Dinda telah dipindahkan ke ruang rawat inap. Dua line infus terpasang di tangan Dinda, satu line untuk transfusi darah, sementara line yang lain untuk rehidrasi cairan tubuh. Beberapa alat bantu kehidupan terpasang di tubuh Dinda. Pemandangan yang sangat miris. Sementara Dinda sendiri tampak terlelap memejamkan matanya.
Hari ini tepat seminggu Dinda dalam kondisi koma. Selama seminggu ini pula Anton dan Reta mematuhi saran dokter dimana tidak meninggalkan Dinda sedetikpun. Rahayu setiap sore mendatangi rumah sakit untuk melihat keadaan Dinda dan baru akan beranjak meninggalkan rumah sakit saat malam menjelang. Dokter sendiri tidak bisa memastikan sampai kapan Dinda dalam kondisi seperti itu. Keadaan Dinda yang hamil di usia yang masih belia sehingga masuk kategori berisiko tinggi ditambah beban stres dan tertekan menyebabkan perdarahan pada Dinda.
"Kapan kau bangun nak? Jangan siksa kami seperti ini nak.. Tolong jangan buat kami semakin merasa bersalah seperti ini... Maafkan kami nak.. Maaf.." Reta bergumam sembari mengelus pelan rambut Dinda. Anton menepuk pundak Reta, mencoba menyalurkan kekuatan dan dukungan ke Reta. Dia dan istrinya tentu sangat shock dengan kondisi Dinda.
"Sudah... Kita nangis sampai air mata darahpun tidak akan mengembalikan keadaan. Yang penting sekarang bagaimana Dinda dan cucu kita bisa sehat lagi" Saat kedua pasutri itu tengah terdiam dengan lamunan mereka sendiri, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan telapak tangan Dinda yang bergerak. Matanya megerjap pelan. Terdengar lenguhan kesakitan yang sangat samar.
"Hei.. Nak.. kau sudah sadar.. Bagaimana? Apa yang sakit?" Reta berucap sedikit panik. Sementara Anton dengan sigap memanggil dokter jaga untuk memeriksa Dinda. Segera dokter memeriksa Dinda dan memastikan jika kondisinya sudah membaik. Dokter menyarankan untuk tetap istirahat hingga kondisi fiisknya benar-benar pulih. Sedangkan untuk kondisi mental Dinda, jelas masih jauh dari sehat.
"Kenapa?.. Kenapa menolongku? Kenapa tidak membiarkan aku mati saja??" Dinda bertanya dengan suara parau. Sinar keputusasaan jelas terlihat di matanya.
"Dinda.. Nak..." hanya itu yang bisa dikatakan Reta. Tangganya menggenggam erat tangan Dinda.
"Aku sudah hancur. Tidak ada gunanya aku hidup. Hidupku, masa depanku, impianku, cita-citaku.... semuanya.. Biarkan saja aku mati.." Meski dengan suara yang lirih, namun jelas kemarahan Dinda.
"Mommy tahu nak..." Reta masih mencoba menenangkan Dinda, namun perkataannya langsung dipotong Dinda
"Tahu apa? Apa nyonya pernah diseret di jalanan seperti pelacur murahan? Apa nyonya pernah diperkosa? Apa nyonya pernah merasakan hamil dengan cara seperti ini? Jika jawabannya tidak, maka jangan pernah bilang bahwa nyonya tau apa yang kurasakan saat ini" Masih dengan suaranya yang lirih, namun masih terdengar dengan jelas oleh Anton dan Reta. Perubahan drastis Dinda ini membuat Anton dan reta bingung. Aura kemarahan sangat terlihat dari mata dan kata-kata Dinda. Dinda berubah. Itu kesimpulan Anton dan Reta.
***
Bara menatap seluruh dokumen dan foto yang sekarang ada di meja kerjanya. Foto dan dokumen itu sengaja dikirim oleh Anton, tujuannya jelas, supaya Bara mengetahui bagaimana penderitaan Dinda akibat ulah sadisnya. Tanganya masih menggenggam print out hasil USG. Nampak gambaran bayi yang sekarang dikandung oleh Dinda. Entah mengapa, setelah melihat hasil USG itu hatinya berubah. Dia menjadi khawatir dengan keadaan Dinda. Dia sering bertanya pada dirinya sendiri bagaimana Dinda, anaknya dan banyak pertanyaan lain yang muncul di otaknya. Namun, pertanyaan itu tidak bisa terucap. Untuk menanyakan ke Anton atau Reta, egonya masih lebih mendominasi daripada akal sehatnya.
"Kenapa dengan aku? Kenapa aku terus memikirkannya? Apa salah aku melakukan hal itu dengannya? Jika dia memang gadis baik-baik harusnya dia tidak berjalan sendirian malam-malam kan? Lalu, apa benar dia anakku? Bisa saja kan setelah aku dia melakukannya dengan laki-laki lainnya?" Pikiran Bara berkecamuk memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...