||09||

894 81 3
                                    

Hanin duduk di kursi belajarnya, ia meraih novel yang tadi saat pulang sekolah dipinjamkan oleh Jaerell. Cover buku itu malah mengingatkannya kepada cinta monyetnya saat duduk di bangku sekolah menengah pertama, itu adalah pertama kalinya Hanin merasakan bagaimana rasanya menyukai bahkan mengagumi seseorang.

Saat SMP dulu waktu kelas 7-8, Hanin belum mengenakan hijab, barulah saat ia kelas 9 memulai berhijrah dan menggunakan hijab. Hanin jadi teringat saat dulu ia begitu menyukai kakak kelasnya itu, sampai umi juga kenal, karena setiap hari minggu datang ke rumah untuk mampir dari gereja. Namanya Kevin, ia non muslim tetapi Hanin menyukainya karena Kevin begitu menghormati orang muslim.

Saat Kevin baru lulus SMP dan Hanin baru naik kelas 9, Kevin pindah ke Amerika untuk melanjutkan SMAnya di sana. Hanin begitu sedih namun, Kevin selalu berpesan untuk tidak menunggu dirinya, jika Tuhan mengizinkan pasti Hanin dan Kevin akan bertemu lagi nanti.

Ketika sedang asyik membaca buku, handphone Hanin bergetar, ternyata ada telepon masuk dari Jaerell.

"Halo?"

"Halo Hanin."

"Iya? Ada apa Jae?"

"Hanin lagi apa?"

"Lagi baca buku."

"Oh, Jaerell ganggu gak?"

"Enggak."

"Hari minggu nanti sibuk gak?"

"Eungg, engga tau."

"Jae lagi apa?" tanya Hanin.

"Lagi telpon Hanin hehe"

"Hanin, mama ada masak capcay banyak banget, Hanin mau?"

"Engga usah repot-repot Jae"

"Bener gak mau nih? halal kok, soalnya keluarga ku gak suka makanan yang kayak pig ataupun doggy hehe"

"Engga kok Jae gapapa gak usah, nanti ngerepotin ...."

"Jaerell otw ya. "

"Eh eh Jae gak usah nanti rep—"

Sambungan telepon terputus.

Hanin menggelengkan kepalanya lalu meletakkan kembali handphonenya di meja dekat lampu tidur, kemudian ia kembali duduk di kursi belajarnya dan membaca novel yang sempat tertunda.

© © ©

Jaerell sudah sampai di alamat rumah Hanin namun ia bingung karena di sini banyak lorong sedangkan mamanya cuma memberi nama jalan dan nomor rumah Hanin tanpa RT ataupun RW.

"Nyasar nih nyasar ceritanya," ujar Jaerell sambil celingak-celinguk ke depan lalu belakang.

Jaerell melepas helmnya, lalu menelpon mamanya. "Halo?"

"Iya ada apa anakku sayang," ucap mama dari seberang sana yang membuat Jaerell otomatis pura-pura muntah.

"Tumben ma," gumam Jaerell

"Kenapa? cepetan mama mau pergi belanja."

"Ish mama ini, masa nama jalannya doang yang dikasih tau, lorong atau kompleknya kaga ada."

"Gatau mama, seinget mama ya itu jalannya lagian juga itu udah lama, pasti sekarang udah banyak berubah, mama juga baru satu kali ke sana pas dulu di sana masih banyak hutan udah 10 tahun yang lalu kayaknya waktu kamu umur 7 tahun."

"Nanya apa jawabnya apa, gak nyambung kali lah," gumam Jaerell.

"Udah kamu telpon Hanin aja mama mau ke pasar."

"Ih mama anakmu nyasar nih."

"Engga usah lebay, ada mulut 'kan? Tanya sama orang rumah tante Aisyah."

"Ih mama apa lah mam—"

Sambungan terputus.

Jaerell mengetuk-ngetuk handphone-nya dengan telapak tangannya karena dirinya kesal.

Jaerell menoleh ke belakang dan ke samping bahkan ia memarkirkan motornya dulu di tepi jalan dan mengecek satu persatu lorong yang cukup besar.

"Nggak ada siapa-siapa lah."

"Bener-bener nyasar nih gue" ucapnya pada diri sendiri.

"Gini rasanya dikerjain nyokap sendiri." Jaerell misuh misuh sendiri dari tadi sampai akhirnya Jaerell ketemu orang yang lagi nuntun anaknya naik sepeda.

"Permisi bu numpang tanya," sapa Jaerell.

Orang itu menoleh. "Eh maaf pak saya kira ibu-ibu," ucap Jaerell tidak enakan, bapak-bapak itu melotot lalu pergi gitu aja sama anaknya.

Jaerell yang heran cuma garuk-garuk kepalanya, Jaerell mengira itu ibu-ibu karena rambut orang tersebut panjang seperti rambut perempuan pada umumnya tetapi ternyata saat berbalik ibunya malah berkumis dan berjanggut.

"Salah ya 'kan udah minta maaf."

Akhirnya Jaerell kembali ke motornya lagi dan nangkring bersama sky. "Gini amat ya sky kita nyasar," ucap Jaerell sok dramatis.

Jaerell menopang wajahnya dengan tangan kanannya. "Mau nelpon gengsi, gak nelpon gue kayak gembel," kesal Jaerell. Akhirnya Jaerell cuma melamun di situ untung saja hari ini nggak panas terus Jaerell juga adem karena 1 meter di atas kepalanya ada pohon yang rindang Lalu, sebuah suara masuk di indera pedengaran Jaerell.

"Permisi?


Suamiku Mualaf [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang