Sore hari ini dihabiskan Dinda dengan nonton tivi dan menghabiskan salad buah. Dia duduk santai dengan ditemani oleh Reta dan Bara. Mereka sama-sama nonton acara kartun. Ini pertama kalinya Anton dan Reta bisa melihat Dinda dengan sangat rileks. Dinda awalnya hanya tersenyum kecil namun akhirnya bisa tertawa lepas melihat adegan konyol dari film kartun yang ditontonnya itu. Reta dan Anton sangat menyukai pemandangan itu. Mereka merasa usaha mereka untuk mendekati Dinda dengan beragam cara akhirya menunjukkan titik terang. Setidaknya, wajah Dinda kini tidak lagi dihiasi dengan air mata yang mengering atau wajah yang selalu masam. "Waktu yang akan menyembuhkan", paribahasa ini yang kini dipegang oleh Reta dan Anton dan berharap bahwa waktu memang akan menyembuhkan segala luka Dinda.
"Mom.. Dad..." Tiba- tiba suara berat dan serak memenuhi ruangan. Seketika ruangan menjadi sunyi.
"Bara.. " Ucap Reta tertahan. Dia kini justru mengkhawatirkan Dinda. Dinda masih belum sembuh benar dari trauma dari sosok Bara. Respon Dinda sendiri langsung menegang. Dia menoleh ke belakang memastikan ke arah sumber suara. Wajahnya tercekat. Dengan tergesa dia berdiri dan mengambil langkah mundur. Namun, kaki Dinda malah tersandung meja. Seketika dia terjungkang dan jatuh. Anton yang melihat itu langsung berusaha menolong Dinda. Reta menjerit melihat Dinda yang terjatuh dan lebih kaget lagi dengan darah dan cairan berwana kecoklatan yang kini mengalir di kaki Dinda.
"Dinda pendarahan... Oh Tuhan..." Seru Reta panik
"Bertahan nak... Kita ke rumah sakit segera..." Ucapan Anton tegas namun lembut, Anton menggendong Dinda. Langkah cepat Anton diikuti Reta di belakangnya. Tidak bisa dipungkuri, wajah mereka berdua terlihat sangat panik
"Kamuu!!!! Sampai kapan kebodohanmu hilang??? " desis Anton saat dirinya tepat di samping Bara.
BLAAMMM... suara pintu apartemen tertutup dengan kencang.
Bara masih tetap berdiri. Diam dan mematung. Pandangannya menatap kosong. Awalnya dia ke sini hanya ingin bertemu orang tuanya yang sudah tujuh bulan ini tidak tinggal di rumahnya.
"Sebegitu hebat luka yang sudah aku buat di gadis itu. Daddy benar, aku telah merusaknya. Oh Tuhan.. Sekarang apa yang harus aku lakukan?" Batin Bara. Tidak terasa jika matanya panas. Bara memutar tubuhnya dan bergegas menyusul orang tuanya ke rumah sakit
***
Anton berlari sembari menggendong Dinda. Dinda sendiri sudah tidak sadarkan diri. Sementara Reta berlari tergopoh di belakangnya. Mereka membiarkan dokter mengambil alih Dinda dari Anton. Mereka menanti dengan wajah yang sangat cemas. Baju Anton yang berlumuran darah, wajah yang kusut dan Reta yang menangkupkan tangan di wajahnya dengan bahu bergetar cukup untuk menjelaskan bagaimana keadaan pasutri tersebut.
Lima belas menit berlalu, namun doker IRD belum juga keluar. Lima belas menit waktu menunggu yang menguras habis emosi dan perasaan Anton dan Reta.
"Dad.. Mom.. Dinda bagaimana?" Anton seketika berdiri menghampiri Bara
PLAK...PLAK... BUGH... BUGH....
"KAU LIHAT SEKARANG HAH!!!! ITU HASIL PERBUATAN BODOHMU!!! DADDY GAK PERNAH NGAJARIN KAMU BUAT JADI BAJINGAN SEPERTI INI BARA!!!!" Anton langsung menerjang Bara dengan tamparan dan pukulan. Bara tidak melawan sama sekali. Dia hanya berusaha tetap berdiri sementara Anton memukulinya. Reta dan satpam berusaha memisahkan mereka berdua
"STOP!!! INI RUMAH SAKIT!!!! KALAU MAU ADU JOTOS SILAKAN DI LAPANGAN SANA!!!" Bentak salah satu satpam ke Anton dan Bara.
"Keluarga pasien Dinda?" Ujar salah satu dokter dengan setengah berteriak. Segera Anton, Reta dan Bara menghampiri dokter tersebut.
"Kondisi pasien mengalami pecah ketuban dini yang diakibatkan oleh benturan pada perut hingga menyebabkan pendarahan. Tidak ada alternatif tindakan lain selain melahirkan bayinya"
" Tapi ini masih tujuh bulan usia kandungannya dok" Tanya Reta panik
" Tidak bisa dipertahankan bu, justru akan membahayakan baik bagi ibu maupun bayinya. Oh ya, dari pemeriksaan, berat janin masih di bawah standard, masih 2,1 Kg. Jadi setelah dilahirkan bayi akan mendapatkan perawatan khusus di NICU" jelas dokter jaga IRD tersebut
"Baik dok.. Lakukan saja yang terbaik.. Tolong selamatkan ibu dan bayinya dok.."
"Kami akan menyadarkan pasien dari pingsan terlebih dulu. Dokter Sinta akan menangani kelahiran dan operasi caesar, sementara untuk bayinya nanti akan ditangani oleh dokter Edward. Sekarang kami akan pindahkan pasien ke ruang bersalin" ucap dokter tersebut sambil mengundurkan diri
Beberapa saat kemudian, beberapa petugas memindahkan Dinda dari IRD menuju ruang bersalin. Dinda terlihat memejamkan mata dengan wajah pucatnya. Dia sudah sadar, namun raga yang lelah membuatnya memilih untuk memejamkan mata menahan rasa sakit di perutnya. Anton, Reta dan Bara mengikuti di belakang petugas medis yang membawanya. Mereka segera masuk ke kamar bersalin. Kembali, mereka bertiga duduk di luar ruang operasi kamar bersalin, menunggu dalam kecemasan.
Satu jam menunggu dengan kecemasan, akhirnya mereka sedikit bernafas lega ketika dokter Sinta mengabarkan jika Dinda sudah melahirkan bayi laki – laki. Kondisi Dinda sendiri drop karena kelelahan fisik dan trauma yang kambuh akibat melihat Bara kembali.
"Kita sekarang resmi jadi kakek nenek." Ujar Anton tersenyum tipis. Wajahnya menunjukkan kelegaan.
"Iya, aku sudah resmi menjadi nenek sekarang. Aku akan melihat Dinda terlebih dulu, pergilah lihat cucu kita. Bagaimana kondisinya, nanti kabarkan ke aku" Ujar Reta pada Anton. Anton mengangguk. Segera dia bangkit dan menuju ruang NICU dimana cucunya akan dirawat. Dilihatnya sejenak Bara, lalu ditariknya tangan Bara untuk mengikutinya
"Kau ikut denganku. Jangan tampakkan wajahmu itu pada Dinda. Dia bisa shock lagi saat melihatmu"
"Dad, aku tidak tahu jika Dinda sampai seperti itu. Sorry Dadd. I don't know it's so hurt for her. I'm really sorry" Anton menghentikan langkahnya mendadak. Dia berbalik dan menatap lekat Bara. Dia menangkap penyesalan di Bara. Baru kali ini Bara dengan jelas meminta maaf atas tindakannya.
"Jangan minta maaf sama Daddy. Minta maaflah pada Dinda, dan yang penting, perbaiki kelakuan kamu itu"
"I've ruined every single part of him, Dad. Her mental, her physic, her future, and her dreams. I know I have to fix what I've done before, but I don't know how" Ujar Bara kemudian.
"Mulailah dari dirimu sendiri. Perbaiki perilakumu. Clubbing, workaholic, your sexual activities... semua harus berubah Bara. Sekarang, mau tidak mau, suka tidak suka, kamu adalah ayah anak itu. No matter what the reason is, he is still your son" ujar Anton sambil menepuk punggung Bara pelan. Anton melihat adanya penyesalan yang dalam dalam diri Bara. Keduanya menatap lurus ke arah baby incubator box yang berisi bayi mereka lengkap dengan segala peralatan penunjang hidup yang tertempel di bayi mungil itu. Entah dorongan dari mana, ingin sekali Bara memeluk bayi yang sedang tertidur itu. Ingin memeluknya. Ingin mengajaknya bermain. Kini, fokus hidupnya menjadi bertumpu pada bayi mungil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...