Tiga setengah tahun waktu yang dihabiskan oleh Dinda untuk menyelesaikan Sarjana Kedokterannya. Tiga setengah tahun juga waktu yang dia butuhkan untuk benar-benar bisa keluar dari depresi dan traumatiknya. Tiga setengah tahun dibutuhkan Dinda untuk kembali menata hatinya, bisa menerima kenyataan dalam liku jalan hidupnya. Cantik dan smart namun tetap hangat dan bersahabat, itulah kesan yang melekat pada Dinda sekarang.
"Bagaimana? Kamu jadi menyelesaikan koass kamu di Jakarta saja kan?" Surya sebenarnya berkeinginan agar Dinda menyelesaikan koass di Jakarta. Dia melihat bahwa kondisi kejiwaan Dinda sudah jauh lebih baik daripada dulu. Beberapa kali Surya dengan sengaja menyinggung Dinda soal peristiwa perkosaannya itu, dan Dinda meresponnya dengan tenang. Tidak lagi histeri atau bahkan pingsan seperti sebelumnya.
"Dinda gak keberatan sih pah, mau nerusin di Jakarta buat koass-nya juga gak apa-apa. Cuman nanti kan agak ribet waktu pindah kampusnya?" ujar Dinda kemudian
"Kalau cuman soal pindah kampus itu urusan mudah. Nanti biar dibantu sama mas-mu" Sebenarnya Surya ingin mengawasi dari dekat. Selama ini dia tahu bahwa ada yang juga turut mengawasi Dinda selama di Surabaya namun dia tidak tahu siapa mereka dan apa tujuan mereka. Beberapa kali dia memergoki orang yang sama di sekitar Dinda. Tentu hal itu bukan kebetulan yang tanpa sengaja. Dengan memindahkan koass Dinda ke Jakarta, dia berharap bisa mengawasi Dinda lebih intensif lagi.
"Boleh pah... Hm... Sebenernya ada satu permintaan dari Dinda untuk semua..." Dengan ragu Dinda memandang satu persatu Surya, Ayu dan Rendi yang sekarang tengah berkumpul di ruang tengah. Mereka semua menatap Dinda bingung.
"Mulai sekarang, Dinda pengen dipanggil dengan Tari. Dind..., eh Tari ingin melupakan semuanya. Semuanya tanpa kecuali. Makanya saat ini pengennya dipanggil dengan Mentari atau singkatnya Tari"
Permintaan sederhana itu hanya dijawab dengan anggukan dan senyuman dari Surya, Ayu dan Rendi. Mau Dinda atau Tari, bukan masalah bagi mereka, keduanya merujuk pada satu pribadi yang sama. pribadi yang selama ini telah mengisi ruang kosong di keluarga Surya. Selamat tinggal Dinda dan selamat datang Mentari. Kalimat itu menjadi penyemangat sendiri untuk Mentari dalam menapaki jejak baru langkah hidupnya.
Setelah menyelesaikan semua urusan administrasinya, kini Mentari mulai sibuk dengan jadwal koass-nya. Jadwal koass yang sangat padat dan bahkan mengharuskan mengikuti shift rumah sakit tidak membuat Mentari mengeluh sama sekali. Dia sangat menikmati bahkan jika diharuskan jaga atau masuk shift malam di rumah sakit, dia tidak mengeluh sama sekali. Capek sudah tentu, namun yang pasti senyum selalu ada di bibirnya. Bukan hanya Mentari yang selalu menerbitkan senyumnya, namun Surya dan Ayu juga demikian. Perubahan pada diri Mentari sangat membawa aura positif bagi semuanya.
Perlakuan Surya terhadap Mentari masih tetap sama. Masih tetap protektif. Surya tidak memperbolehkan Mentari untuk pergi ke rumah sakit sendiri. Harus dengan sopir pribadi keluarga atau Rendi yang akan mengantar dan menjemputnya. Bahkan, jika harus kebagian shift malam, Surya menambah satu pengawal lagi untuk Mentari. Praktis Mentari sangat dijaga oleh Surya dan keluarganya. Bagaimana dengan Mentari sendiri? Dia merasa sangat tidak enak. Diiminta untuk melanjutkan studi sesuai dengan impiannya saja sudah lebih dari cukup. Tapi yang terjadi malah Surya memberikan semua fasilitas sama layaknya fasilitas yang diterima oleh Rendi.
***
Kembalinya Mentari ke Jakarta dan melanjutkan program koass-nya tentu sudah sampai pada Bara. Lelaki itu tetap mengawasi Mentari saat masih di Surabaya dan akan terus mengawasinya selagi dia bisa. Pindahnya Mentari ke Jakarta justru membuat hatinya menghangat. Dia lebih mudah mengawasi segala sesuatu yang berkaitan dengan Mentari. Apakah Bara tahu jika Surya memperketat pengawasan untuk Mentari? Tentu Bara mengetahuinya. Bara tidak mempermasalahkan itu apalagi jika sikap protektif itu berasal dari keluarga Surya, yang penting baginya Mentari tetap aman dimanapun dia berada. Tampaknya Bara juga harus berterima kasih kepada Surya, karena keluarga itu telah mengembalikan Dinda kembali. Hanya satu hal kecil yang tidak diketahui oleh Bara, bahwa Mentari tidak ingin lagi dipanggil "Dinda".
"Bagaimana kabarmu Dinda? Masihkah kamu takut jika aku datang padamu? Masihkan kau menangis saat aku mencoba berbicara padamu? Atau masihkah kamu berpikir yang sama tentangku? Tentang aku yang memperkosamu, tentang aku yang merenggut semua mimpi dan cita-citamu, tentang aku yang menorehkan luka di hatimu? Aku yang bajingan, aku yang bangsat, aku yang brengsek... Tentu itu yang ada di pikiranmu kan?" Pikiran Bara melayang entah kemana. Fokusnya kini di ponsel miliknya. Dipandanginya layar posel yang menampilkan foto-foto Mentari. Galery foto di ponselnya kini dipenuhi dengan foto-foto hasil candid orang-orang suruhannya. Bara cukup puas dengan hanya melihat foto Mentari yang tertawa lepas bersama teman-temannya saat di kampus, atau foto yang menunjukkan wajah serius Mentari saat menangani pasien atau wajah hangat Mentari saat berkumpul dengan keluarga Surya. Bara akan panik ketika mendapati foto Mentari yang termenung sendiri sedih, atau wajah mentari yang menahan sakit hanya karena kakinya terkilir.
"Anak kita,.. Ah,.. Bolehkah aku menyebut Mario dengan anak kita? Walaupun aku tahu jika kamu mungkin memandangnya saja kamu tidak akan sudi. Kau pasti akan teringat semuanya jika melihatnya. Anak kita sekarang sudah empat tahun umurnya. Dia sehat, ceria, meski beberapa kali dia tiba-tiba demam. Jangan khawatir, aku akan menjaganya sekuat dan sebisa aku" Bara melanjutkan lamunan dan monolog dalam hatinya. Tangannya terus bergerak dengan lincah men-scroll layar ponselnya itu. Mengamati semua foto-foto Dinda di sana. Untuk Bara tidak ada yang lebih menyenangkan saat melihat foto-foto Dinda di ponsel miliknya itu.
"Dinda, teruslah kau mengejar mimpimu. Teruslah meraih apa yang kamu cita-citakan. Teruslah tersenyum. Jangan pedulikan aku. Lupakan aku. Jangan takut bersikap egois kepadaku, karena akupun telah bersikap egois terhadapmu. Biarkan aku di sini yang menjagamu. Biarkan aku yang mengawasimu. Jangan khawatir, karena tidak akan aku biarkan orang lain membuatmu menderita. Cukup aku dan kebodohanku dulu yang membuatmu menderita" Mata Bara memanas. Hatinya sesak. Tenggorokannya seperti tercekat sesuatu. Dia seolah menanggung hal yang sedemikian beratnya.
"Dinda, jauh di sudut hatiku, aku ingin Mario memanggilku daddy dan juga memanggilmu Mommy. Apakah bisa?" Bersama dengan itu, Bara menutup matanya diiringi air mata yang menetes pelan. Penyesalan yang bertumpuk terlihat dari wajah pias Bara. Dia sudah berusaha mengalihkan semuanya pada pekerjaannya dan juga fokusnya pada Mario, namun kembali bayangan Dinda mengisi indra ingatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
عشوائيAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...