Part 37

2.4K 116 6
                                    

Waktu bergulir, semesta beranjak. Tujuhbelas tahun sudah berlalu sejak terakhir kalinya Mentari bertemu Bara, Mario, Anton dan Reta. Bara menepati janjinya pada Rendi, bahwa pertemuan mereka di rumah sakit itu merupakan pertemuan terakhir kalinya bagi mereka. Mentari sudah menikah dengan Brian beberapa bulan usai operasi transplantasi sumsum tulang belakang dan sekarang dikaruniai seorang putri cantik. Angelica Feinya Wulandari, nama yang disematkan oleh sang ayah pada gadis kecilnya itu. Seorang gadis cantik dan dianugerahi otak yang cemerlang oleh Tuhan. Dua kali program akselerasi saat SMP dan SMA diselesaikannya dengan baik hingga menjadikannya menginjakkan kaki di bangku kuliah saat usia masih enambelas tahun. Fakultas Kedokteran Umum menjadi tempat pilihan Feinya berkuliah. Melihat bagaimana ayah dan bunda berdedikasi dalam profesinya, menjadikan Feinya sangat ingin mengikuti jejak keduanya. Usia yang seharusnya masih mengenakan seragam putih abu-abu membuat Feinya masih bersifat childish. Sifat kekanak-kanakannya itu tidak bisa ditutupinya.

Bagaimana dengan Mario? Operasi transplantasi sumsum tulang belakang dinyatakan berhasil dan Mario merupakan salah satu dari penyintas penyakit kanker darah. Seusai menjalani operasi transplantasi sumsum tulang belakang memang tidak langsung dinyatakan sembuh oleh tim dokter yang menanganinya, dia masih harus menjalani serangkaian terapi penunjuang untuk memastikan bahwa transplantasi sumsum tulang belakang itu berjalan dengan baik dan tidak ada infeksi susulan akibat tindakan medis tersebut. Kondisi kesehatan yang tidak baik, menjadikan Mario sedikit terlambat dibandingkan dengan anak-anak seusianya dalam hal pendidikan. Saat mahasiswa lain seusianya sudah menyelesaikan studinya, dia masih berkutat pada skripsi dan tugas akhir yang harus diselesaikannya sebelum resmi menyandang, Bachelor of Business di belakang namanya. Selain sibuk menyelesaikan studinya, Mario juga disibukkan dengan segala urusan di perusahaan milik keluarganya. Satu-satunya cucu dan keturunan yang dimiliki oleh keluarganya, menjadikan dia sebagai satu-satunya orang yang bisa mengurus semua bisnis keluarganya. Dia pewaris tunggal Nusa Raya Group.

Feinya dan Mario, dua pribadi yang saling tidak mengenal satu sama lainnya, dua pribadi yang dipersatukan oleh satu figur yang sama, dan merekapun kini menempuh pendidikannya di satu universitas yang sama pula.

***

Feinya melangkahkan kakinya menuju perpustakaan pusat universitas. Untungnya letak perpustakaan universitas tidak terlalu jauh dari Fakultas Kedokteran Umum. Letaknya hanya di samping fakultas tempatnya menimba ilmu. Sebagai mahasiswa baru, dia harus mengurus keanggotaan perpustakaan dan melakukan data integrating sehingga saat dia membutuhkan buku atau literatur yang berkaitan dengan studinya dia dengan mudah mendapatkannya. Selesai dengan urusan pendaftaran keanggotaan perpustakaan, Feinya yang saat itu bersama dua temannya memutuskan untuk makan siang di kantin perpustakaan. Bakso di kantin perpustakaan ini terkenal enak dan murah sehingga sangat rame dipenuhi oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Jadilah kini Feinya duduk sendiri, sedangkan kedua temannya duduk di depannya. Mereka sedang menikmati bakso sambil sesekali bercanda, tiba-tiba dikejutkan oleh mahasiswa cowok yang juga membawa mangkok bakso.

"Permisi, ini kosong kan ya kursinya? Bisa saya pakai kan?" Ujar cowok itu sopan namun berkesan dingin.

"Kosong kak. Silakan aja" Feinya mempersilakan tempat duduk di sampingnya diisi oleh cowok itu. Kantin memang kondisinya ramai, jadi wajar jika cowok itu tidak mendapat tempat duduk.

"Kakak, lapar banget ya? Makan bakso sampe segitunya?" Feinya iseng melihat porsi bakso yang diambil oleh cowok di sampingnya. Merasa diajak ngobrol, cowok itu menoleh, tersenyum tipis dan kemudian dia menjawab singkat

"Lapar" melihat jika cowok di sampingnya itu tidak meresponnya dengan baik, maka Feinya lebih memilih diam dan melanjutkan makan baksonya sendiri. Tampaknya cowok itu sedang tergesa, dia makan dengan cepat. Setelah makanpun, dia berdiri dengan cepat hendak meninggalkan kantin. Namun saat akan berdiri dan melangkah, kakinya malah tersandung tas-nya sendiri yang tadi dia letakkan di lantai.

GUBRAK!!! BUGHH!!!

Mario terjatih dengan posisi kepalanya terantuk pingir meja terlebih dulu hingga menyebabkan keningnya berdarah dan lebam. Merasa malu, Mario langsung berdiri mengambil tasnya di lantai dan bermaksud melangkah. Ketika hendak melangkah, dia merasa pundaknya dicegah oleh seseorang, dan ketika dia menoleh ternyata ternyata cewek yang tadi dia tidak perdulikan yang menahannya.

"Kakak duduk dulu, biar Fei bersihin lukanya" Bagai tersihir, Mario menuruti Feinya dengan duduk kembali. Mario membiarkan tangan Feinya membersihkan lukanya dengan tissue dan lalu menutupnya dengan plester luka.

"Katanya ayah bunda, jangan biarin luka sekecil apapun. Kalau gak segera diobati bisa infeksi nantinya" Feinya berceloteh sambil tangannya membersihkan luka di kening Mario. Sesekali Feinya juga meniup-niup luka di kening Mario. Selesai membersihkan, Feinya mengambil plester luka, lalu menutupkannya pada luka di kening Mario.

"Udah selesai kak. Jangan jatuh-jatuh lagi kayak anak kecil ya. Oh ya, namaku Feinya, kakak bisa manggil aku Fei. Kalau kakak namanya siapa?" Feinya terus saja mengoceh. Mario biasanya sangat tidak betah dengan cewek kekanak-kanakan. Dia biasanya akan mengusir cewek itu atau dia yang akan pergi meninggalkan tempat tersebut. Tapi kali ini dia merasa berbeda. Dia merasa nyaman-nyaman saja dekat dengan cewek ini. Dia tidak merasa terganggu sama sekali.

"Iyok. Panggil aja gue dengan iyok" Jawab Mario. Namun seketika dia kaget sendiri, mengapa dia memberikan namanya semudah itu pada orang asing yang bahkan dia tidak mengenal sama sekali? Mario hanya memperbolehkan orang-orang terdekatnya saja yang memanggilanya dengan "iyok".

Sore tiba, waktunya untuk Feinya pulang ke rumahnya. Biasanya dia akan diantar jemput oleh sopir Brian, namun karena sopirnya itu sedang pulang kampug, maka sore ini Feinya berencana pulang menggunakan taksi. Kini dia berdiri di depan gedung utama fakultasnya dan menunggu taksi yang datang. Namun tiba-tiba sebuah mobil jenis mid-size sedan meluncur di depannya dan kemudian mundur dan berhenti tepat di depan Feinya. Saat kaca terbuka, nampaklah wajah Mario di kursi pengemudi.

"Mau pulang? Mau gue antar gak?" ujar Mario, mengajak Feinya.

"Fei dipesenin sama ayah bunda, kalau Fei gak boleh pergi sama orang yang gak Fei kenal" Jawab Fei kemudian

"Trus lo di sini mau ngapain? Nungguin jemputan? Atau gimana?"

"Nungguin taksi lewat. Tadi ayah bilang gak bisa jemput. Ada operasi mendadak katanya. Pak Somad lagi pulang kampung. Jadinya Feinya pulang pake taksi" Jelas Feinya ke Mario.

"Lo emang kenal sama sopir taksinya?" Pertanyaan ringan Mario dijawab gelengan oleh Feinya.

"Lha itu lo berani sama sopir taksi yang kagak lo kenal. Ngapain sama gue takut? Lo udah tau nama gue kan?" Feinya mencermati perkataan Mario. Benar, dia tidak kenal dengan sopir taksi yang akan mengantarnya. Berarti kalau dia pulang dengan taksi, dia tidak mematuhi apa yang dikatakan oleh ayah bundanya.

"Benar juga sih kak. Kalau sama pak sopir taksi kan Fei gak tahu. Tapi kalau sama kakak, paling enggak Fei tahu nama kakak. Jadi kalau ntar ditanyain bunda, Fei bisa jawab sih. Oke deh, kalau gitu tolong anterin Fei pulang ya kak" Feinya berceloteh sambil masuk ke mobil Mario. Mario hanya memandang dengan takjub cewek yang sekarang duduk di sampingnya itu. Feinya kini duduk tenang di jok samping Mario dengan seatbelt yang sudah terpasang. Lagi, Mario dibuat bingung. Setelah tadi dengan mudahnya dia memberi tahu namanya ke orang yang baru dikenal, sekarang dia dengan mudah mempersilakan orang lain duduk di sampingnya. Dia tidak tahu ada apa dengannya hari ini. Semudah itu membuka dirinya pada cewek yang dia belum kenal dengan baik. Dia belum mengenal Feinya sama sekali. Hanya berinteraksi karena insiden kecil tadi siang.

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang