Part 3

6.4K 286 1
                                    

Mengenaskan. Satu kata ini yang bisa menggambarkan yang terjadi pada Dinda. Seringkali dia hanya duduk diam termenung. Sesekali air mata lolos mengalir dari mata bening miliknya. Saat malam, Dinda juga masih sering dihantui oleh mimpi buruk. Dua minggu berlalu sejak kejadian mengenaskan itu, namun Dinda masih belum kembali ceria. Bahkan, kondisinya lebih buruk dibandingkan saat dia harus kehilangan keluarganya. Rahayu dan seluruh penghuni panti sudah berusaha dengan segala cara untuk mengembalikan kondisi Dinda. Namun semuanya percuma.

Lalu bagaimana dengan Bara? Lelaki yang juga pimpinan di perusahaan milk Anton itu tentu tidak memperdulikannya. Seolah tidak terjadi apapun.

"Ini sudah sebulan lebih, aku penasaran dengan keadaan Dinda?" Ujar Reta pada suaminya sore itu

"Hm.. Apa kita ke sana saja? Aku juga penasaran sama anak itu. Aarrgghh... Gara-gara Bara kita jadi kena seperti ini"

"Oke kita ke panti sekarang aja. Mumpung masih belum terlalu malam" Tambah Reta sambil berdiri dan menarik tangan Anton. Mereka langsung meluncur ke arah panti tempat tinggal Dinda. Sampai di depan panti, mereka masih di dalam mobil. Pengusiran yang dilakukan Rahayu saat pertama kali mengantar Dinda, menjadikan mereka masih ragu untuk masuk ke dalam panti.

"Aku juga masih agak ragu, namun bagaimanapun kita harus masuk. Aku gak mau terjadi apa-apa dengan Dinda" Ujar Anton seolah mengetahui isi pikiran Reta.

Mereka melangkah masuk. Sesampai di pintu, tidak sengaja Rahayu juga membuka pintu untuk membersihkan halaman depan. Seketika Rahayu menegang melihat Anton dan Reta.

"Mau apa lagi ke sini? Mau bikin Dinda lebih menderita lagi!!" ujar Rahayu dengan keras.

"Maafk, kami berniat menjenguk Dinda. Bagaimanapun Dinda seperti itu karena ulah anak kami" Anton yang terbiasa tegas dan berwibawa langsung merendah jika berhadapan dengan Rahayu. Apalagi ini menyangkut kejadian antara Dinda dengan Bara.

"Tolong ijinkan kami. Setidaknya kami ingin tahu bagaimana Dinda saat ini?" Kali ini Reta yang memohon

"Baik. Kali ini aku ijinkan. Tapi tidak lain kali. Dan asal kalian tahu, Dinda sangat stres dengan kejadian malam itu" perkataan Rahayu membuat Anton dan Reta merasa lebih bersalah. Mereka mengekor Rahayu memasuki ruang tamu panti. Rahayu meminta mereka menunggu sementara dia melangkahkan kaki ke kamar Dinda. Rahayu mengetuk pelan pintu kamar Dinda. Merasa tidak ada respon, Rahayu membuka pintu yang tidak terkunci tersebut, dan mendapati Dinda tertidur.

"Nak.. Bangun yukk.. Udah sore.. Ada tamu buat kamu" Ujar Rahayu pelan

"Nak.. "

"Dinda.. Bangun Dinda.." Rahayu menepuk pelan pipi Dinda. Tidak ada respon balik. Rahayu menepuk pipi Dinda dengan tepukan yang lebih keras. Berharap bisa membangunkan Dinda. Rahayu mulai panik dan sadar bahwa Dinda ternyata bukan tidur melainkan pingsan. Setengah berlari, rahayu menuju ruang tamu dan meminta bantuan Anton untuk membawa Dinda. Anton dan Reta tidak kalah panik dengan Rahayu.

"Keluarga pasien Dinda?" ujar salah satu dokter. Spontan Anton, Reta dan Rahayu kompak mendapati dokter tersebut.

"Bagaimana keadaan Dinda dok?" Ujar Rahayu cepat

"Saya membutuhkan persetujuan untuk melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan dan juga kejiwaan..."

"Maksudnya dok?" Anton menyela pembicaraan dokter di ruang emergency tersebut

"Saya curiga bahwa pasien mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), satu kondisi dimana pasien terguncang mentalnya karena satu kejadian tertentu. Hal ini terlihat dari respon yang diberikan oleh pasien. Untuk dokter kandungan, saya juga mencurigai bahwa pasien juga dalam kondisi hamil, meskipun masih di trimester awal. Oh ya, saya juga menemukan kerusakan di organ vital pasien. Dugaan saya karena kecelakan atau tindakan kekerasan" ujar dokter tersebut. Mendengar penjelasan tersebut, ketiganya langsung diam. Mereka tidak tahu harus berbicara apa.

"Jadi bagaimana? Jika bersedia saya akan buatkan form untuk konsulennya, dan tentu Pasien akan menjalani rawat inap"

"Lakukan yang terbaik dok untuk Dinda, untuk biayanya saya tidak peduli" ujar Anton cepat.

Sekarang, di sinilah mereka. Dinda masih terlelap dalam pingsannya. Rahayu, Anton dan Reta menunggu dengan cemas Dinda yang sudah dua jam masih terbujur pingsan. Anton sedari tadi berusaha menghubungi Bara, namun nihil. Telponnya hanya diterima oleh sekretaris Bara.

"Arrgghhhh..." Lenguhan kecil dari Dinda menarik perhatian Rahayu Anton dan Reta.

"Bunda.. Aku dimana? Ini di rumah sakit bunda? Aku kenapa?" Dinda berusaha untuk bangkit

"Kamu tadi pingsan nak. Kami membawamu ke sini. " Ujar Rahayu menenangkan Dinda

"Betul Dinda. Sekarang istirahat dulu ya nak. Jangan terlalu banyak berfikir. Kamu harus sehat, untukmu dan untuk cucu moomy" ujar Reta sambil mengelus perut Dinda

"HAH.. Dinda Hamil???"Reaksi tak terduga Dinda tunjukkan. Dia memukul mukul perutnya sendiri dengan keras sambil berteriak histeris

"Aku GAAKK HAMILL.. AKU GAK MAU!!!!!" Dinda semakin histeris dan tangisnya semakin kencang. Melihat itu, Anton berlari memanggil dokter jaga. Dokter langsung memberikan obat penenang untuk meredakan kondisi histeri Dinda. Tak lama, Dinda pun tertidur.

"Bagaimana TUAN DAN NYONYA? APA KALIAN PUAS? Kalian sudah menorehkan luka yang tidak mungkin bisa hilang pada Dinda" Ujar Rahayu dengan nada tinggi pada Anton dan Reta

"Kami tahu kesalahan anak kami tidak termaafkan. Ijinkan kami untuk memperbaiki keadaan. Ijinkan kami merawat Dinda dan cucu kami. Kami berjanji kami akan memberikan yang terbaik untuk keduanya. Dan tolong jangan panggil kami dengan sebutan tuan dan nyonya." mohon Anton pada Rahayu

Kehidupan seolah tidak berpihak pada Dinda. Kehilangan seluruh keluarganya, kehilangan masa depannya, dan kini dia harus menanggung anak hasil perkosaan yang menimpanya. Namun, hidup tidak berjalan mundur, hidup akan terus berjalan walaupun dengan luka perih yang mengiringi setiap langkah Dinda.

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang