15

1.6K 180 11
                                    

Alpha duduk merenung di kursinya. Ditatapnya satu per satu laporan di atas meja yang sama sekali belum tersentuh olehnya. Tangannya ingin bergerak mengambil tumpukan laporan itu untuk mengeceknya tapi otaknya menolak tak mau bekerja sama. Pandangannya jatuh pada foto keluarga di ujung meja kerjanya. Ia tersenyum tipis, melihat senyum lebar Janus, Venus juga Leo di foto itu. Itu foto yang mereka ambil empat tahun lalu. Tepatnya sehari setelah ulang tahun si bungsu, Leo.

Alpha masih ingat betul, kala itu Leo ngambek seharian padanya karena Alpha tak mengingat ulang tahun pemuda itu. Jujur, Alpha memang lupa. Ia terlalu sibuk mengurus cabang perusahaan yang baru di Australi hingga tak mengingat sama sekali ulang tahun adiknya. Padahal Alpha sudah membelikan kado untuk Leo satu minggu sebelum hari H. Adiknya itu baru memaafkannya setelah Alpha berjanji bahwa keesokannya akan mengajak Leo jalan-jalan. Semudah itu ia dan Leo berbaikan. Tapi untuk kali ini, Alpha tak tau apakah ia dan Leo akan cepat berbaikan. Mengingat ini sudah hari ketiga mereka melakukan perang dingin.

Leo menjauhinya, itu terlihat jelas. Adiknya itu tak lagi sarapan di rumah dan selalu berangkat pagi. Padahal sebelumnya Leo selalu berangkat ke sekolah mepet dengan jam masuk. Di malam hari pun mereka tak melakukan interaksi karena Alpha baru tiba di rumah saat Leo sudah terlelap di kamarnya.

Alpha menghela nafas, tersadar bahwa sudah seharusnya ia berhenti menganggap Leo sebagai anak kecil. Leo sudah remaja beranjak dewasa, kenakalannya sudah berada pada level berbeda. Anak itu tak mendapat pengawasan ketat dari ketiga kakaknya. Jujur saja Alpha tak tau apa yang dilakukan adiknya selama ini setelah pulang sekolah. Ia bahkan tak begitu tau bagaimana Leo di sekolah. Yang Alpha tau, Leo selalu mendapat peringkat sepuluh besar walaupun pemuda itu tak pernah belajar untuk ujian. Selebihnya Alpha tak tau apa-apa. Ia tak tau bagaimana pergaulan Leo. Bagaimana teman-temannya.

Alpha hanya kenal dengan Aleno, tetangga sekaligus sahabat sejak kecil adiknya. Pemuda itu tak neko-neko dan baik jadi Alpha sangat setuju Leo bergaul dengan Leno. Tapi melihat fakta bahwa teman Leo tentu saja bukan hanya Leno, Alpha menghela nafasnya teringat kembali Leo yang berada di sirkuit malam hari bahkan masih mengenakan seragamnya. Ia jadi berpikir sudah sejauh mana pergaulan adiknya ?

Setelah bergelut dengan pikirannya sekitar dua puluh menit lamanya, Alpha merogoh kunci mobil di dalam saku jasnya, memutuskan akan pergi ke sekolah Leo sekarang.

"Jia, saya mau pergi ada urusan. Nanti kalau ada laporan yang butuh tanda tangan saya langsung taruh di meja saya aja" ujar Alpha mengalihkan atensi gadis berambut hitam legam yang semula menatap layar komputer jadi menoleh menatap Alpha.

"Baik, Pak. Hati-hati di jalan"

"Ya"

.
.
.
.
.

Alpha sudah duduk di ruangan bernuansa hijau yang penuh dengan hiasan dinding pohon harapan sejak lima belas menit yang lalu. Wanita yang duduk di hadapannya tengah menunduk mengambil buku di dalam laci meja. Alpha menunggunya dengan tenang sambil membaca kalimat motivasi yang ditulis di karton biru yang ditempel di dinding ruangan sebelah kanan.

Dulu saat ia masih bersekolah di sini, ruangan BK nya tak seramai ini. Dindingnya masih polos dengan cat hijau dan cuma nemplok beberapa bingkai foto guru di sana. Sekarang sudah bertransformasi dengan banyak karton bergambar pohon harapan dan kalimat mutiara. Bahkan ada beberapa foto pahlawan Indonesia yang juga digantung di bawah foto presiden.

"Nak Alpha, ini catatan tentang Leo"

Alpha melihat buku di hadapannya, itu buku catatan kenakalan siswa. Entah di halaman buku yang ke berapa, Alpha melihat dengan jelas nama adiknya beserta pas foto ukuran 3×4 tertoreh di sana. Alpha menghela nafas, mulai membaca daftar kenakalan yang diperbuat adik bungsunya.

KASTARA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang