Minggu siang Mentari dan Brian baru saja pulang dari misa di gereja. Mereka juga harus mengikuti kursus persiapan pernikahan. Hubungan mereka memang makin dekat. Brian telah diterima dengan baik di keluarga Surya, demikian juga dengan Mentari. Dia juga telah diterima dengan baik di keluarga Wisesa. Sebelum mereka pulang, mereka mampir dulu makan siang di salah satu resto cepat saji di dekat gereja.
"Mas Bri, sebenarnya apa sih yang kakak lihat dari Tari. Kakak kan udah tahu masa lalu Tari kayak gimana?" Mentari sebenarnya sampai sekarang masih penasaran akan Brian.
"Perlu ya aku jawab pertanyaanmu itu?" Brian bertanya balik. Brian tahu bahwa satu saat Mentari akan menanyakan hal itu.
"Penasaran aja sih kak, dengan semua yang ada di kakak, kakak bisa dapat cewek lain yang gak punya catatan gelap sepertiku"
"Hmmm...." Brian mendesah pelan. Memberi jeda sejenak dan kemudian melanjutkan perkataannya
"Aku gak munafik kalau aku tertarik sama kamu itu ya tentang fisik. Kamu itu seleraku. Cantik, imut, aktif namun dewasa dan smart. Kamu juga pinter masak kan. Mangkanya aku deketin kamu. Trus kamu cerita soal masa lalu kamu itu. Awalnya aku pikir itu caramu buat nolak aku. Nge-prank aku sama cerita bohongan itu" Brian menjeda kembali ceritanya sambil menghabiskan kentang goreng dan burger pesanannya. Mentari masih diam, menunggu Brian menyelesaikan semuanya.
"Habis kamu cerita itu, aku pulang dengan wajah kusut, kucel. Cowok mana yang gak bete kalau dia ditolak sama cewek yang udah bikin dia jatuh cinta?"
"Jadi Mas Bri beneran cinta sama Tari?"
"Bentar.. Mas lanjutin dulu... Pas pulang itu ternyata kak Rendi lagi maen PS sama kak Angga di rumah. Mungkin liat adiknya kucel, mereka penasaran, ya udah sekalian aku curhat sama mereka berdua. Dari kejadian itu aku tahu kalau kamu itu adik angkatnya kak Rendi"
"Emang kak Rendi cerita apa aja?"
"Reaksi pertama denger ceritaku sih dia kaget, karena cerita sama persis sama cerita adiknya. Dia nanya, siapa nama cewek yang jadi inceranku? Ya, aku jawab nama kamu lengkap. Denger nama lengkap kamu disebut, kak Rendi langsung bilang kalau itu adiknya. Gitu..."
"ishh... Kalau udah tahu dari waktu itu, ngapain gak bilang ke Tari kalau udah kenal sama kak Rendi!!" Mentari kembali kesal, karena teringat bahwa dia merasa dikerjain habis-habisan oleh keluarganya dan keluarga Brian. Brian cuman terkekeh pelan melihat Mentari yang masih kesal sama peristiwa lamaran malam itu.
"Trus, setelah tahu kalo ceritaku itu bener dan bukan buat nge-prank mas Bri doang, gimana?"
"Gak langsung terima juga Tar. Pernah ada di posisi denial juga. Setiap cowok pasti pengen kan jadi yang pertama. Aku gak munafik juga. Cuman kak Angga buka hati aku kalau marriage is not about sex, it's not about how I can broke the virginity. Kak Angga kasih pengertian kalau kamu kehilangan itu semua bukan karena tingkah laku kamu yang gak bener, tapi di sini kamu itu korban"
"How about my child? Gimana dengan anakku? Mas Bri bisa terima dia?" Mentari tiba-tiba teringat dengan anaknya. Padahal dia sudah hampir melupakan anaknya itu. Namun entah mengapa tiba-tiba muncul di pikirannya jika dia sebenarnya adalah seorang ibu.
"No probs. Lagipula bukannya dia diurus sama bapaknya. Kalaupun toh ntar dia datang dan menginginkanmu sebagai ibunya, gak masalah buat mas. Tapi kalau bapaknya yang datang, ya gelut aja duluan" Brian menatap mata mentari pelan. Dia menangkap bahwa Mentari masih menyisakan ragu di hatinya.
"Tari, take a look at me, malam itu aku berani ajak semua keluargaku datang ke rumah kamu, itu artinya aku sudah terima kamu the whole package. Every single part of you. Kalau aku masih ragu, gak mungkin juga aku ngajak kamu persiapan kanonik" Brian menggenggam tangan Mentari lembut. Mencoba meyakinkan tunangannya itu.
Mendengar penuturan Brian, Mentari merasa lega. Setidaknya dia tahu jika Brian bisa menerima keadaannya. Jujur saja, Mentari belum tahu perasaannya terhadap Brian. Mentari hanya melihat ketulusan saat menatap manik mata Brian. Tidak ada kebohongan di sana. Kini tugas Mentari hanyalah mencoba untuk membuka lebih lebar dan membiarkan Brian mengisi hatinya yang telah lama kosong. Sepertinya hal itu bukan sesuatu yang sulit. Brian cukup tampan dan sifatnya cukup mudah bergaul. Kedewasaan dalam perilaku dan pikiranpun ada dalam diri Brian.
***
Pertunangan Mentari dan Brian membawa aura positif dan kegembiraan di keluarga keduanya. Semuanya tersenyum, semuanya merestui atas pertunangan dua calon dokter itu. Namun hal sebaliknya pada Bara. Seketika seluruh asa yang menumpuk luruh seketika saat mendapat laporan dari Rian jika Mentari telah bertunangan dan bahkan akan segera menikah. Keinginannya untuk meraih Mentari dalam rangkulannya sirna. Tapi dia bisa apa? Luka yang tergores dalam di Mentari adalah ulahnya sendiri.
"Selamat Dinda.. Selamat atas pertunanganmu. Haruskah aku bahagia dengan ini? Karena akhirnya ada orang mendampingimu, mengisi hari-harimu melindungimu... Ah tidak, biar aku saja yang melindungimu. Biar aku saja yang menjagamu. Aku tidak bisa mendekapmu, merangkulmu, maka biarkan aku melihat tawamu saja. Cukup itu yang aku minta sekarang. Selamat Dinda, dan berbahagialah dengan lelakimu" Bara sadar bahwa dia sudah jatuh terlalu dalam. Jatuh ke dalam perasaan sakit yang awalnya dia buat sendiri. Jatuh karena rasa sakit yang dia buat karena kebodohannya sendiri.
"Bara... Bara.. Kamu di dalam nak?" Panggil Reta sambil mengetok pintu kamar Bara. Bara sendiri masih larut memandangi galeri foto di ponselnya yang menampakkan foto ceria Mentari dan Brian dalam bermacam kesempatan.
Merasa tidak ada tanggapan, Reta memutuskan membuka pintu kamar Bara. Dia langsung kaget melihat Bara yang tampak letih dan pucat. Tatapannya sayu menunjukkan adanya beban di hatinya. Direngkuhnya Bara dalam pelukannya, lalu dengan lembut Reta berkata
"Kenapa? Ada apa sampai kamu seperti ini?"
"Dinda mom... Dinda akan menikah. Dia sudah bertunangan dan sekarang dalam persiapan pernikahan" ucap Bara pelan. Reta bingung harus berkata apa. Dia tidak menyangka jika Dinda membawa efek yang luar biasa terhadap Bara. Jika dulu Dinda yang harus tertatih menghadapi hari-harinya, kini dunia berputar. Bara yang kini harus berjuang menjalani hari-harinya.
"Sarapan dulu yuk. Daddy udah nunggu di bawah. Mario juga udah rapi sama bibik. Tadi Mom panggil kamu tapi kamu diam aja" Selepas mengatakan itu, Reta meninggalkan Bara sendiri. Niatnya ingin memberi Bara ruang dan waktu sejenak. Belum sampai pada pintu, Bara memeluk Reta dari belakang. Pertahanan Bara selama ini runtuh. Dia menangis tertahan.
"Kenapa hati Bara sakit ya mom denger Dinda akan menikah? Kenapa mom? Kenapa sepertinya Bara tidak rela jika Dinda menikah dengan orang lain. Tapi Bara juga tidak bisa apa-apa. Bara juga tidak bisa mendekat pada Dinda. Bara takut akan menyakitinya lagi jika Bara muncul di depannya" Ucap Bara pilu.
Reta yang awalnya akan meninggalkan kamar Bara, hanya bisa terdiam. Membiarkan punggungnya basah oleh tangisan dari Bara. Dia membiarkan hingga tangis Bara mereda dan kemudian berbalik menatap Bara. Ditangkupnya wajah Bara dengan kedua tangannya. Diusapnya pelan wajah yang menunjukkan kesakitan itu.
"Bara, Dinda sudah bahagia dengan pilihannya. Itu sudah haknya dia. Kita tidak bisa menghalanginya, lagipula dia bukan siapa-siapa kita, jadi kita tidak bisa memaksa apapun ke Dinda. Biarkanlah dia bahagia dengan jalan hidupnya sekarang. Sekarang kamu juga harus bisa menemukan kebahagianmu sendiri." Ditatapnya wajah anak tunggalnya itu. Bara masih memejamkan matanya. Isakan kecil masih terdengar darinya. Reta mengusap pelan air mata Bara. Hatinya sebenarnya sakit melihat anak lelakinya seperti itu. Tapi walau bagaimanapun itu semua adalah buah dari apa yang dilakukan oleh Bara sendiri.
"Setiap perbuatan, besar atau kecil pasti akan ada konsekuensinya di masa yang akan datang. Mungkin ini konsekuensi yang harus kamu tanggung dari perbuatan kamu waktu itu. Jangan terlarut dalam kesedihanmu sendiri. Kamu masih ada Mario yang sekarang menjadi tanggung jawabmu. Cuma kamu yang Mario punya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi" Reta mencoba menenangkan Bara. Dia sendiri bingung dengan perubahan sikap dan perilaku Bara. Sekarang, Reta menjadi sadar bahwa Bara sudah terlanjur jatuh dalam penyesalannya. Bara hanya mengangguk. Merelakan dan melupakan semua hal tentang Mentari. Itu yang akan coba dilakukan oleh Bara. Sekarang, fokusnya adalah bagaimana dia mengasuh Mario dan mencari kebahagiaannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...