Part 44

3.2K 98 2
                                    

Hingga esok harinya, Bara masih belum menunjukkan tanda-tanda siuman. Mengenai kecelakaan yang menimpanya, Bara mengalami kecelakaan tunggal yang diakibatkan oleh hilang kendali saat menyetir mobilnya hingga menabrak pohon di tepi jalan. Mobil dalam kondisi baik, sehingga polisi menyimpulkan terjadinya kecelakaan tersebut dikarenakan human error dari pihak pengemudi. Tidak ditemukan adanya jejak alkohol atau obat terlarang dalam tubuh dan darah Bara membuat polisi berkesimpulan bahwa kecelakaan Bara terjadi karena hilang fokus saat berkendara.

Mario masih menunggu Bara di rumah sakit. Dalam hatinya dia menyesal karena setelah mengenal ayah bundanya, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan keluarga Brian dan seolah melupakan keluarga yang mengasuhnya sejak kecil. Perasaannya masih terbawa euphoria saat mengetahui bahwa bunda-nya bukan meninggalkannya seperti yang dia sangka selama ini, namun karena keadaan yang memaksanya seperti itu. Penerimaan dari keluarga Brian yang sudah menganggapnya menjadi bagian dari keluarga sendiri semakin membuat Mario lebih sering menghabiskan waktu bersama keluarga Brian.

Hari sudah menjelang sore. Sudah pukul dua siang, saat Brian dan Mentari selesai bertugas di layanan poliklinik dan visite pasien mereka yang harus rawat inap. Mereka memutuskan untuk mampir dulu melihat kondisi Bara.

"Bagaimana daddy kamu nak?" Tanya Brian saat melihat Mario tertunduk lesu, duduk di samping brankar Bara. Matanya terlihat lelah, menandakan bahwa semalaman dia berjaga menunggui Bara.

"Masih gitu aja. Daddy masih belum siuman yah. Iyok jadi merasa bersalah dengan ini semua. Kalau Iyok bisa bagi waktu, mungkin kecelakaan itu tidak terjadi" Jawab Mario sedih. Anton dan Reta juga ada di sana. Mereka berdua duduk di sofa. Sebelum ke ruangan Bara, Brian dan Mentari sudah membaca rekam medis Bara. Seharusnya, dari data rekam medis tersebut, Bara sudah siuman sejak kemarin. Tidak ada luka fatal di tubuhnya, namun sepertinya kondisi psikis lebih mendominasi Bara yang masih belum siuman tersebut. Bara seperti memilih untuk tidak mau bangun dari pingsannya.

Mentari menggenggam tangan Brian lekat. Mentari terdiam sejenak. Sekelebat kenangan buruk seolah terputar kembali di otaknya saat melihat lelaki itu. Dia menatap Bara tajam namun akhirnya berubah menjadi tatapan dengan kelembutan, lalu kemudian menatap Brian dengan tatapan seolah meminta persetujuan. Brian yang mengerti arti dari tatapan itu hanya tersenyum ringan dan membalas dengan anggukan. Mendapat persetujuan dari suaminya itu, Mentari berjalan mendekati Bara yang masih belum siuman. Digenggamnya tangan Bara dengan hangat, setelah mengambil napas panjang, Mentari dengan tenang berkata:

"Bangunlah, lihatlah, di sini kami semua menunggumu. Di sini ada anakmu, Mario anakmu yang dari kemarin menunggumu. Dia masih sangat membutuhkanmu. Di sini juga ada om Anton dan tante Reta. Mereka juga cemas melihatmu seperti ini. Kau anak satu-satunya. Kau juga harapan mereka satu-satunya" Melihat apa yang dilakukan oleh mentari, Anton, Reta dan Mario sangat kaget. Mereka berpikir bahwa Mentari masih menyimpan dendam dan amarah akibat kejadian kelam lebih dua dekade lalu itu. Reta meneteskan air matanya melihat sikap dan perkataan Mentari tersebut.

"Bara Rachmadi, aku, Adinda Cahya Mentari, aku memaafkanmu atas kesalahanmu padaku di masa lalu. Walaupun kata maaf tidak pernah terucap dari bibirmu, aku sangat tahu jika jauh di dalam hatimu, kamu telah menyesali semuanya. Sekarang, bangunlah." Mentari kembali mengucap dengan tegas namun penih kelembutan. Tangannya masih mengusap pelan tangan Bara. Semua yang ada di ruangan itu terdiam. Reta sudah tidak sanggup menahan tangisnya. Air matanya tumpah membasahi lengan baju Anton, tempatnya menyandarkan kepalanya.

Merasa cukup, Mentari menarik genggaman tangannya dari tangan Bara. Saat hendak menarik tangannya, Mentari merasakan tarikan lemah dari tangan Bara. Perhatiannya langsung tertuju kembali pada Bara yang mengerjapkan matanya beberapa kali. Tampak buliran air mata keluar dari sudut mata lelahnya.

"Terima kasih.... Maafkan aku..." Bara berucap lemah. Mentari merespon ucapan Bara tersebut dengan tepukan halus di tangannya lalu kemudian menarik tangannya. Bara menatap Mentari penuh kelegaan setelah mendengar apa yang dikatakan Mentari. Tubuhnya memang lemah, namun wajahnya menyiratkan kelegaan luar biasa. Kata maaf yang selama ini diimpikan oleh Bara, setelah dua puluh tahun lebih, akhirnya terucap juga dari bibir Mentari.

Melihat itu, Reta dan Anton langsung menghambur ke Mentari. Reta memeluknya dan mencium Mentari berulang kali. Dia tidak menyangka Mentari bisa memberikan maaf tulusnya setelah apa yang diperbuat oleh anaknya. Penantian selama ini terbayar dengan tidak sia-sia.

"Terima kasih nak... Terima kasih... Kamu masih bisa memberikan maafmu setelah semua yang terjadi. Terima kasih nak....." Reta berulang kali mengucapkan terima kasihnya pada Mentari, sedangkan Mentari hanya tersenyum hangat mendengar ucapan terima kasih dari Reta tersebut.

"Kami berhutang banyak sekali padamu nak. Kamu telah menyelamatkan Mario dengan menjadi donor, sekarang kamu lagi-lagi menolong Bara, orang yang sudah menghancurkanmu. Kau membuat kami merasa kecil, nak" kali ini Anton yang berbicara.

Setelah mengucapkan terima kasih, Anton dan Reta lalu menghampiri Bara. Reta Mengelus lembut rambut Bara. Senyum terlukis di wajah Bara yang terlihat lelah. Senyum itu hampir hilang, senyum yang tidak pernah menghiasi lagi wajah Bara.

"Maafin Bara juga mom, dad. Bara sudah buat salah buat semuanya. Maafin daddy juga Iyok, kamu hadir di dunia ini karena kesalahan daddy. Maafin Bara"

Brian dan Mentari melangkah keluar dari ruangan rawat inap Bara. Mereka memberi waktu pada keluarga Anton untuk saling berekonsiliasi kembali. Mereka tidak ingin merusak suasana intim keluarga Anton.

"Bagaimana? Udah lega? Mas beneran gak nyangka tadi kamu melakukan itu semunya. Mas pikir kamu masih memilih untuk menghindari jika ketemu dengan Bara." Tanya Brian sambil menautkan jemari tangannya pada tangan Mentari. Mentari tersenyum, mengangguk menatap hangat suaminya itu. Dia sangat bersyukur mendapatkan suami yang paket komplet seperti Brian.

"Lega banget mas. Ringan banget hati ini. Ternyata benar, memaafkan dan berdamai dengan masa lalu bisa membuat segalanya menjadi lebih baik. Hal yang sudah terjadi tidak bisa kita putar kembali, namun kita bisa memilih ending apa untuk cerita hidup kita." Mentari berucap sambil senyum mengambang di bibirnya.

"Ya sudah, kita pulang dulu. Nanti kan mas masih praktek malam. Kita bawain sekalian makanan dan baju ganti buat Iyok. Kasihan anak itu, nungguin daddy-nya semalam di rumah sakit. Sekalian bawain makan juga buat daddy-nya Iyok." Bukan hanya Bara dan Mentari, Brian juga merasakan kelegaan luar biasa dalam peristiwa sore ini. Mereka berdua melangkah ringan meninggalkan rumah sakit dengan terus tersenyum

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang