juga menaruh hati pada Kayla," ujar Araz pasrah. Baru kali ini ia berurusan dengan yang namanya cinta.

"Hei! Lo nyerah? Ayolah Araz. Jangan kayak gini. Bahkan lo belum berjuang. Masa iya udah mau nyerah. Saran Mas lebih baik lo emang jujur sama keluarga Kayla. Dan lo harus berjuang dengan ngeyakinin papa dan mama. Gue yakin pasti semua ini ada solusinya." Nasihat Adit.

Apa iya gue harus ikut campur untuk hal ini? Gue cuma mau Araz bahagia. Udah cukup selama ini dia jadi robot dengan ngikutin semua yng diinginkan papa dan mama. Gue tahu pasti mereka ingin yag terbaik. Tapi bukan gini caranya. Batin Adit. Lalu ia beristighfar. Biar bagaimana pun, mereka tetap orang tua yang harus dihormati.

***

Saat jam makan siang tiba, Araz bergegas melaksanakan shalat dzuhur lalu ia menuju taman rumah sakit untuk menelpon orang tua Kayla.

"Assalamualaikum, Pak Fadhlan. Saya Araz."

"Waalaikumussalam, Nak Araz."

"Sebelumnya saya ingin meminta maaf kepada Pak Fadhlan, ibu Tiara dan juga Kayla. Saya sudah memberi tahu orang tua saya, tetapi mereka tidak memberi restu. Namun, saya tidak menyerah juga tidak akan membantah orang tua saya. Saya akan berusaha untuk meyakinkan orang tua saya, Pak. Saya tidak akan memaksa untuk menyuruh Kayla menunggu saya. Jika memang ada lelaki lain yang memiliki niat baik pada Kayla. Saya ikhlas." Setelah mengatakan itu, Araz merasa separuh bahagianya sudah ikut terbang bersama angan yang sudah ia bangun. Hatinya hancur saat mengakan itu.

"Tidak apa-apa, Nak Araz. Sebagai orang tua saya hanya bisa mendo'akan yang terbaik untuk Kayla dan juga untuk kamu. Sebentar saya panggilkan Kayla dulu ya."

Araz merasa jantungnya berdebar di luar batas normal. Bukan karena efek jatuh cinta. Melainkan ia tidak tega menyakiti gadis yang dicintainya.

Kayla mengucap salam dan Araz membalas salam itu. Tiba-tiba lidahnya terasa kelu untuk menjelaskan. Sementara Kayla masih menunggu. Sebenarnya Kayla sudah diberi tahu oleh orang tuanya. Hatinya tidak bisa dibohongi, ia merasa sedih saat tahu orang tua Araz tidak memberi restu.

"Dokter Araz jangan merasa bersalah sama saya. Saya akan berusaha untuk mengerti," Kayla menarik napas lalu mengembuskannya berusaha menahan tangis, "Sekuat apapun kita berusaha, jika memang tidak ditakdirkan bersama. Maka kita tidak akan pernah bisa bersatu. Begitu pun jika kita berusaha untuk saling menjauh, jika memang ditakdirkan bersama. Maka akan menjumpai titik temu. Jadi Dokter jangan khawatir. Seperti yang Dokter sampaikan pada ayah saya. Saya pun ikhlas jika memang Dokter bukan jodoh saya." Air mata Kayla lolos begitu saja. Segera ia menghapus air matanya.

"Saya akan berjuang semampu yang saya bisa. Tapi saya tidak bisa menjanjikan apapun. Karena saya tidak ingin menyakiti Mbak Kayla terlalu jauh," jawab Araz. Matanya mulai memerah. Ia tahu Kayla sedang menangis karena suaranya terdengar berbeda. Hati perempuan mana yang tidak sakit saat tahu tidak mendapat restu untuk menikah?

"Saya nggak melarang jika memang Dokter mau berjuang. Tapi satu pesan saya, jangan sampai perjuangan Dokter itu menyakiti orang tua Dokter. Saya nggak ingin menikah dengan restu yang didapatkan karena terpaksa. Menikah itu ibadah dan saya ingin memulai semuanya dengan cara baik-baik pula," ungkap Kayla membuat Araz kian mengaguminya. Bahkan saat ini Kayla tetap memikirkan perasaan orang tua Araz.

"Maukah Mbak Kayla berjuang bersama saya? Kita akan berjuang tanpa memaksa dan menyakiti siapapun. Apapun hasil perjuangan kita nanti. Saya akan terima."

Kayla tersenyum, "Akan saya coba untuk berjuang bersama Dokter untuk meyakinkan orang tua Dokter."

***

Bagaimana part ini? Sedih ya mereka nggak dikasih restu. 😢

Tag me on instagram @ranisseptt_ if you share quotes from this story.

Jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan yang utama.

Pinta [Terakhir] | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang