Part 13

4K 178 3
                                    

Hari minggu pagi, Dinda duduk diam menikmati angin pagi bulan Januari. Langit cukup mendung, menjadikan angin berhembus sejuk. Lalu lalang orang menikmati hari minggu seolah tidak mengusik Dinda. Pandangannya tidak lagi kosong seperti kemarin. Tidak ada lagi tetes air mata yang mengalir.

"Kamu di sini ternyata nak? Ke gereja yuk.. Misa pagi bareng bunda?" Rahayu mengambil duduk di samping Dinda dan kemudian memegang tapak tangan Dinda.

"Apa masih pantes bun buat Dinda datang misa? Aku kan udah kotor. Banyak dosa juga" Jawab Dinda sambil menunduk.

"Kita semuanya berdosa nak. Gak ada orang yang tidak berdosa. Masalah pantas atau tidak, biar Tuhan sendiri yang menentukan. Ayok.. Mumpung misa pagi belum dimulai"

"Iya bunda. Bunda benar juga. Sejak kejadian itu, Dinda akui kalau Dinda jauh dari Tuhan. Dinda jadi malu sama Tuhan. Bunda tunggu sebentar ya, Dinda ganti baju dulu" Akhirnya Dinda luluh juga dengan bujukan Rahayu. Rahayu pun tersenyum melihat Dinda bisa kembali lagi walaupun masih belum seluruhnya. Dinda pernah dalam posisi denial. Posisi dimana dia menyalahkan Tuhan atas semua yang terjadi padanya. Pernah dalam posisi marah dengan Tuhan atas kejadian yang dialaminya. Kini, setelah semuanya, dia mencoba berdamai, mencoba mendekatkan dirinya kembali pada Tuhan.

Dinda benar-benar kembali pada kehidupan sebelum peristiwa itu terjadi. Walaupun keceriaan belum kembali sepenuhnya, namun setidaknya senyum bahagia kini bisa menghiasi wajah cantiknya. Dia juga mulai aktif berkegiatan kembali. Aktif dalam berbagai kegiatan juga digunakan sebagai salah satu media terapi agar Dinda bisa mengalihkan pikirannya agar tidak kosong yang akan mengakibatkan traumanya akan kembali.

***

Minggu adalah waktu yang tepat buat rebahan. Santai menikmati hidup. Memanjakan diri sendiri. Hal itu juga berlaku untuk Rendi. Jika di weekdays, Rendi selalu sibuk dengan segala macam urusan pekerjaan, file dan meeting yang tidak pernah usai, maka di weekend akan Rendi habiskan dengan memeluk posesif guling dan bantalnya. Atau jika tidak memeluk guling, maka jemari Rendi akan membelai lembut console game, memainkan game bahkan hingga beberapa seri dan setelah itu bisa dipastikan jika Rendi akan berlayar ke pulau mimpi.

Jam menunjukkan hampir tengah hari dan Rendi baru saja membuka mata. Mengerjap sebentar dan segera menuju kamar mandi. Hanya mencuci muka saja, tidak perlu mandi, karena tanpa mandipun dia masih tetap ganteng. Kalimat itu adalah moto hidup seorang Rendi.

"Mah, ini makanan tinggal ini doang? Trus ini Rendi sarapan pakai apa dong?" ujar Rendi ketika menemukan hanya ada nasi goreng yang sudah kering. Roti yang biasanya ada di meja makan juga tidak nampak. Ayu, sang ibunda pun hanya bisa menggeleng menatap anaknya itu.

"Nanggung kamu bangun jam segini, udah tengah hari ini. Sekalian aja nanti makan siang. Ini mama juga lagi mau masak buat makan siang" Ujar Ayu. Mau marahpun juga percuma menghadapi anaknya.

"Ini weekend ma.. Gak masalah juga kan bangun siang. Sekali kali jugalah mah.."

"Percuma ah ngomong sama kamu.. Gak bakalan di denger juga kan.." Keluh Ayu pelan. Sejenak kemudian

"Besok ikut mama sama papa kan? Ingat jangan sampai lupa dan jangan sampai lupa beli bunga dan lainnya. Jangan lupa bangun pa......." Belum selesai Ayu berkata, dia menoleh ke Rendi dan hanya bisa mengelus dada dan menggelengkan kepala melihat Rendi tidur dengan posisi duduk ditambah mulut yang mengaga. Suara dengkuran menambah seksi pemandangan di meja makan saat itu. Entah menurun dari siapa sifatnya itu. Mengingat ayahnya, Surya Birawa Adinegara, mempunyai sifat yang sangat bertolak belakang dengan anak sulungnya itu.

Esok harinya, Surya, Ayu dan Rendi sudah rapi sejak pagi hari. Sebuah hand bouquet bunga anggrek bulan merah dan bunga chrysant kuning berada di tangan Ayu. Hari ini, tepat seribu hari meninggalnya Suksma Cahyaning Surya, Adik dari Rendi. Suksma meninggal tiga tahun lalu akibat tabrak lari saat Suksma akan pulang dari kampusnya. Alasan ini pula yang menyebabkan Rendi memutuskan pergi ke Jerman dan meneruskan studi sekaligus konseling intensif dengan psikolog di sana. Rendi merasa bersalah, karena dia tidak menjemput Suksma saat itu. Andai saja dia bisa menjemput Suksma, dan dia tidak perlu menyebrang jalan, maka kecelakaan itu bisa dihindari.

"Dek... Maafin mas ya dek.. Mas gagal jagain kamu.. " Rendi langsung mengusap nisan di depannya. Seketika air mata turun mata Rendi. Rasa bersalah itu tidak akan pernah hilang dari hatinya.

"Gimana kamu di sana? Pasti bahagia kan.. Ketemu sama oma opa kamu gak?" Giliran Ayu berucap sambil meletakkan dua hand bouquet. Bunga anggrek bulan merah dan bunga chrysant kuning adalah bunga kesukaan dari Suksma.

"Sudah, cukuplah jangan ada airmata lagi. Kita ke sini untuk berdoa buat adek kan?" Ayu dan Rendi mengangguk menjawab pertanyaan dari Surya. Mereka terdiam sejenak, berdoa pada Tuhan untuk kedamaian Suksma.

"Rendi, papa minta jangan lagi merasa bahwa peristiwa tiga tahun lalu adalah kesalahanmu. Tidak ada yang menyalahkan kamu. Papa tidak mau kamu menjadi terpuruk karena peristiwa itu." Surya berucap sambil memegang pundak Rendi saat mereke berjalan meninggalkan makam Suksma.

"Rendi ingin pa.. Tapi rasa bersalah itu tetap saja muncul. Sedih rasanya pa.. Rendi cuman punya adek satu, tapi Rendi gak bisa menjaga dengan benar" Rendi menjawab dengan wajah yang lesu. Dia selalu sensitif jika menyangkut masalah Suksma.

"Papamu benar nak. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Mama yakin kalau ini semuanya memang kehendak Tuhan. Sekarang tugas kita, kita doakan Suksma ya.." Kali ini Ayu yang mencoba menenangkan Rendi. Rendi memang akan berubah jika hal itu menyangkut Suksma. Tidak ada lagi Rendi yang ceria, konyol, semangat dan gembira, yang ada hanyalah Rendi yang murung dan menyalahkan dirinya. Selalu kata "andaikan" yang muncul di kepala Rendi apabila mengingat semua peristiwa yang berkaitan dengan Suksma. Kedua orang tuanya telah memberi pengertian bahwa semua peristiwa yang terjadi pasti sudah atas izin dari Tuhan, dan Tuhan pasti telah merancang segala sesuatunya itu indah sesuai dengan kapasitas kita masing-masing, namun tentu semua itu terjadi bila kita bisa menerima dengan ikhlas.

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang