Beberapa hari telah terlewati. Kondisi Mario cenderung membaik setiap harinya. Pengambilan sampel darah dan sampel sumsum tulang belakang untuk pemeriksaan lebih lanjut terkait dugaan leukemia yang diderita juga sudah dilakukan. Selama Mario dirawat di rumah sakit, hampir tiap hari Mentari selalu meyempatkan diri bertemu dengan anaknya itu. Berbincang sejenak dengan Anton dan Reta namun tidak dengan Bara. Lelaki itu selalu diam atau menundukkan wajahnya ketika Mentari berkunjung ke sana atau jika dia mengetahui bahwa Mentari sedang berada di ruangan Mario, maka dia akan memilih menghindar dahulu sampai Mentari meninggalkan ruang Mario. Mario sendiri tampak nyaman saat berada di dekat Mentari. Bukan hanya dengan Mentari, namun dengan Brian pun Mario juga bisa akrab dengan mudah.
Hari ini direncanakan konsul lanjutan dengan Prof Susilo. Laboratorium rumah sakit memang mengkonfirmasi jika hasilnya telah keluar hari ini. Maka, disinilah mereka, Anton, Reta dan Bara. Wajah mereka tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Mereka takut jika hasil pemeriksaan selama ini memang menunjukkan bahwa Mario terkena leukemia.
"Sepertinya saya harus memberitahukan bahwa kecurigaan dokter Wisnu benar. Dengan berat hati, harus saya katakan bahwa putra ibu terkena leukemia" Jelas Prof Susilo. Singkat namun jelas dan membuat Anton, Reta dan Bara langsung shock. Semua serasa menggelap bagi mereka bertiga.
"Bapak dan Ibu jangan khawatir. Jika terapi kita lakukan di awal seperti kondisi anak ibu sekarang, tingkat kesembuhan bisa mencapai tujuh puluh persen." Prof Susilo mencoba menenangkan keluarga Anton. Jenis leukemia yang diderita oleh Mario memang memiliki tingkat kesembuhan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis leukemia yang lain. Leukemia jenis ini juga lebih banyak menyerang anak-anak.
"Apakah harus dengan kemoterapi ya prof?" Anton tidak tega melihat cucunya yang masih kecil namun harus menerima kemoterapi yang menyakitkan tersebut.
"Ada alternatif lain. Transplantasi sumsum tulang belakang. Saya sarankan untuk keluarga dekat sekandung untuk memeriksakan diri. Kemungkinan donor adalah dari keluarga terdekat. Bisa ayah, ibu, kakak atau adiknya" Mendengar penjelasan dari prof Susilo, ketiganya saling berpandangan. Berarti ada kemungkinan jika mereka harus meminta tolong Mentari untuk menjadi donor bagi Mario. Pertanyaannya, apakah dengan segala hal yang sudah terjadi, apakah Mentari masih bersedia menjadi donor bagi Mario.
" Apabila langkah pertama tadi tidak bisa membantu untuk menyembuhkan, maka baru kita lakukan kemoterapi. Saya sarankan, lakukan secepatnya sebelum sel kanker masih belum menyebar sehingga kita lebih mudah melakukan limitasi sel kanker" Prof Susilo masih melanjutkan penjelasannya.
"Kami bersedia prof untuk diperiksa sebagai calon donor untuk Mario. Kapan kami bisa melakukan pemeriksaannya?" Kali ini Reta yang berucap.
"Sabar dulu ibu. Kita harus mengikuti prosedur yang ada. Kami harus memastikan dulu ibu dalam kondisi sehat dan memenuhi syarat untuk menjadi donor. Baru setelah memang ada kesamaan dengan cucu ibu, kita bisa melakukan operasi untuk transplantasi sumsum tulang belakang"
Ketiga wajah lesu itu keluar dari ruang Prof Susilo dengan menunduk. Mereka hanya diam terduduk di sofa ruang rawat inap Mario. Mereka baru tersadar saat Mario bangun dari tidurnya dan mulai mengoceh layaknya anak kecil.
"Ommaaa... Hauusss... Iyok haus oma" Mario berteriak memanggil oma-nya. Selama ini memang Reta cukup mampu menghadirkan kasih sayang dan figur ibu bagi Mario. Mendengar itu Reta mendekat.
"Memangnya Iyok mau minum apa?" Tanya Reta lembut
"Mau minum susu yang rasa strawbery oma. Yang dingin ya oma.." Susu strawberry dingin merupakan minuman kesukanan Mario. Dia bisa menghabiskan bergelas-gelas susu strawberry jika tidak diawasi oleh Anton dan Reta.
"Ini susunya, yuk bangun dulu biar nanti kesedak minumnya" Reta dengan sabar dan penuh kasih sayang membantu Mario untuk minum susu kesukaannya itu
"Oma, Iyok kapan boleh pulang? Di sini gak enak. Gak bisa maen batman sama superman. Iyok gak suka" Reta hanya tersenyum getir saat cucunya mengucapkan itu. Dia lantas mengambil ponselnya, membuka aplikasi video lalu memutar film kartun yang menjadi tontonan wajib jika Mario ada di rumah. Reta berharap hal itu bisa membuat Mario melupakan sejenak sakitnya.
Bara hanya bisa memandang anaknya dengan tatapan sayu. Otaknya sudah dipenuhi dengan pikiran buruk. Siapapun tahu, jika kanker merupakan penyakit yang mematikan. Walaupun saat konsul tadi kemungkinan sembuh cukup besar, namun itupun dengan catatan bahwa dia bisa segera menemukan pendonor untuk anaknya itu. Bara sangat berharap jika sumsum tulang belakang miliknya adalah yang paling tepat untuk dilakukan transplantasi untuk anaknya.
***
Hasil pemeriksaan Mario telah didengar oleh Mentari. Sebagai seorang dokter muda, dia paham benar bagaimana dan apa yang mungkin akan dialami oleh Mario, termasuk dengan skenario terburuknya sekalipun. Jika kemarin Mentari masih berharap bahwa perkiraannya itu meleset, kini harapan itu sirna. Hasil laboratorium dan seluruh penunjang pemeriksaan semua mengarah pada hasil yang sama. Mario menderita kanker darah atau lebih dikenal dengan leukemia.
"Mas Bri, hasil pemeriksaan Mario sudah keluar. Hasilnya memang benar. Leukemia" Mentari saat ini berada di kafetaria rumah sakit ditemani oleh Brian. Mentari memang menghubungi Brian dan ingin berdiskusi dengan Brian mengenai permasalahannya dan tentang bagaimana sikap Brian selanjutnya.
"Udah pasti? Udah konfirmasi ke Prof Sus?" Brian ingin memastikan sekali lagi. Sejujurnya dia merasa kasihan dengan Mario. Anak sekecil itu namun harus menanggung penyakit yang hingga kini belum diketahui obatnya.
"Udah mas. Kemarin aku langsung menghadap ke Prof Sus sendiri. Sudah diterangin juga sama Prof Sus. Gara-gara ini juga akhirnya Prof Sus tahu kalau Mario itu anakku" Mentari menjelaskan. Mereka berdua diam sejenak. Tampak pikiran mereka dipenuhi oleh berbagai macam hal.
"Trus aku harus gimana mas? Tari buntu. Gak tahu harus berbuat apa. Aku berharap dulu aku dan dokter Wisnu salah diagnosa awal. Tapi ternyata bener semuanya" Tari ingin mendengar bagaimana Brian menanggapinya.
"Mau denget pendapat mas?" pertanyaan Brian hanya dijawab anggukan oleh Mentari
"Saran mas, turuti kata hatimu. Apapun yang hatimu katakan, lakukan itu. Tapi kalau mas boleh kasih saran, tetap rawatlah Mario. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu untuk Mario, lakukanlah" Brian menggenggam erat tangan Mentari, mencoba menguatkan tunangannya itu. Brian sadar, Mentari saat ini sedang dalam dilema besar di hidupnya.
"Apa advis dari Prof Sus?" Lanjut Brian kemudian
"Transplantasi sumsum tulang belakang. Kalau memang failed, baru kemoterapi" jawab Mentari
"I believe you know what you have to do. Mas gak harus kan nge-direct kamu kayak anak kecil kan? Atau tanya dulu sama papa, mama dan kak Ren. Mas yakin kok kalau mereka pasti akan selalu mendukungmu. Jangan pernah kamu ragukan itu" Brian menegaskan kembali dukungannya pada apapun keputusan Mentari tentang Mario.
Mentari sebenarnya sangat membenci situasi ini. Dirinya seakan terperangkap dalam kondisi dimana dia tidak bisa lari. Dia sebenarnya tidak mau lagi berurusan dengan Bara dan siapapun yang berkaitan dengannya, namun kondisi Mario seakan menyeretnya kembali pada Bara. Mentari tidak bisa membenci Mario, bagaimanapun anak itu tidak bersalah. Dia tidak berdosa sama sekali dan dia tidak pantas menanggung segala kesakitan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...