Anton melangkahkan kaki tergesa. Wajahnya terlihat memerah menahan amarah yang siap meledak. Jika dalam kondisi seperti ini, jangankan bertanya, sekedar melihatpun tidak ada karyawannya yang berani. Tanpa meminta ijin dulu, Anton langsung membuka pintu ruang kerja Bara dan langsung melemparkan satu kertas tepat di wajah Bara.
"Dad.. Ada apa ini?" Respon Bara atas tindakan ayahnya itu
"Gadis yang kamu perkosa itu hamil dan aku tidak mau punya anak pengecut!!"
"Maksud Dad, aku harus nikahin dia gitu? Oh, Come on... gak bisa gitulah dad.. Dia cuman cewek gak jelas, gak mungkinlah aku mau nikahin dia" mendengar jawaban itu, Anton langsung naik darah. Tangannya sudah mengepal hendak menonjok muka Bara. Namun, itu ditahannya mengingat ini masih di kantor. Anton beranjak keluar, namun sesaat sebelum dia meraih pintu, dengan tatapan mata yang tajam dia berkata:
"Apapun, anak itu adalah cucuku. Dan sudah kuputuskan kalau cucuku itulah penerus Nusa Raya Group" Ujar Anton mantap. Anton sangat paham sifat dan kelakuan anak tunggalnya itu. Maka dengan mengunci peralihan harta ke cucunya, Anton berharap bahwa dia bisa merubah sifat dari Bara.
Mata Bara membulat mendengar keputusan ayahnya itu. Keputusan yang sangat tidak adil menurutnya. Selepas Anton meninggalkan ruang kerjanya Bara langsung memanggil Rian, asisten pribadi dan orang kepercayaan dari Bara.
"Ikut denganku sekarang!! Kita ke rumah sakit!!" perintah Bara tegas kepada Rian, dan hanya dijawab dengan anggukan dari Rian.
Bara dan Rian melangkah cepat di lorong rumah sakit. Hari ini dia membatalkan semua agendanya hanya untuk membuktikan apakah omongan ayahnya. Bara langsung menuju satu kamar VVIP di rumah sakit tersebut. Dari kaca pintu, dilihatnya sekilas untuk memastikan apakah dia memasuki kamar yang salah atau tidak.
Kreeekkkk....
Pintu kamar Dinda perlahan terbuka, menunjukkan wajah letih Dinda dengan tangan masih terpasang infus. Sadar bahwa karena suara pintu yang terbuka, Dinda mengerjapkan matanya, lalu menoleh ke arah sumber suara. Seketika mata Dinda membelalak, tubuhnya menegang. Ingatan akan peristiwa kelam itu kembali terputar kembali.
"PERGI...!!!! PERGI KAU....!!! AKU BUKAN PELACURMU!!!!!" teriak Dinda dengan suara yang keras. Tangannya berusaha menggapai apapun untuk dilemparkan ke Bara. Dia juga berusaha pergi menjauh, namun malah jatuh dari tempat tidurnya. Selang infus yang terlepas dan dari lukanya itu darah segar mengalir.
"PERGI... JANGAN SENTUH AKU LAGI..." kini teriakan Dinda bercampur dengan tangis. Dia masih tetap menggapai benda apapun dan melemparkannya pada Bara.
Bara terdiam. Dia tidak tahu harus bagaimana mendapati kondisi Dinda yang seperti itu. Dia mencoba untuk tidak perduli, namun entah mengapa tidak bisa.
Teriakan dan histeris Dinda membuat dokter dan perawat jaga langsung bergegas memberikan pertolongan. Bersama dengan dokter, Reta muncul dan menatap tajam pada Bara. Langsung Reta menyeret Bara keluar ruangan. Reta sangat paham bahwa Bara yang menyebabkan kondisi Dinda menjadi histeris seperti itu.
"LIHAT APA YANG SUDAH PERBUAT ANAK BODOH!!! Kau sudah menghancurkan hidupnya!!" Mendengar ucapan Reta, Bara hanya bisa diam. Dia tidak bisa membantah karena memang dia yang sudah membuat Dinda menderita. Sekarang, Bara hanya bisa diam dan memilih meninggalkan rumah sakit tersebut.
"Tuan, sepertinya itu memang gadis yang waktu itu." Rian mencoba membuka percakapan setelah sekian menit melihat atasannya itu hanya diam saja.
"Iya.. Dia orangnya. Rian, cari tahu tentangnya. Aku mau besok pagi sudah dapat datanya" Perintah Bara
"Baik Tuan." jawab singkat Rian
Sementara di rumah sakit, Reta kembali menatap penuh iba pada Dinda. Naluri keibuannya muncul, apalagi dia tahu bahwa anaknyalah yang menyebabkan anak gadis tidak berdosa ini menanggung penderitaan separah itu. Air matanya tidak terasa menetes keluar. Lamunannya berhenti ketika ada tangan yang menyentuh pundaknya.
"Ada apa? Tadi dokter tiba – tiba menelponku?" tanya Anton setengah berbisik takut membangunkan Dinda. Dia tidak ingin Dinda bangun karenanya.
"Anakmu datang kemari dan itu membuat Dinda menjadi histeri dan dokter tadi harus menyuntikkan obat penenang untuk meredakan histerinya"
"Anak itu.. Aku tidak tahu bagaimana lagi menghadapinya.. Oh ya, aku sudah mengambil keputusan kalau cucu kita yang jadi ahli waris atas semua perusahaanku. Bagaimana menurutmu?" Ujar Anton pada Reta yang masih mengelus pelan tangan Dinda.
"Aku setuju. Selain sebagai salah satu penebusan dosa kita ke Dinda, aku juga ingin memberi Bara sedikit pelajaran" Jawab Reta menanggapi keputusan Anton.
"Jadi, kamu mau kan merawat dan menjaga cucu kita?"
"Kan sudah kukatakan.. Aku masih mampu menjaga cucu kita... "
"Cucu.... kita segera akan punya cucu.... yaaaa walaupun dengan cara yang salah, tapi tetap dia cucuku.. penerus dan keturunanku"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...