Part 40

2.9K 85 5
                                    

Mario dan Feinya semakin hari semakin akrab. Mario yang awalnya agak terganggu dengan tingkah polos dan lugu dari Feinya, kini justru semakin gemas dengan Feinya. Daddy dan kedua opa oma-nya juga dengan senang hati menerima Feinya menjadi bagian dalam keluarganya. Saat ini, Mario sangat ingin Feinya menjadi kekasihnya. Kekasih pertamanya, karena memang baru pertama kali inilah Mario memiliki hubungan serius dengan seorang gadis. Mario ingin menjadi lelaki yang selalu ada di samping Feinya. Melindunginya, menemaninya, bersama menjalai hari bersama Feinya. Perasaan itu yang timbul di hatinya kini. Hari ini, sehabis kuliah, Mario bermaksud mengutarakan isi hatinya pada Feinya.

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Waktunya Feinya selesai kuliahnya. Mario sudah menunggu di dalam mobilnya dengan hati yang bergetar hebat. Dia takut, panik, cemas, sekaligus juga senang dalam waktu yang bersamaan.

"Fei, gak keburu pulang kan? Gue pengen ngomong sesuatu sama lo" Mario membuka percakapanya setelah Feinya masuk ke mobilnya.

"Gak sih kak. Ini kan hari jumat, jadi gak keburu ngerjain tugas juga. Besok kan libur. Mau omongin apa sih kak?" Feinya penasaran akan sikap Mario yang lain dari biasanya. Lelaki yang sudah menjadi temannya dan bahkan sudah mengenal keluarganya itu tidak biasa bersikap seperti itu. Mario biasanya cuek dan santai, tidak seserius ini dalam bersikap.

"Ntar dulu, kita mampir di coffee shop dekat pintu keluar kampus itu. Sekalian coba, kayaknya rame tuh" Mario masih berusaha menenangkan hatinya yang berdegub kencang.

Sesampainya di coffee shop, mereka memilih tempat duduk yang berada di beranda luar. Suasana sore itu cukup sejuk dengan angin bertiup pelan.

"Kak, tadi katanya mau ngomong. Emang ngomongin apa?" Feinya sudah tidak sabar. Dia hanya melihat Mario yang sudah menegak habis double espresso dalam sekali teguk.

"Hm... Lo mau gak jadi pacar gue?" Akhirnya setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya, permintaan itu terlontar juga dari mulut Mario.

"Maksudnya kak Iyok, kakak pengen kita pacaran gitu ya?" Mario kemudian tersadar bahwa yang di hadapannya ini adalah seorang gadis dengan intelegensia dan kepolosan yang mengagumkan.

"Iya.. Maksud gue gitu. Lo mau kagak jadi pacar gue?" Hilang sudah rasa deg-degan yang sedari tadi dirasakan mario. Sekarang justru rasa gemas bercampur sedikit kesal menghadapi gadis di depannya namun anehnya sukses mengobrak abrik pertahanan hatinya.

"Berarti bener katanya ayah. Dulu ayah pernah nanya, apa Feinya dan kakak itu pacaran........."

"Lo mau gak terima gue?" Mario semakin tidak sabar.

"Hmmmm... Gimana ya? Feinya nanya dulu deh sama ayah bunda. Kalau ayah bunda kasih ijin, Feinya mau sih kak"

"Gue pengennya itu pacaran sama lo, bukan sama bokap nyokap lo. Ngapain harus nanya ke mereka juga? Sabar... Sabar... Sabar..." Mario hanya bisa bergumam dalam hatinya. Dia sendiri bingung, kenapa juga hatinya harus jatuh pada gadis di depannya itu.

"Oke, tapi jangan lama-lama nanya ke om sama tante. Lagian gue yakin kalau mereka setuju aja lo pacaran sama gue" Mario cukup percaya diri karena memang dia diterima dengan baik saat dia bermain ke rumah Feinya.

***

Malam harinya, Brian, Mentari dan Feinya sedang santai sembari menikmati film di ruang tivi. Feinya sebenarnya ingin menceritakan apa yang dia alami. Dia berpikir kalau saat ini adalah waktu yang pas. Ada kedua orang tuanya yang pasti akan dapat membantunya untuk menjawab ajakan Mario tadi sore.

"Ayah.. Bunda.. Feinya pengen cerita deh" Feinya saat itu sedang duduk di sebelah Brian, sementara Mentari ada di sofa di sampingnya.

"Mau cerita apa? Hm... Kamu lari lagi pas mau bedah kadaver? Atau pingsan gara-gara kekunci di lab anatomi?" Brian sebenarnya pengen tertawa kalau mendengar cerita anak semata wayangnya itu dengan tingkah konyolnya.

"Iihh... Ayah.. Bukan.. Hari ini gak ada praktek anatomi. Jadi gak ada urusan sama lab-lab lagi" Feinya sebenarnya malu saat dia harus cerita bagaimana ketakutannya saat pertama kali melihat kadaver dan bagaimana dia bisa terkunci di dalam laboratorium karena kena giliran harus membereskan laboratorium usai digunakan praktikum.

"Oh, bunda tahu. Pasti kamu ketiduran pas jam kuliah kan?" kali ini Mentari malah mengingatkan salah satu kekonyolan lain yang dilakukan oleh Feinya. Mendengar itu, Feinya mencebikkan bibirnya. Dia tak habis pikir jika di benak orang tuanya yang diingat adalah hal-hal yang tidak berfaedah dari kelakuannya.

"Iihh.. Ayah bunda ini sama aja sih. Bukannya lupa sama cerita Feinya, malah diingat terus. Kan Feinya jadi malu" Feinya kesal sebenarnya. Niatnya dia ingin bercerita soal Mario, tapi malah jadi sasaran tembak dan bahan bercanda orang tuanya. Melihat anaknya yang kesal, Brian menggeser duduknya, mendekati Feinya dan merangkulnya dari samping,

"Emang anak ayah mau cerita apa?" Brian mencoba meredakan kekesalan dari Feinya.

"Hm... Itu yah.. hm.. Kak Iyok tadi nanya ke Feinya, apa Feinya mau jadi pacarnya kak Iyok apa nggak?" Mendengar perkataan anaknya, Mentari langsung meletakkan journal ilmiah kedokteran yang tadi dibacanya. Dia tersenyum, anaknya ternyata sudah mulai mengenal perasaan. Mentari cukup lega karena sosok yang ingin menjalin hubungan lebih jauh dengan anaknya adalah Mario. Di mata Mentari, Mario adalah anak baik dan sopan.

"Tuh kan bener apa yang ayah bilang waktu itu. Ayah udah feeling sih kalo Mario itu punya perasaan lebih ke kamu"

"Trus, Feinya harus jawab apa dong yah ke kak Iyok?" Tanya Feinya ke kedua orang tuanya. Brian dan Mentari malah saling berpandangan bingung dengan pertanyaan kelewat polos anaknya itu.

"Feinya, hubungan itu kan kamu yang jalani, nak. Kamu sendiri yang harus menentukan, mau menerima Mario sebagai pacar kamu atau kamu cuman pengennya Mario itu jadi sahabat kamu. Sekarang bunda tanya deh, gimana kamu kalau bareng sama Mario? Trus gimana juga kalau kamu pas gak bareng sama Mario?" Mentari mencoba membuka pikiran anaknya itu. Mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan dari Feinya.

"Kalo bareng sama kak Iyok, Feinya tuh seneng aja bun. Kayak enak banget di sini. Feinya kayak ngerasa aman banget kalau jalan bareng sama kak Iyok" Kata Feinya sambil nunjuk ke dadanya. Feinya sendiri sangat merasa nyaman saat bersama dengan Mario. Seluruh perlakuan manis yang ditunjukkan, tidak hanya oleh Mario tapi oleh Anton, Reta dan Bara membuat Feinya merasa bahwa dia orang yang beruntung.

"Hm.. Bunda benar. Yang bisa menjawab itu ya kamu sendiri, nak. Bukan ayah, bukan juga bunda. Hidup ini adalah hidupmu. Kamu sendiri yang menentukan bagaimana nantinya. Sepanjang kamu bahagia dengan keputusanmu sendiri, ayah bunda pasti akan mendukungmu" Brian menambahi perkataan Mentari. Dia sebenarnya sudah melihat gelagat itu saat Mario berkunjung ke rumahnya.

Feinya tidak tahu bagaimana lagi. Pikiran dan perasaannya sedang berusaha untuk mengolah apa yang ada di hatinya saat ini. Benar juga apa yang dikatakan oleh kedua orang tuanya. Benar bahwa dia yang harus menentukan cerita atas dirinya sendiri. Sekarang dia harus bisa berpikir bagaimana harus menjawab Mario esok senin. Masih ada dua hari untuk memikirkan bagaimana harus menjawab permitaan Mario. Namun, sepertinya hatinya sudah tahu apa yang harus dikatakan esok lusa pada Mario.

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang