Waktu berjalan terus. Usia kandungan Dinda sekarang sudah lima bulan lebih. Dia masih tinggal di apartemen bersama dengan Anton dan Reta. Dinda sendiri sudah bisa berkomunikasi dengan orang tua Bara walaupun dengan kadar minimal. Namun, dia masih seringkali melamun dan terdiam sambil menatap dengan pandangan kosong, kadang juga disertai dengan tangisan.
"Sudah siap nak, kita ke dokter ya kontrol kandungan kamu sekaligus beli susu dan vitamin." Reta menggenggam hangat Dinda. Dinda hanya merespon dengan anggukan kecil. Beberapa saat kemudian mereka sudah berada di ruang konsultasi dokter spesialis kandungan. Saat ini Dinda sedang malakukan pemeriksaan melalui USG untuk mengetahui perkembangan janinnya.
"Bagaimana dok, cucu saya laki-laki atau perempuan?" tanya Anton antusias.
"Bapak tidak ingin bertanya apakah cucu bapak sehat atau tidak? Ada kecacatan bawaan atau tidak?" Tanya dr Sinta, dokter kandungan yang dipilih oleh Anton dan Reta.
"Maksud dokter?"
"Bapak, ibu, mengetahui jenis kelamin janin mungkin perlu. Tapi bukankah mengetahui apakah bagaimana perkembangan cucu anda jauh lebih penting?" Penjelasan dokter membuat pasangan tersebut diam. Benar juga yang dikatakan oleh dr Sinta. Bukankah mau lelaki atau perempuan sama saja? Bukankah yang lebih penting adalah kesehatan cucunya itu.
"Ah.. dokter bener. Mau laki atau perempuan, dia tetep cucu kita" ucap Reta sembari memandang hangat suaminya dan dibalas senyuman oleh Anton. Dr Sinta tersenyum dan kembali melanjutkan penjelasannya'
"Sejauh ini perkembangan janinnya baik. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya perlu dijaga kandungannya. Jangan stress ya bu.. Ingat, kehamilan ini merupakan kehamilan dengan risiko tinggi. Hm... sepertinya nanti anda akan punya jagoan baru"
"Ahh.. cucuku ternyata laki-laki... kita akan punya jagoan kecil.." ucap Anton bangga. Dr Sinta hanya terkekeh mendengar kebahagian pasangan paruh baya itu. Berbeda dengan Dinda, dia hanya menatap datar layar USG di sampingnya itu. Dr Sinta melihat kasihan pada Dinda. Sebagai dokter yang menangani kehamilan Dinda sedari awal, tentu dia tahu riwayat pasiennya itu.
"Masih terapi dengan dr Dewo kan?" dr Dewo adalah dokter ahli jiwa yang menangani kondisi trauma dan psikis Dinda.
"Masih dok.. jadwal chek up dan konseling dengan dr Dewo masih minggu depan" Reta menjawab.
Setelah selesai pemeriksaan rutin kandungan dan membeli vitamin yang diresepkan dokter, Reta dan Anton membawa Dinda ke supermarket sekalian ingin membawa Dinda jalan – jalan. Segera, troli supermarket itu penuh dengan beberapa barang kebutuhan sehari – hari, susu ibu hamil untuk Dinda, sayuran segar dan berbagai jenis daging, ikan dan telur. Reta tahu jika Dinda senang memasak, jadi dia sengaja memenuhi kulkas di apartemen dengan berbagai macam bahan mentah, sehingga memudahkan Dinda yang ingin memasak.
"Kau ingin apa nak? Mumpung kita di sini?" tanya Reta lembut.
"Aku ingin mati" ada jeda sejenak setelah Dinda mengucapkan kalimat tersebut. Reta dan Anton saling menatap dalam diam.
"Nak... jangan seperti itu.. " kali ini Anton yang berusaha menenangkan Dinda setelah melihat Reta hanya bisa diam
"Bukankah kalau aku mati kalian akan senang? Gak perlu repot, gak perlu keluarin duit kan? Aku juga gak perlu merasakan sakit seperti ini" Dinda tetap dengan tatapan kosong. Tanpa ada ekspresi.
Melihat reaksi Dinda, Reta dan Anton memilih menyudahi acara belanjanya itu. Awalnya mereka ingin belanja sekaligus merilekskan pikiran, namun bukannya rileks malah tambah stres karena ucapan Dinda.
Sesampainya di apartemen, Reta langsung membereskan belanjaan sementara Anton menata berkas hasil pemeriksaan Dinda, menyimpannya dengan cermat. Sementara Dinda langsung masuk ke kamarnya tanpa mengatakan apapun. Reta dan Anton juga hanya diam, mereka telah terbiasa seperti itu. Selesai merapikan bahan belanjaan, reta langsung menuju dapur dan memasak untuk makan malam.
"Panggilkan Dinda, makan malam sudah siap. " Perintah Reta ke Anton yang dibalas dengan anggukan. Anton bergegas ke kamar Dinda. Masih tertutup.
Tok..Tok..Tok..
"Dinda.. Masih tidur? Bangun nak, makan dulu.." Anton mengetuk pintu kamar, membangunkan Dinda, merasa tidak ada respon, Anton mengulangi lagi kali ini dengan suara yang lebih keras.
"Dinda, Keluar dulu nak.. Kita makan malam ya.."
Merasa penasaran, Anton memutar knop pintu kamar, tidak dikunci. Setelah pintu terbuka, mata Anton seketika membulat. Ruang pandangnya sekarang berisikan dinda yang berdarah terutama selangkangan dan kakinya. Mata Dinda terpejam dengan wajah yang memucat.
"ASTAGA DINDA.... APA YANG TERJADI NAK.... " Teriak Anton Panik. Segera Anton merengkuh Dinda dan menggendong Dinda. Reta yang mendengar teriakan panik Anton segera menyusul ke kamar Dinda. Reta hanya tergagap diam membeku. Tidak tahu harus berbuat apa melihat Dinda seperti itu.
"CEPAT BANTU.. AMBIL KUNCI MOBIL.. KITA KE RUMAH SAKIT.." perintah Anton tegas. Reta tersadar bahwa terjadi hal yang buruk dan segera mengikuti perintah Anton. Merekapun bergegas menuju rumah sakit.
Reta dan Anton kini berada di rumah sakit dengan wajah yang sulit diartikan. Cemas dan panik itu yang pasti dirasakan oleh pasutri paruh baya tersebut. Mereka menunggu di ruang tunggu depan IGD sementara Dinda sedang mendapatkan perawatan darurat.
"Keluarga Pasien Dinda?" Ujar salah satu dokter yang menangani Dinda keluar dari ruang tindakan.
"Kami orang tuanya dok.." Anton dan Reta segera berdiri menghampiri dokter tersebut.
"Pasien mengalami pendarahan. Dari rekam medis yang ada di kami, pasien dalam masa terapi dengan Psikiatri? Benar begitu?" Tanya dokter tersebut.
"Benar dok, Dinda dalam perawatan dengan dokter Dewo"
"Baik, nanti akan kami buatkan form konsulen dengan dokter Dewo dan dokter Sinta. Untuk kondisi pasien sendiri, pendarahannya bisa kami hentikan. Ibu dan bayinya sekarang selamat namun kondisi ibunya sangat lemah. Hm.. Sedikit saran, karena pasien saat ini dalam kondisi depresi, saya menyarankan asistensi penuh 24 jam"
"Terima Kasih Tuhan... Dinda dan cucuku selamat... Err.. Asistensi penuh 24 jam itu bagaimana ya dok?" Reta mengelus dadanya pertanda kelegaan karena Dinda dann cucunya masih bisa selamat.
"Artinya jangan biarkan pasien sendirian. Harus ada orang lain di sampingnya. Saya takutnya kondisi depresi yang dialami oleh pasien akan memperburuk kondisinya. Oh ya, pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap dan mulai besok dokter Sinta dan dokter Dewo yang akan menangani pasien"
Untuk saat ini, tampaknya Anton dan Reta harus merelakan kembali menginap di rumah sakit. Mereka sebenarnya lelah. Itu terlihat jelas di wajah mereka, namun tidak ada pilihan lain mengingat hal tersebut terjadi juga karena ulah anak mereka. Anak yang sedari kecil mereka manja hingga menjadi seperi sekarang ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
Ngẫu nhiênAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...