Sepulang dari gala dinner dan terjawabnya pertanyaan selama ini di benak keluarga Surya tentang siapa yang sebenarnya yang telah melecehkan Mentari, Rendi berencana untuk menghentikan seluruh kerja sama bisnis yang terjalin dengan Nusa Raya Group. Sebenarnya Rendi sendiri bertanya-tanya, mengapa secara tiba-tiba perusahaan milik keluarga Anton itu mengalihkan pengelolaan keuangannya pada bank milik Surya Group? Kerjasama bisnis antara Nusa Raya Group dengan Surya Group sendiri terus meluas, mulai dari pengelolaan keuangan perusahaan Nusa Raya Group, Payroll karyawan, bahkan seluruh lalu lintas keuangan dari Nusa Raya Group sekarang dalam pengelolaan di bank milik Surya Group. Beberapa proyek yang dikerjakan Nusa Raya Group juga memanfaatkan pinjaman sindikasi dengan bank milik Surya Group sebagai leadernya. Sekarang, Rendi paham mengapa Bara melakukan itu semuanya. Rendi hanya tak habis pikir, bagaimana bisa sahabat dekatnya sendiri mampu berbuat hal sekeji itu pada Mentari, yang saat itu masih tergolong dalam usia remaja.
Surya sendiri sepakat dengan Rendi untuk mulai membatasi kerjasama dengan Nusa Raya Group. Untuk semua perjanjian kredit dan on going project yang telah mereka tanda tangani, akan diselesaikan sesuai dengan dateline yang telah disetujui. Namun, untuk pengajuan perjanjian baru dan semua project yang masih dalam taraf negosiasi pasti akan ditolak oleh Rendi maupun Surya. Sebenarnya Rendi dan Surya tidak ingin mencampurkan masalah pribadi dengan masalah bisnis, namun melihat sifat Bara yang seolah tidak mau datang ke kediaman keluarga Surya dan meminta maaf secara langsung pada Mentari, membuat Rendi dan Surya mengambil langkah ini. Surya hanya menekankan pada Rendi untuk ekstra hati-hati dalam menghadapi Bara. Dalam dunia bisnis, Bara sangat terkenal sebagai pebisnis yang dingin dan sangat lihai dalam hal apapun. Surya tidak ingin jika keputusannya untuk melimitasi kerjasama dengan Nusa Raya Group akan menjadi bumerang bagi perusahaannya sendiri.
Kondisi Mentari sendiri sudah membaik. Tidak ada lagi ketakutan seperti ketika traumatiknya masih ada. Tidak ada histeri, tidak ada tangisan kencang seperti ketika dia dipaksa mengingat peristiwa itu. Biarpun begitu, Mentari tidak bisa menutupi bahwa dia sedang merasa ketakutan walaupun ketakutannya itu tidak sebesar dulu, namun tetap terlihat dari tingkah laku dan sorot matanya.
Seperti biasa, minggu pagi ini Mentari ditemani Brian ke gereja untuk misa pagi. Brian yang sedikit banyak telah mengenal Mentari sebenarnya melihat sedikit perubahan sikap dari Mentari. Cenderung lebih pendiam daripada biasanya.
"Tari? Ada apa? Kamu hari ini kelihatan beda? Mau cerita?" Sepulang dari gereja, Brian mengajak Mentari ke kedai es krim. Dia penasaran dengan perubahan sikap Mentari. Bagi orang yang tidak mengenal Mentari mungkin tidak akan terlihat, namun bagi yang sudah mengenal dengan baik, maka perubahan kecil itu akan terlihat.
"Keliatan ya emangnya?" Bukannya menjawab, Mentari malah kembali bertanya pada Brian. Brian hanya tersenyum kecil dan kemudian menganggukan kepala sebagai jawaban.
"Ehm..." Mentari menghela nafas panjang. Memberi jeda sejenak sebelum dia melanjutkan ceritanya
"Kemarin saat di acara gala dinner, aku kembali ketemu dia. Dia yang telah merusak semua angan dan mimpi-mimpiku. Aku kembali bertemu dia yang sudah memperkosaku, mas" Mentari memulai ceritanya.
" Traumaku memang sudah dinyatakan sembuh, tapi bukan berari ingatanku akan peristiwa itu juga hilang. Kini aku paham, mengapa papa justru memintaku kuliah di kedokteran. Kuliah kedokteran memiliki ritme yang padat dibanding dengan kuliah di tempat lainnya, dan ini sangat membantuku untuk melupakan peristiwa itu walaupun cuma sejenak. Dengan kuliah di kedokteran papa juga ingin aku bisa menyembuhkan diriku sendiri." kembali, Mentari menjeda. Matanya menerawang, menandakan bahwa dia sedang berpikir keras. Mengingat kembali dirinya dulu, selalu membuat Mentari menjadi pribadi yang menutup diri.
"Kemarin malam, aku mencoba melawan rasa takut yang tiba-tiba datang saat melihatnya kembali. Tapi aku gak bisa. Rasa takut itu masih ada, walaupun tidak sebesar yang dulu" Kini Mentari menunduk. Es krim yang sudah mulai mencair tidak dihiraukannya lagi. Melihat tunangannya dalam kondisi yang tidak baik, Brian menggenggam tangan Mentari, menariknya pelan seolah memberikan kekuatan pada Mentari.
"Mentari yang aku kenal itu Mentari yang kuat. Dia bisa berdiri dengan tegap ketika semua hal buruk menimpanya. Mentari yang aku kenal itu Mentari yang tidak putus asa. Cobalah sekarang melihat dari perspektif yang berbeda. Ada papa Surya, mama Ayu, mas Rendi dan ada aku yang akan selalu ada di sampingmu. Kamu tidak lagi sendiri, jadi kamu tidak alasan buat kamu untuk ketakutan lagi" Brian mengelus rambut Mentari dengan pelan. Mencoba menyalurkan kekuatan pada tunangannya itu. Mentari menggeleng pelan lalu menyahut
"Aku pernah jadi pasien psikiatri, kalau mas lupa. I'm not that strong. Aku pernah di titik terendah di hidup aku sampai aku sendiri gak pengin hidup rasanya" Mentari kembali mengenang fase paling buruk di kehidupannya. Senyum getir jelas tercetak di wajah cantiknya itu. Sejujurnya, Brian sangat membenci bila mendapati tunangannya itu menunjukkan wajah rapuhnya itu.
"Whatever you are, I'll stand by you. Keep your head up, smile, God will keep you in His way. Kamu tetaplah seorang Mentari yang akan menjadi seorang nyonya Brian Wisesa." Ucap Brian tegas namun lembut.
"Udah yok aku antar pulang. Nanti malam kena Shift malam kan?" Brian lalu mengajak Mentari pulang supaya bisa menenangkan diri.
"Iya.. Nanti malam kena jaga di IRD. Aku udah selesai di state anak. Sebulan ini aku kena di IRD."
"Ya udah, nanti aku jemput. Sekarang pulang, istirahat biar bisa begadang di IRD" Akhirnya Brian mengantar pulang Mentari. Istirahat merupakan pilihan paling tepat untuk Mentari saat ini. Dia harus siap fisik dan mentalnya mengingat malam nanti dia kebagian shift malam di IRD.
Baru kali ini Brian melihat Mentari dari sisi rapuhnya. Melihat Mentari dari sisi terlemahnya yang selama ini mencoba dia hilangkan. Brian sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi Mentari saat sebelum terapi traumatiknya. Melihatnya dalam kondisi seperti ini saja, Brian sudah membuat hatinya teriris seakan merasakan pedih yang sama dengan Mentari. Dia kembali bertekad untuk tidak akan melepas Mentari, apapun yang terjadi kecuali memang sang takdir yang memisahkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...