Part 9

3.8K 190 1
                                    

Kegelisahan sekarang lebih mendominasi perasaan Bara. Gelisah karena rasa bersalahnya. Gelisah karena akan menjadi seorang ayah bagi bayinya. Gelisah karena ancaman ayahnya yang akan memindahkan hak waris perusahaan ke anaknya. Gelisah karena perbuatannya meninggalkan luka bagi Dinda, karena bagaiamanapun sekarang Bara cukup menyesal akan tindakannya waktu itu. Semua itu masih ditambah dengan Anton dan Reta yang memilih tinggal di apartemen dan meninggalkan Bara sendirian di rumah. Perhatian yang dulunya terfokus ke Bara sekarang tidak lagi. Katakanlah Bara cemburu, namun ada rasa tidak nyaman ketika orang tuanya lebih membela orang lain dibandingkan dirinya.

Praktis semua kegelisahanya itu berakibat pada mood kerjanya. Namun untungnya hal itu tidak mempengaruhi perusahaan yang dipimpinnya. Hal yang menarik dari Bara adalah, semenjak dia tahu bahwa akan menjadi ayah, hobinya keluar masuk club dan main wanita malam tiba-tiba hilang. Bara lebih menenggelamkan diri pada pekerjaannya.

Perhatian Bara sedikit teralihkan saat dia tahu Anton memasuki ruangannya. Sejak kejadian dengan Dinda, Anton tidak pernah lagi menampakkan wajah bersahabatnya.

"Lihat ini di komputermu itu!" Perintah Anton tegas sambil menyerahkan satu flash disk. Bara menerimanya dan segera membuka satu file yang ada di flash disk tersebut. File itu berbentuk video yang sepertinya diambil dari rekaman cctv. Anton ternyata sengaja memberikan rekaman cctv di apartemennya saat Dinda mencurahkan isi hatinya sambil menangis di balkon apartemennya. Dia berusaha melihat rekaman itu dengan tenang. Namun, tidak bisa dipungkiri juga jika hatinya berkecamuk hebat. Rasa bersalah dan ego-nya berperang di dalam hatinya.

"Bagaimana? Sudah lihat hasil kerjaanmu yang brengsek itu? Sudah puas sudah merusak bukan hanya Dinda, tapi semuanya. Masa depannya, mentalnya, cita-citanya... " Anton bertanya dengan tajamnya kepada Bara. Matanya menyiratkan emosi yang terpendam

"So, What I supposed to do dad? Menikahinya? Aku tidak bisa menikahinya dad.. Lagipula bukannya dia trauma denganku? Jadi bagaimana mungkin?"

"Itu kamu yang harus pikirkan jalan keluarnya! Aku dan mommy-mu sudah capek dengan semua kelakuan burukmu."

"Aku akan merawat anak itu kalau Dad masih ragu" mendengar jawaban Bara ini, Anton tersenyum sinis. Anton tentu sangat paham isi otak anak satu-satunya itu.

"Iya, itu kamu lakukan setelah Dad mengalihkan semua hak kepemilikan perusahaan ke cucuku kan! Dad sudah hapal dengan semua isi otakmu Bara!" Jawaban telak buat Bara. Dia diam, karena memang seperti itulah kenyataannya. Selesai mengatakan itu Anton segera bergegas pergi dari ruangan itu. Dia sendiri merasa capek menghadapi anak semata wayangnya itu.

Bara seolah terkunci. Terkunci dengan kegelisahannya sendiri. Pandangannya semakin gamaang ketika melihat rekaman video yang memperlihatkan curahan hati Dinda akibat kelakuan bejatnya. Dia menyesal, ingin memperbaiki semuanya, namun dia juga tidak tahu harus berbuat apa. Sempat terpikir untuk menikahi Dinda, namun melihat reaksi Dinda yang masih trauma dengan dirinya, membuatnya membatalkan niat itu.

Tok.. Tok.. Tok.. Lamunan Bara seketika buyar mendengar pintu ruanganya diketok

"Masuk..!!" Ujar Bara dengan tegas

" Selamat siang pak, setelah istirahat siang, bapak dijadwalkan meeting dengan....." Belum sempat Lia menyelesaikan kalimatnya, langsung dibalas dengan Bara

"Saya lagi pusing. Suruh anak marketing dan legal buat gantiin.." Ujar Bara sambil memegang keningnya. Dia memang pusing, namun bukan sakit pusing, tetapi pusing akan keadaannya sekarang.

"Baik pak. Hm.. Ini ada beberapa berkas dari bagian keuangan. Hasil internal audit bulan kemarin" Lia menyerahkan beberapa berkas ke Bara.

"Oke, Letakkan di situ.."

Dan, mau tidak mau, kegelisahan Bara mengakibatkan pekerjaannya menjadi sedikit terganggu. Otaknya sekarang tidak bisa berkompromi. Pikirannya bercabang ke segala arah, namun terutama dengan masalah Dinda dan tentu saja ancaman sang ayah yang akan memindahkan hak kepemilikan pada sang cucu yang juga merupakan anaknya. Bara sangat tidak rela hal itu. Dia merasa dia sudah membesarkan perusahaan itu namun justru kini bukan dia yang memetik hasilnya.

***

Mencurahkan seluruh isi hati yang terpendam membuat Dinda sedikit berubah. Masih pendiam, masih menjawab dengan seperlunya namun, isakan tangis sudah lebih jarang terdengar. Dinda yang awalnya memilih menghabiskan waktunya dengan menyendiri, sekarang mau berbaur dengan Anton dan Reta. Dinda lebih sering berdiam di kamar dengan mendaraskan doa setiap kali suasana hatinya terasa sakit. Kesakitan dan kesedihan hatinya sedikit mereda setelah selesai mengadu kepada Tuhan. Anton dan Reta tentu senang dengan perubahan dari Dinda. Seringkali mereka mendapati tengah malam Dinda tengah terduduk sembari tangannya menggenggam manik manik rosario, dengan mata tertutup sembari mulutnya melafalkan doa.

"Anton dan Reta tadi menelpon bunda. Mereka cerita kalau kamu sudah banyak berubah.. Benar nak?" sore itu, Rahayu menjenguk Dinda di apartemen Anton. Reta menceritakan semua kejadian kepada Rahayu.

"Seperti kata bunda waktu itu, Dinda mencoba buat memaafkan, walaupun Dinda sendiri tidak janji kapan semua itu bisa bener-bener Dinda lakukan. Jujur, hati Dinda masih berat. Masih sakit bunda mengingat itu semuanya. Kejadian itu membuat semuanya hancur" kembali Dinda mencurahkan isi hatinya. Kali ini lebih tenang, masih dengan suara pelan, namun tidak terdengar isak tangis

"Sekarang Dinda ingin menyembuhkan diri Dinda sendiri, bunda. Dinda ingin ikhlas, tapi masih belum bisa. Masih ada rasa marah kalau ingat soal waktu itu.." kembali Dinda terisak pelan

"Seiring dengan waktu, nak. Bunda janji akan selalu ada di samping kamu nak." Ujar Rahayu sambil menggenggam lembut tangan Dinda.

"Terima kasih bunda. Setelah selesai lahiran nanti Dinda balik lagi ke panti ya bunda. Dinda udah gak betah pengen cepet balik ke panti lagi. Bunda masih mau nampung Dinda lagi kan bun..."

"Kamu ini nak... Bukan cuman bunda, semua adik-adikmu di panti pasti senang kalau kamu balik ke panti." Rahayu mengelus pelan kepala Dinda.

"Lalu bagaimana dengan anakmu nanti jika kamu tinggal di panti?" Rahayu lanjut bertanya

"Bunda sudah melihat surat itu kan? Jadi biarkan saja dia mengurus semuanya. Setelah lahiran nanti Dinda tidak diperlukan di sini. Lagipula kalau Dinda yang mengurusnya, Dinda tidak bisa. Melihat anak itu pasti mengingatkan semuanya dan Dinda tidak sanggup. Masih terasa sakit di sini bunda" Ujar Dinda sambil memegang dadanya.

Dinda dan Rahayu berbincang cukup lama di kamarnya. Tanpa mereka sadari, Reta mendengar semua yang mereka perbincangkan. Reta sendiri sebenarnya bingung dengan apa yang mereka bincangkan. Namun, dia memilih untuk memendam semuanya sendiri. Untuk bertanya kepada Dinda, dia tidak mau ambil risiko dengan kondisi Dinda yang dianggap relatif membaik dan Reta tidak mau merusak itu semuanya dengan satu pertanyaan konyol. Untuk bertanya pada Rahayu, pasti akan sulit mengingat hubungan dan komunikasi antara Reta dan Rahayu bukanlah hubungan yang enak. Rahayu masih sangat ketus jika menghadapi Reta ataupun Anton. Reta lebih memilih memendam semuanya itu, merekam dalam ingatannya dan mungkin akan bertanya pada Anton satu hari nanti. Sejujurnya dia sangat penasaran dengan apa yang baru saja didengarnya itu. Rahayu seakan mengibarkan bendera perang jika itu berkaitan dengan Reta dan Anton.

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang