Bismillahirrahmanirrahim....
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh....
Andra & Zaida, comback!
Afraz & Rachel 🍁Menjawab salam itu wajib 😄
Untuk part ini, ada beberapa tentang penjelasan medis, maaf jika terdapat kesalahan ya... Hehe. Mohon dikoreksi, siapa tau ada ahlinya yang baca cerita ini.
(✿ ◕‿◕) ᓄ
Ini sudah hari ke tiga, Andra dan kawan-kawan, meninggalkan pondok pesantren. Selama itu pula, hidup Zaida menjadi lengang.
Biasanya Zaida akan mengajar Gisel jika sore-sore seperti ini. Zaida akan begitu semangat mengajar karena Gisel yang sangat antusias untuk mengetahui Ilmu agama Islam.
Zaida menatap jendela kaca di depannya. Jendela itu menyuguhkan pemandangan, hiruk pikuk kota di bawah sana. Kaca jendela itu di hiasi dengan percikan air hujan yang lebat di luar sana. Kota ini masih sama seperti tujuh tahun yang lalu. Jujur saja, Zaida sedikit takut karena harus menginjakkan kaki di kota ini lagi. Setelah tujuh tahun ia selalu menghindar. Zaida pikir, sekarang percuma ia pergi, di pondok pesantren pun ia sudah bertatap dengan orang-orang di masa lalunya.
Perempuan bercadar itu menoleh pada rajang yang tersedia di ruang itu. Ranjang yang di tiduri seorang gadis, berwajah pucat, dengan peralatan medis sakit menempel di tubuhnya, seperti Ventilator, Defibrilator, selang makanan, Infus, Kateter. Ada juga Monitor yang berada di samping brankar akan menampilkan grafis tentang kinerja organ tubuh Sabita.
Sabita belum juga sadar dari komanya, padahal ini sudah melampaui perkiraan dokter, yang menanganinya. Gadis itu masih nyaman dengan kelelapan nya. Tidur dengan damai, tanpa seorangpun yang menganggu.
Zaida beranjak ke arah ranjang itu. Ia mendaratkan bokongnya di kursi yang tersedia di dekat ranjang itu. Ia menatap lamat Sabita. Kapan Sabita bangun?
Tok... Tok...
"Assalamu'alaikum," salam seseorang dari luar sana. Beberapa detik setelah itu, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Zulaikha di sana. Zulaikha melangkah ke arah Zaida.
"Bagaimana keadaannya?"
"Masih sama seperti kemaren." Zaida menatap sendu Zulaikha.
"Kita harus banyak berdoa."
Zaida mengangguk. Zaida kembali mengarahkan manik matanya pada Sabita, ia khwatir akan Sabita dan juga kasihan. Sudah tiga hari Sabita di rawat di rumah sakit, tidak seorangpun dari keluarganya menyembulkan batang hidung mereka. Padahal sudah di beri tahu dari hari pertama.
Zaida jadi teringat setiap cerita Sabita akan keluarganya. Sabita kerap kali menangis, mengatakan bahwa keluarganya selalu sibuk akan urusan mereka masing-masing. Apalagi orang tuanya, yang semenjak perusahaan mereka terkenal di dunia bisnis, mereka semakin sibuk. Itu salah-satu alasan mengapa Sabita memilih untuk menimbah ilmu di pondok pesantren. Di rumah ia selalu sendirian.
Jika di bandingkan dengan kehidupan Zaida, tentu ia jauh lebih beruntung dari Sabita. Zaida memliki keluarga yang hangat, dan sangat harmonis.
Dulu saat ayahnya masih hidup, ayahnya akan berusaha setiap malam berada di rumah, untuk meluangkan waktu setelah bekerja seharian. Ayahnya akan membantu istri-istrinya mengurus rumah, dan kadang membantu anak-anaknya mengerjakan PR. Zaida ingat dulu ia selalu menolak, jika ayahnya ingin membantu menyelesaikan tugas sekolahnya.
Tapi jika di bandingkan mana yang lebih bersyukur, maka Sabita lah yang menang. Walaupun keluarganya seperti itu, tidak sekalipun Sabita bicara buruk tentang mereka, bahkan ia selalu membanggakan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal Dan Haram Bagimu {END}
De TodoBertemu kembali dengan mantan yang sudah merenggut kehormatan Zaida, pertemuan berlatar belakang pondok pesantren. Di mana, Zaida menjadi ustadzah, sedangkan sang mantan adalah muridnya. Berkisahkan, seorang mantan badgirl yang ditakdirkan masuk pe...