||27||

444 50 6
                                    

Flashback on

"Pagi papi, pagi mami."

"Pagi dek Ersya," sapa Jaerell.

Mamanya mengernyit heran. "Tumben kamu manggil mami? Ada maunya pasti? Biasanya 'kan mama papa manggilnya, kok tiba-tiba jadi mami papi?" tanya mama Jessie curiga, papanya Jaerell juga ikut-ikutan curiga, sedangkan Ersya hanya menahan tawa karena ia tau apa sebab Jaerell bahagia hari ini.

"Nggak ada mau kok hehe, iseng aja, cepet makannya dek, abang mau datang cepet," seru Jaerell lalu menumpu wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

papa dan Ersya hanya menggelengkan kepalanya lalu melanjutkan makan, sedangkan mama menyiapkan sarapan untuk Jaerell. "Nggak usah ma," ucap Jaerell menghentikan mamanya yang mengambilkan nasi.

"Lho kenapa?" tanya sang mama bingung.

"Jae nggak laper," kekeh Jaerell.

"Nanti pingsan," sahut papa.

"Nggak kok, Jaerell udah makan tadi jam 4, banyak lagi," jawab Jaerell pada kedua orangtuanya.

"Dia puasa ma, pa," ucap Ersya memberi tahu.

"HAH?"

"Puasa? Diet kamu?" tanya papa.

Jaerell menggelengkan kepalanya. "Dia nemenin gebetannya puasa pa, namanya kak Ha-" Belum selesai Ersya menyelesaikan ucapannya Jaerell sudah membungkam mulut Ersya dengan telapak tangannya.

"Mana ada gebetan, orang temen doang kok," ucap Jaerell mengelak Lalu melepaskan tangannya dari mulut Ersya, adik sepupunya itu membersihkan mulutnya dengan tisu.

"Tangan lo bau ikan asin, mau muntah gue," ucap Ersya.

"Udah ah Jaerell duluan aja kalo gitu, Ersya sama papa aja sana," ucap Jae lalu pamit dengan kedua orangtuanya dan berangkat dengan sky.

Saat mereka yakin bahwa Jaerell sudah pergi. "Siapa dek?" tanya papa pada Ersya.

"Namanya Kak Hanin," jawab Ersya sambil tersenyum.

"Hanin? Anaknya Aisyah yang sahabat kamu itu?" tanya papa memastikan.

"Iya," ucap mama bahagia.

"Mereka muslim 'kan?" tanya papa pada istrinya.

"Iya, tapi mama setuju banget kalo mereka deket, gemes gitu liatnya, Hanin cocok banget sama Jaerell makanya mama setuju," jawab mama.

Papa menggelengkan kepalanya. "Ma, kasihan Hanin-nya, nggak mungkin dia mau ikut Jaerell dan nggak mungkin Jaerell ikut Hanin. Lagian juga paling Jae aja yang baper sama Hanin, bisa jadi Hanin nggak baper sama Jae," jelas papa.

"Iya ma siapa tau 'kan kak Hanin cuma anggap bang Jaerell temen aja," sahut Ersya.

"I-iya sih, tapi mereka cocok aja gitu lho," ucap mama sambil menggaruk tengkuknya.

"Cocok di luar, coba kalau di dalamnya, cocok nggak? Hati mereka beda keyakinan, susah buat disatukan, temboknya besar ma, susah bagi mereka untuk memaksakan keadaan walaupun nanti seribu orang yang bilang mereka cocok tapi kalau keyakinannya beda ya tetep aja nggak bisa dipaksa."

"Pa? Kalau misalnya bang Jaerell nekat gimana?" tanya Ersya.

"Nggak tau sih, itu ketentuan dia juga mau gimana, kalau mau jadi mualaf cuman karena mau dapatin Hanin ya mending nggak usah, kalau dia emang benar-benar cinta sama Hanin dia pasti akan mencintai Tuhannya hanin lebih dulu."

"Kan ada tuh suatu pepatah, kalau kamu ingin mendekati umatnya maka dekatilah dulu sang penciptanya," sambung papa.

"Jadi??" tanya Ersya lagi.

"Papa sih terserah bang Jae asal dia nggak main-main, agama itu bukan puzzle jadi nggak bisa asal dibongkar lalu dipasang lagi, kalau memang dia mau dan serius masuk islam ya papa no problem asal jangan jadikan agama itu permainan."

"Hati Jae nggak main-main kok pa," batin Jaerell. Ia ternyata masih duduk di kursi luar dekat jendela yang tertutup tirai.


Suamiku Mualaf [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang