Ritme kehidupan terus berjalan. Kehidupan terus berjalan. Jika kehidupan Dinda berangsur membaik, maka kehidupan Bara merupakan kebalikannya. Semenjak Mario datang dalam kehidupannya, pola kehidupannya menjadi jungkir balik. Bara kembali tinggal bersama dengan orang tuanya, tidak ada pilihan lain karena Anton memaksa Bara untuk ikut merawat anaknya itu. Anton dan Reta bukannya tidak mau merawat sepenuh hati, namun mereka ingin Bara juga tahu bagaimana susahnya merawat seorang bayi.
"Bara jangan lupa beli susu formula sama popok. Persediaan hampir habis" Seru Reta saat mereka bertiga ada di meja makan untuk sarapan
"Ok Mom.. " Bara langsung mengambil ponselnya. Dia bermaksud untuk menelpon Rian, namun belum sempat dia menelpon, Anton langsung menyela
"Kalau kamu berpikir untuk menyuruh Rian membeli semua keperluan Mario, detik ini juga daddy pastikan bahwa kamu tidak memiliki kepemilikan saham di perusahaan daddy" Bara langsung menghentikan niatnya. Harta memang kelemahan utama dari Bara.
"Kenapa sih dad? Sama saja kan, mau Bara atau Rian sama aja kan? Toh duitnya juga dari Bara"
"Bukan masalah duit, tapi rasa tanggung jawabmu! Kalau kamu tidak mau susah, maka kendalikan nafsumu itu! Sekarang, coba kamu pikir akibat kelakuan burukmu itu siapa yang repot? Ingat, tidak semua hal bisa kau bayar dengan uang! Kau juga tidak bisa seenaknya menyuruh Rian untuk melakukan hal yang harusnya kamu lakukan sendiri!"
"Baaaiikk dad, nanti sepulang Bara dari kantor, mampir ke supermarket" Jawab Bara lesu setelah mendengar Anton yang marah
"Satu lagi, minggu depan jadwal Mario untuk imunisasi. Jangan lupa kosongkan jadwal kamu trus bikin janji sama dokter!"
"Imunisasi? Harus Bara juga dad yang mengantar Mario?"
"Harus! Mommy sudah ada janji sama teman mommy buat arisan dan daddy kamu mau ketemuan dengan teman lamanya" Kali ini Reta yang bersuara
"Gak masalah sih Bar kalau kamu gak mau nganter Mario buat imunisasi, tapi ya jangan ngeluh repot kalau nanti Mario jadi sakit-sakitan gara-gara imunisasi gak lengkap" Tambah Anton santai sambil mengunyah sarapan paginya. Sekali lagi, Bara hanya bisa mengangguk, mengikuti apa yang dimau oleh orang tuanya.
Mario Rachmadi, bayi kecil yang imut dan menggemaskan itu mampu merubah total hidup Bara. Tidak ada lagi clubbing, tidak ada lagi alkohol dan tidak ada lagi wanita malam yang menghiasi hari-harinya. Jika ditanya apakah Bara sudah sepenuhnya menerima Mario atau tidak, maka jawabannya adalah iya. Bara dengan sebulat hati menerima Mario sebagai anaknya sebagai bentuk tanggung jawabnya atas apa yang dilakukannya dulu. Namun, terkadang sisi hati lainnya juga masih belum rela karena secara tidak langsung Mario telah merampas semua yang awalnya hanya dinikmati oleh Bara. Perhatian orang tuanya, kasih sayang orang tuanya, hak ahli waris atas perusahaan ayahnya dan bahkan kini karena kehadiran Mario, Bara juga harus kehilangan kemerdekaannya. Bara juga masih sangat ingat jika dia membawa Mario karena tidak mau kehilangan pundi-pundi rupiahnya.
***
Hari sudah malam. Sudah jam 9 malam dan Bara baru saja pulang. Pekerjaan hari ini sangat menyita seluruh energinya. Perlahan Bara memasuki rumahnya. Sebelum masuk ke kamarnya, langkah kaki menuntunnya menuju kamar di samping kamarnya. Pelan dibukanya pintu kamar itu. Pemandangan di kamar itu seketika menyesakkan dada Bara. Bergegas dia menghampiri anak kecil yang tertidur di sana. Wajah pucat, plester kompres demam, dan keringat yang membasahi wajah kecil itu seketika mampu menarik perhatian Bara
"Kamu kenapa iyok? Ada yang sakit nak??" Ucap Bara sambil mengelus pelan kepala Mario. Mario hanya merespon dengan menggeliat perlahan namun masih tetap tertidur
"Maafin daddy ya nak. Daddy gak tahu kamu lagi sakit. Kerjaan daddy hari ini sangat banyak" Bara melanjutkan ucapannya. Tangannya meraih beberapa lembar tissue yang ada di nakas, lalu mengelap dengan lembut kening Mario. Setelah selesai, tangannya meraih tangan mungil Mario, menggenggam lembut dan menciumnya. Cukup lama Bara terdiam mengamati anaknya yang sedang tertidur itu hingga dia dikagetkan dengan tepukan di bahunya
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...