Hy....
Udah lama banget nggak ngusik dan update cerita ini. Setelah sekian lama aku akhirnya bisa kembali menjalani hobiku ini.Happy reading semua..
Jangan lupa vote dan komen ya fren
-oOo-
Malam itu langit seolah menutup eksistensinya, mengiringi langkah lunglai Athaya menuju ruang IGD, tempat dimana Ayahnya sedang ditangani dengan serius oleh dokter. Sedangkan Athala di sampingnya berusaha menyeimbangi langkah Athaya yang wajahnya sudah pucat pasi. Sesekali ia menggapai dan mengelus surai hitam lebat milik kekasihnya itu.
"Ayah kak, Ayah gimana? Ayah baik-baik aja kan kak? Ayah nggak kenapa-napa kan?"
Dengan sigap cowok berkaus hitam itu membawa Athaya ke dalam pelukannya. Merasakan degup jantung serta lemasnya tubuh cewek yang kini membalas pelukannya dengan tangan gemetar. Bahkan kedua telapak tangan Athaya sudah mendingin saking tingginya rasa takut yang saat ini dialami oleh cewek tersebut.
"Aya..., Om Adam baik-baik aja kok," kata Athala sambil mengurai rambut panjang Athaya yang tidak begitu rapi. Suara cowok itu bahkan mengalun dengan nada penuh keraguan, matanya kemudian menilik pintu ruang IGD yang tertutup malam itu. Lalu pandangannya kembali jatuh pada Athaya yang raut wajahnya semakin berantakan.
Begitu pintu kaca di depannya terbuka, Athaya cepat-cepat menghampiri sosok dengan jas putih yang kini berdiri tepat di depannya.
"D-dok, ayah gimana?"
Suara lemah bercampur rasa cemas itu membuat Athala merangkul Athaya dari samping. Hatinya ikut teriris bahkan hanya ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Athaya.
Helaan nafas laki-laki paruh baya dengan name tag Dr. Andi Setiawan itu membuat tubuh Athaya kian lemas dan mendingin.
"Benturan keras di kepala Dokter Adam sangat fatal. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi takdir berkata lain. Dokter Adam sudah dinyatakan meninggal dunia saat perjalanan menuju rumah sakit."
Dalam diam yang penuh kepahitan, Athaya terduduk di lantai rumah sakit yang dingin. Pandangannya mengabur seiring Air matanya yang menetes, membasahi wajah perempuan itu.
"Kak, selesai semuanya. Semuanya udah selesai. Nggak ada gunanya aku hidup, aku ngerasa ikut pergi bareng Ayah. Rasanya jiwa aku ikut mati kak, hiks."
Detik berikutnya, Athala langsung mendekap Athaya dengan erat. Membiarkan perempuan itu menumpahkan semua kesedihan di dalam pelukannya. Athala mengusap punggung Athaya yang semakin bergetar hebat, tangis cewek itu pun akhirnya pecah. Berhasil mengobrak-abrik hati Athala yang hampir saja ikut menumpahkan air matanya.
"Sakit banget kak, hiks. Aku nggak punya tujuan hidup lagi."
Dari lorong sebelah kanan, Alin dan Viona berlari menghampiri Athaya dan Athala. Bunda dan Ayah Athala pun ikut berjalan tergesa-gesa di belakang kedua sahabat Athaya itu.
Keempat orang yang baru datang itu menyorot Athaya dengan pandangan lembut. Otak mereka masih mencerna apa yang terjadi sebenarnya. Sampai pada akhirnya mereka menatap Athala, sedangkan cowok itu membalas tatapan dengan kepala menggeleng lemah.
"Banyak cara lain untuk meninggalkan, tapi kenapa ayah harus milih kematian kak?" tanya Athaya dengan suara parau, hal yang membuat Athala mendekapnya lebih erat daripada sebelumnya.
"Aya..., G-gue," Viona membuka suara, tapi setelahnya ia tidak bisa lagi melanjutkan ucapannya saat menatap raut muka Athaya yang seperti tidak ada kehidupan lagi.
Begitupun juga dengan Alin yang berusaha untuk berdiri di samping Athaya. Tidak sedikitpun membuka suara, karena ia tahu hanya kehadiran merekalah yang sebenarnya dibutuhkan oleh Athaya saat ini.
***
Gerimis mengiringi pemakaman ayah Athaya. Doa-doa terus dilantunkan oleh orang-orang untuk cinta pertamanya itu. Athaya masih belum seratus persen mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada hidupnya. Ia masih saja terus menangis sampai detik ini.
Ucapan belasungkawa dari rekan-rekan kerja dan kerabat Ayahnya tak henti menyapa Athaya sedari tadi. Seolah-olah mereka berusaha membuat ia tersadar bahwa Ayahnya benar-benar sudah pulang tanpa akan kembali.
Sebuah ketidakpercayaan yang begitu besar saat menyaksikan jasad Ayahnya yang kini menyatu dengan tanah. Sesuatu hal yang tak seujung kuku pun tertera di lembaran rencana masa depannya.
Ditinggalkan oleh bundanya dari semenjak ia dilahirkan ke dunia. Sekarang ia harus menelan bulat-bulat kenyataan pahit, bahwa ayahnya pun meninggalkan dia di saat umurnya belum genap tujuh belas tahun. Meninggalkan dia tanpa pulang, pun hilang yang tak akan lagi datang.
Athaya Teresha. Perempuan yang dipaksa dewasa sebelum waktunya.
Bunda Ana dari awal acara pemakaman sangat setia mendampingi Athaya. Memeluk, mengusap, bahkan membisikkan beberapa kalimat penenang untuknya. Athala pun ikut berdiri di sampingnya tanpa satu patah kata pun yang keluar dari mulut cowok itu.
"Aya nggak bisa bunda." Begitulah jawaban Athaya saat Ana menawarinya untuk menaburkan bunga mawar di atas makam Ayahnya. Namun, atas pengertian yang diberikan oleh Ana, akhirnya tangan Athaya bergerak menaburkan bunga tersebut di atas gundukan tanah di depannya.
Athaya tersenyum getir, memaksakan diri untuk bisa terlihat baik-baik saja meskipun tidak akan pernah bisa. Ia terduduk, lalu mencium papan nisan bertuliskan nama laki-laki yang selama ini membesarkannya dengan penuh ketulusan dan kasih sayang.
"Terima kasih enam belas tahun paling spesialnya Ayah. Selamat jalan, selamat abadi meskipun tidak akan pulang lagi."
***
Kosong, hampa dan sunyi. Begitulah deskripsi paling sederhana untuk tiga hari yang dilalui oleh Athaya tanpa sosok Adam di hidupnya. Kini, ia berada di depan rumah, mengantar Om dan Tantenya yang hari ini akan pulang lagi ke Bandung.
"Aya, beneran nggak mau ikut tante sama om aja ke Bandung?" Feni memastikan kembali untuk kesekian kalinya. Tidak tega meninggalkan keponakannya sendiri di sini.
Abdi mengangguk, mengiyakan ucapan istrinya. "Om juga masih keberatan ninggalin Aya di sini sendiri."
Athaya tersenyum, berusaha senatural mungkin. "Nggak apa-apa Om, Tante. Aya di sini aja, kan masih ada Bibi nanti yang nemenin."
Feni kemudian tersenyum haru, lalu membingkai wajah Athaya dengan kedua tangannya. Mencium kening keponakannya itu lamat-lamat.
"Om sama Tante bakal sering nengokin Aya ke sini nanti. Aya jaga diri baik-baik ya, kalo ada apa-apa cepet kabarin tante sama om."
"Bi, saya sama Feni titip Aya ya. Kalo ada apa-apa langsung telfon saya," perintah Abdi yang langsung diangguki dan diiyakan oleh Bi Muti.
"Hati-hati ya Om, tante," kata Athaya setelah menyalimi keduanya. Kemudian melambaikan tangan seiring pajero berwarna putih itu melesat dari kediamannya.
Lembaran dan awal kehidupan Athaya tanpa sesosok orang tua benar-benar akan dimulai sepertinya. Namun masih ada satu harapan yang kini berusaha ia sematkan pada cowok yang akhir-akhir ini menemaninya. Athala.
Semoga segala harap tak berujung kecewa nantinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/205191968-288-k513981.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALA
Teen FictionDia tetap jatuh cinta paling bahagia. Meskipun di akhir cerita, aku menyakitinya karena harus.