Part 11

4.4K 232 6
                                    

Ruang rawat Dinda kini dipenuhi oleh Anton, Reta dan Rahayu. Rahayu langsung ke rumah sakit begitu mendapatkan kabar dari Reta. Keheningan menyelimuti ruangan. Tidak ada yang mulai berbicara. Reta dan Anton duduk terdiam di sofa, sementara Rahayu duduk di samping brankar Dinda. Tangan kanannya menggenggam erat tangan Dinda, sementara tangan kirinya membelai lembut rambut Dinda. Dinda sendiri masih belum bangun dari tidurnya. Tubuh lemah, mengalami pendarahan dan obat penenang merupakan kombinasi yang tepat hingga membuatnya seperti betah dalam alam tidurnya.

Ceklek....

Pintu ruangan Dinda terbuka. Tampak dr Sinta melangkahkan kakinya memasuki ruangan diikuti oleh perawat di belakangnya.

"Selamat pagi, Bapak ibu... " ucap ramah dr Sinta

"Pagi dok... " Anton dan Reta serempak menjawab, sementara Rahayu masih tetap duduk dan masih tetap memegang tangan Dinda. Namun perhatiannya kini tertuju ke dr Sinta.

"Begini bapak ibu, dari hasil pemeriksaan saya, kemungkinan besar Dinda tidak akan bisa menyusui bayinya. Terdapat beberapa faktor yang menjadikan Dinda tidak mampu memproduksi ASI untuk bayinya." Penjelasan dr Sinta membuat Anton dan Reta kaget. Mereka tentu tahu bahwa ASI merupakan yang terbaik untuk bayinya.

"Tapi kenapa Dinda tidak bisa dok?" Tanya Reta kemudian

" Seperti yang tadi saya jelaskan, ada beberapa faktor yang menjadikan Dinda tidak bisa memberikan ASI. Yang pertama, Dinda hamil dalam kondisi stres. Kita tahu cerita bagaimana Dinda hamil dan ini adalah faktor pencetus utamanya. Obat anti depresi yang dikonsumsi oleh Dinda sedikit banyak mempengaruhi. Lalu, Dinda melahirkan dalam kondisi bayi premature ditambah dengan pendarahan saat melahirkan lagipula sebelum ini Dinda juga pernah mengalami pendarahan juga, sehingga mengakibatkan Dinda kehilangan banyak darah. Dua kondisi terakhir ini juga ikut membuat Dinda menjadi tidak bisa memproduksi ASI" Jelas dr Sinta

"Lalu bagaimana dengan cucu kami dok?"

"Tidak ada pilihan lain selain dari susu formula. Tapi, nanti bapak dan ibu bisa konsultasi lebih lanjut dengan dr Edward. Beliau dokter sepesialis anak dan juga yang menangani bayi-nya. Saya periksa Dinda dulu ya bapak ibu" ujar dr Sinta sambil menuju ke arah brankar Dinda dan segera memeriksa kondisi dari Dinda.

"Dinda hanya kelelahan saja setelah proses kelahirannya kemarin. Kemungkinan nanti sore Dinda sudah bangun. Dalam 24 jam setelah Dinda sadar, jangan melakukan mobilisasi dulu. Biarkan efek obat bius pasca operasi benar-benar hilang, baru setelah itu bisa beraktivitas lagi" kembali dr Sinta menjelaskan.

***

Rentetan kejadian dua hari ini sukses menjungkirbalikkan kehidupan Bara. Kelahiran anaknya, dan bagaimana dia melihat langsung kondisi Dinda yang depresi akibat perbuatannya membuat dirinya bertambah kacau. Sikap orang tuanya yang cenderung lebih memperhatikan Dinda menambahkan rasa nyeri tersendiri di hatinya. Sejak kecil, dia selalu merasa bahwa dia adalah prioritas utama yang selalu dibela oleh orang tuanya. Namun, sekarang kondisinya berbalik. Kedua orang tuanya lebih memperhatikan Dinda dan memojokkannya. Bara sadar sepenuhnya jika dia memang bersalah, namun dirinya juga butuh sandaran juga untuk dia bisa mengambil langkah selanjutnya. Pribadi Bara yang cenderung tertutup juga membuat keadaan menjadi lebih runyam.

"Lia, hari ini dan besok saya tidak bisa ke kantor. Cancel semua appointment dan meeting di jadwal saya hari ini dan besok" Ujar Bara saat menelpon Lia, sekertarisnya

"Jadi bapak hari ini tidak ke kantor ya? Baik pak, ada pesan lagi barangkali?" Jawab Lia dengan sopan di seberang sana.

"Suruh Rian menemuiku di rumah sakit. Dia sudah tahu rumah sakit mana yang saya maksud"

"Baik pak, saya segera menghubungi Pak Rian"

Jadilah hari ini Bara di rumah sakit. Dia masih menunggu di luar NICU sambil melihat anaknya yang masih di dalam inkubator. Alat bantu pernafasan, infus dan UV Light untuk fototeraphy masih terlihat di sana.

"Welcome to the world, Mario Rachmadi. Maafkan papa-mu yang menghadirkanmu ke dunia ini dengan cara yang salah. Mulai detik ini kaulah poros kehidupanku, nak. Bantu papa untuk jadi papa yang baik untukmu. Bantu papa ya menebus semua kesalahan papa."

Bara sudah memutuskan memberi nama anaknya untuk memudahkan pengurusan akta kelahiran yang dibutuhkan sekaligus memberi nama keluarganya. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan menyayangi anaknya itu dengan sepenuh hatinya. Satu yang mengganjal di pikirannya, bagaimana dia akan membesarkan anaknya tanpa figur seorang ibu untuk anaknya? Dia pasti akan sibuk dengan pekerjaannya, jadi nyaris tidak mengkin dia bisa berperan layaknya seorang ibu bagi anaknya itu.

"Selamat siang tuan, maaf saya baru datang ke sini" ujar Rian saat mendapati Bara tengah duduk di cafetaria rumah sakit

"Tidak apa-apa. Apa kau membawa baju ganti untukku?"

"Ini tuan, saya tadi mampir dulu ke rumah untuk mengambil beberapa keperluan pribadi untuk tuan" ujar Rian sambil memberikan satu paper bag ke Bara. Bara menerimanya, dan melihat sekilas isinya.

"Hari ini dan besok aku masih di sini mengurus anakku. Kau bisa meninggalkanku. Jika nanti aku membutuhkanmu, akan aku kabari lagi. Terima kasih Rian.."

"Perlu saya pesankan makan siang tuan? Tuan kelihatannya belum makan siang" pertanyaan Rian hanya dijawab dengan anggukan oleh Bara. Segera Bara beranjak pergi dan memesan makanan untuk tuannya tersebut. Bara juga beranjak dari cafetaria dan menuju ruang NICU. Dia kembali duduk di ruang tunggu luar. Selang setengah jam, pintu ruang dibuka dan nampak perawat keluar dari pintu itu

"Keluarga anak Mario?" Suara perawat tersebut menyadarkan Bara yang setengah melamun. Bergegas dia berjalan ke arah perawat tersebut

"Saya ayahnya. Ada apa ya?"

"Silakan masuk dulu pak, ada yang akan dokter Edward sampaikan ke bapak. Mari silakan masuk" ujar perawat tersebut mempersilakan Bara untuk masuk

"Selamat pagi. Saya dokter Edward yang menangani bayi Mario. Dengan bapak....?" Dokter Edward memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan menjabat tangan Bara

"Saya Bara, ayahnya Mario" Ucap Bara singkat sambil memperkenalkan diri

"Begini pak, saya dapat konfirmasi dari dokter Sinta yang menangani istri anda jika istri anda tidak bisa memproduksi ASI karena beberapa faktor, antara lain faktor stres selama kehamilan, konsumsi obat anti depresi dan pendarahan saat melahirkan kemarin merupakan faktor pencetusnya" Penjelasan dokter Edward membuat Bara menjadikan hatinya semakin remuk. Anaknya tidak akan bisa menikmati nutrisi terbaik untuk bayi, dan jika diruntun ke belakang, itu semua karena dia sendiri. Bukankah dia yang membuat Dinda stres dan depresi? Bukankah dia juga yang menyebabkan Dinda pendaharan dan harus melahirkan bayinya sebelum waktunya.

"Lalu selanjutnya bagaimana ya dok? Bagaimana menggantikan ASI itu?"

"Tidak ada pilihan lain selain susu formula. Hanya saja, saya harus melakukan uji alergi terlebih dahulu terhadap bayi bapak untuk menentukan susu formula mana yang paling tepat untuk bayi bapak. Bagaimana pak? Apa bisa saya lakukan uji alergi terhadap anak bapak?" Dokter Edward menjelaskan sambil meminta persetujuan lanjutan dari Bara dan dijawab dengan anggukan oleh Bara.

"Baik, jika bapak menyetujuinya, kami akan lakukan tes alergi terhadap bayi bapak. Untuk hasilnya akan keluar dua atau tiga hari lagi. Nanti kami akan menghubungi bapak kembali"

Selesai mendengar penjelasan dokter Edward, Bara kembali keluar. Dia kembali meluruhkan badannya di kursi tunggu luar. Hatinya kini kacau, pikirannya juga. Bimbang antara ego dan sesal masih mendominasi pergulatan hatinya. Egonya yang mengatakan masih belum bisa menerima seratus persen kehadiran Mario, dan sesal setelah melihat bahwa akibat perbuatannya banyak pihak tersakiti terutama Dinda dan Mario anaknya.

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang