||19||

622 57 26
                                    

Hanin," panggil Jaerell disela-sela belajarnya.

"Apa?"

"Misalnya kita berjodoh kamu mau nggak sama aku?" tanya Jaerell tiba-tiba.

Hanin menatap Jaerell heran. "Jaerell kurang tidur ya?" tanya Hanin balik yang membuat Jaerell terkekeh geli.

"Kalau misalnya nih bayangin suatu saat nanti aku ngelamar kamu, apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Jaerell serius.

"Berhenti membayangkan," jawab Hanin polos.

"Semuanya nggak akan pernah terjadi Jae, jangan membuat hati kamu sakit sendiri karena harapan. Itu nggak akan pernah terjadi," lanjut Hanin yang membuat Jaerell terdiam menatap wajahnya.

"Apa nggak ada kesempatan?" tanya Jaerell lagi.

Hanin menghela napas dan memijit pelipisnya. "Mending kamu jawab 15 soal ini lagi," ucap Hanin.

"Hanin please." Jaerell tidak menuruti perkataan Hanin untuk melanjutkan menjawab soal-soalnya.

"Tentukan bayangan titik A (2, -5) setelah di refleksikan terhadap garis x= -4." Hanin menghiraukan pertanyaan Jaerell. Ia membuka lembaran buku tulis Jaerell ke halaman selanjutnya namun sontak Jae menutup buku tulis itu dan menjauhkannya dari hadapan Hanin. Ia memejamkan matanya, beristighfar dan berdoa agar tidak emosi serta diberikan kemudahan untuk menjawab pertanyaan Jaerell selanjutnya.

"Kasih aku alasan kenapa kita nggak bisa disatuin?" tanya Jaerell.

"Katanya Tuhan menciptakan hambanya berpasang-pasangan terus kenapa kita nggak bisa jadi pasangan?" lanjut Jaerell.

"Karena kita beda keyakinan," jawab Hanin cepat.

"Selain itu?" tanya Jaerell.

"Jaerell kita ini ibarat minyak dan air," jawab Hanin.

"Ibarat minyak yang akan berpisah dan nggak akan larut bersama dengan air, sama seperti kita berdua yang nggak akan pernah nyatu sekalipun kamu benar-benar cinta sama aku," jelas Hanin.

"Tuhan mempertemukan kita untuk melihat siapa yang kita pilih, Tuhan mau lihat seberapa besar sih iman kita, seberapa besar apasih cinta kita sama Tuhan."

"Sekarang kamu pilih kamu cinta Tuhanmu atau kamu cinta aku yang bukan hamba dari Tuhanmu," cetus Hanin yang membuat Jaerell terdiam.

"Suatu hubungan akan damai dan nyaman kalau ada restu dari Tuhan dan orangtua."

"Kalau alasan kamu mau nikahin aku karena fisik mending kamu jauhin aku dari sekarang, kalau alasan kamu mau nikahin aku karena kamu nyaman sama aku mending kamu pulang sekarang, lebih akan nyaman kamu bersama orangtua kamu daripada kamu sama aku yang jelas-jelas aku nggak akan bisa kamu miliki sampai kapan pun tanpa terkecuali," jelas Hanin yang membuat Jaerell bimbang.

"15 soalnya jadi pr ya, aku mau pulang udah jam 4 sore," ucap Hanin dan bergegas merapikan barangnya.

Jaerell terdiam sejenak lalu menahan Hanin yang baru mau pergi. "Biar aku antar kamu sampai rumah," ucap Jaerell.

Hanin menjauhkan tangannya."Gapapa aku pulang sendiri aja."

"Tadi kamu pergi sama aku, pulang juga harus sama aku, nggak enak sama umi kamu."

"Umi ngerti kok, aku pamit ya, jangan lupa kerjain 15 soalnya," ucap Hanin lalu pergi menjauh, Jaerell hanya menatap kepergian Hanin, Ia menghela napas merutuki kebodohannya. Seandainya tadi dirinya tidak mempertanyakan pertanyaan bodoh, ujungnya pasti tidak akan seperti ini.

Jaerell membereskan alat tulisnya dan menyusul Hanin, mungkin masih ada harapan sedikit untuk memperbaiki kata-katanya. Hanin berjalan pelan ke halte bus dan terdiam sejenak saat mendengar sebuah ceramah di masjid yang tidak jauh dari tempat ia berdiri.

Suamiku Mualaf [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang