Setelah mendapatkan pencerahan dan pengertian dari Surya, Mentari sedikit tenang. Setidaknya dia sekarang tahu, langkah apa yang harus dia ambil. Keputusannya sudah bulat tentang Mario. Langkahnya sekarang lebih ringan dibandingkan kemarin. Sekarang yang dia harus lakukan adalah meyakinkan dirinya sendiri bahwa pilihannya untuk ikut membantu merawat Mario. Hari ini kebetulan Mentari dan Brian sama-sama masuk dalam shift malam. Seperti biasa, jika mereka sama-sama mendapatkan jatah jaga yang sama, maka Brian akan menjemput dan berangkat bersama dengan Mentari. Mentari masih berjaga di IRD sementara Brian saat ini masuk pada stase kandungan dan kebidanan. Mentari berencana untuk memberitahu Brian mengenai permasalahannya itu. Dia berharap bahwa Brian mengerti keputusannya untuk ikut merawat Mario dan tidak mempermasalahkannya di kemudian hari.
"Mas Bri, ada yang mau aku omongin" Mentari saat ini duduk di sisi Brian yang tengah mengemudi mobilnya. Brian yang mendengar itu, hanya melirik sekilas, lalu berucap:
"Apaan? Serius amat kayaknya" Brian menanggapi santai.
"Mario, dia sakit" Brian mengernyitkan keningnya. Mario? Siapa itu? Seingat Brian, tidak ada teman dekat atau sudara Mentari yang bernama Mario.
"Mario, dia anak yang lahir dari rahimku akibat peristiwa itu. Kemarin waktu jaga malam, dia dibawa sama bapaknya ke rumah sakit. Sekarang MRS" Mentari menjelaskan dengan singkat.
"Trus?" Brian masih belum mengerti arah pembicaraan Mentari. Apalagi dia harus membagi fokusnya saat menyetir.
"Mas keberatan gak, jika aku ikut bantu merawat Mario?" Akhirnya Mentari berani minta ijin ke Brian
"Hm.. Mas ijinkan jika memang kamu ingin merawat Mario. Biar bagaimanapun, dia adalah anakmu. Tapi mas gak bakalan kasih ijin kamu merawat bapaknya! Gak akan! Kalau bapaknya yang sakit cari dokter lainnya" Brian masih mentolerir jika Mentari ingin merawat anaknya. Bagaimanapun naluri ibu tidak akan pernah bisa hilang dan dibohongi. Lagipula dia pernah mengatakan jika memang Mentari ingin mengambil anak itu, dia tidak akan menghalanginya. Brian harus konsekuen dengan perkataan dia sendiri waktu itu. Mendengar perkataan Brian yang menyiratkan kecemburuan, Mentari hanya tersenyum ringan. Entah mengapa ijin dari Brian dan kecemburuan yang tersirat menghangatkan hatinya. Dia semakin yakin akan pilihannya pada Brian.
Brian dan Mentari sampai di rumah sakit jam setengah delapan malam. Sebelum berpisah pada ruang jaga masing-masing, Mentari mengajak Brian untuk menemui Mario. Setelah mengetuk pintu dan masuk ke ruang rawat inap, Mentari mendapati Mario sedang tertidur. Reta dan Anton tampak di duduk di kursi sambil nonton tivi. Melihat Mentari yang datang, Reta langsung berdiri dan menyambut Mentari hangat.
"Om, tante, kenalkan ini tunangan Tari. Mas Brian. Setelah lulus nanti, kami berencana akan menikah" Mentari memperkenalkan Brian. Uluran tangan Brian disambut hangat baik oleh Anton ataupun Reta. Reta sepertinya masih tidak rela dan masih menginginkan Mentari dan Bara bersatu. Tapi keinginan itu sekarang tidak mungkin terealisasi. Jika dulu keinginan itu tidak mungkin karena Mentari yang masih trauma dan histeri terhadap Bara, sekarang tidak mungkin karena Mentari sudah bertunangan.
"Bagaimana Mario, tante?" Mentari lalu mendekati Mario. Anak itu tampak tidur dengan tenang. Keningnya berkeringat. Spontan Mentari mengambil beberapa helai tisu yang ada di nakas samping Mario, mengelap dengan lembut kening Mario. Semua perlakuan Mentari terekam jelas oleh semua orang di ruang itu. Perlakuan lembut Mentari pada Mario itu justru menimbulkan penyesalan yang sangat mendalam pada Reta dan Anton. Seadainya Mario tidak terlahir dengan cara yang salah, tentu akan lengkaplah kebahagiaan mereka. Mentari sebenarnya bisa saja tidak menghiraukan bagaimana kondisi Mario, mengingat bagaimana sejarah yang terjadi diantara mereka, namun Mentari kini justru lebih memilih untuk ikut merawat Mario.
"Habis disuntik obat trus dia tidur. Sudah reda panasnya. Kata dokter yang ke sini tadi, observasi lanjut baru bisa dimulai jika tidak demam." Anton menjelaskan
"Observasi lanjut?" Brian menoleh ke Mentari meminta penjelasan lebih lanjut
"ALL (Acute Lymphoctic Leukemia). Aku dan dokter Wisnu curiganya ke sana. Mario menunjukkan gejala klinis ke arah ALL. Akhirnya aku dan dokter Wisnu ambil langkah konservatif dengan merujuk ke Prof Susilo. Sekarang Mario dalam perawatan dengan Prof Susilo" Mentari menjelaskan singkat ke Brian.
"What? Separah itu?" Brian tentu saja terkejut mendengar apa yang dikemukakan oleh Mentari. Dia sekarang paham, jika Mentari sampai ingin ikut merawat Mario. Awalnya Brian hanya mengira jika Mario hanya sakit demam biasa atau sakit influenza seperti lazimnya anak-anak. Mentari hanya mengangguk merespon reaksi Brian.
"Terima kasih nak, sudah mau ikut merawat Mario" Reta mengusap tangan Mentari hangat. Sebenarnya dia takut jika hari itu adalah pertama dan terakhir kalinya Mentari mau menjenguk Mario.
"Tari sudah dapat ijin, baik dari papa dan dari mas Brian. Jadi, Tari memang akan ikut merawat Mario. Tari janji, tari akan sempatkan waktu untuk melihat Mario" Mentari membalas usapan tangan Reta dengan hangat. Dia sangat paham kekhawatiran dari Reta. Dia sekarang mencoba untuk menguatkan Reta dan Anton yang nampak terpukul dengan kondisi Mario.
"Tante, Tari minta maaf ya atas perlakuan Tari yang buruk waktu itu. Tante dan Om gak salah sama sekali tapi malah kena imbasnya. Tari minta maaf ya om, tan.." Perkataan tak terduga dari Mentari membuat Reta dan Anton sangat terkejut. Mereka tidak mempermasalahkan sama sekali perlakuan Mentari saat itu. Kini, justru Mentari yang minta maaf pada mereka. Anton dan Reta sungguh tidak habis pikir, bagaimana Mentari bisa melewati semuanya itu.
Karena memang harus bertugas jaga, akhirnya Mentari dan Brian pamit. Reta sebenarnya ingin menahan Mentari lebih lama, ingin ngobrol lebih lama dan ingin melepas kangennya pada Mentari namun, dia juga tahu bahwa masih ada kewajiban yang harus dijalankan oleh Mentari.
Saat akan meninggalkan ruang rawat inap, Mentari dan Brian bertatapan dengan Bara yang akan masuk ke ruangan itu. Mereka bertatapan sejenak. Mentari sendiri agak terkejut dengan penampilan Bara kali ini. Tidak ada lagi Bara yang tampan dan garang seperti dulu, yang ada di depannya kini adalah Bara dengan tatapan mata lelah dan wajah yang sayu. Tidak ingin terjebak dalam kondisi yang tidak enak dan canggung, maka Mentari menggandeng lengan Brian erat dan menariknya keluar dari ruangan itu segera. Bara hanya memandang hal itu dengan diam. Dia tahu siapa dan apa hubungan Mentari dengan lelaki itu. Dadanya tiba-tiba sesak. Kembali, dia merasa kerdil jika berhadapan langsung dengan Mentari. Tenggorokannya serasa tercekat hingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Kakinya terasa berat, hingga beranjakpun dia tidak mampu.
Mentari memang masih sering menjenguk Mario. Di sela kesibukan jaganya di rumah sakit, dia pasti akan meluangkan waktunya untuk menjenguk Mario. Saat menjenguk Mario, Mentari selalu mengajak Brian. Dia tidak mau jika hanya dia yang menjenguk, dan kebetulan yang jaga Mario adalah Bara, maka dia dan Bara tentu terjebak dalam situasi canggung, dan hal itu sangat dibenci oleh Mentari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...