Jam delapan pagi, Mentari sudah berada di rumahnya. Kejadian tadi mampu membuat Mentari berpikir ribuan kali. Sebagai calon dokter dia sangat paham bagaimana sebenarnya kondisi dari Mario. Mau menyangkal dengan cara apapun, tetap tidak bisa memungkiri bahwa Mario adalah anaknya. Hal ini yang menyebabkan pikiran Mentari tidak tenang. Bagaimanapun, ibu mana yang tega melihat anaknya seperti itu. Melihat tubuh lemah Mario saja sudah membuat Mentari luruh, apalagi dirinya tahu penyakit apa yang mungkin di derita oleh Mario walaupun itu masih dugaan sementara.
Mentari pulang saat Surya dan Rendi akan berangkat ke kantor. Mereka bertemu di beranda depan rumah saat Surya dan Rendi hendak masuk ke mobil dan berangkat ke kantor. Surya melihat Mentari dengan tatapan penuh tanya. Surya sangat paham dengan kondisi Mentari. Dia mengetahui jika sudah terjadi sesuatu pada Mentari. Tatapan matanya menuntut jawab dari Mentari. Ayu yang memahami itu langsung mengambil alih suasana.
"Udah, kamu mandi dulu. Pasti capek kan habis jaga malam. Mandi, makan dulu trus habis itu istirahat" Ujar Ayu yang saat itu tengah mengantar Surya dan Rendi beranda depan.
"Nanti kalau sudah siap, kamu bisa cerita. Terserah mau sama mama, papa atau mas-mu" Lanjut Ayu sambil membelai lembut rambut Mentari. Mendengar itu Surya memilih mengalah. Hari ini, Mentari masih kebagian dinas malam, setidaknya dia masih sempat bertemu dengan Mentari saat dia pulang kerja tadi.
"Iya mah. Tari masuk dulu ya mah.. Pah, Tari masuk dulu" Mentari pamit dan kemudian masuk ke dalam rumah. Pikirannya masih sangat kacau.
"Pah, kamu itu jangan bikin anakmu ketakutan gitu. Yang ada Tari nanti malah jadi semakin takut kalau kamu bersikap seperti tadi. Nanti mama coba deketin dan cari tahu" Ayu mencoba memberi pengertian pada Surya. Seringkali aura Surya memang mengitimidasi siapa saja yang di sana. Surya hanya mengangguk diam mendengar omelan halus istrinya itu.
Selepas suami dan anaknya pergi, Ayu bergegas ke kamar Mentari. Dia sendiri penasaran melihat kondisi Mentari seperti tadi. Jika hanya capek karena harus kena shift jaga malam, ekspresi wajah Mentari tidak seperti tadi. Lagipula ini bukan kali pertama Mentari kena jaga shift malam. Sesampai di depan pintu kamar Mentari, Ayu mengetok pelan pintu kamar itu. Tidak berapa lama pintu terbuka dan menampilkan Mentari yang masih mengenakan bajunya tadi. Pandangan matanya terlihat sayu. Ada bias rasa lelah di sana. Bukan lelah fisik, namun lelah jiwa dan mental.
"Kamu belum mandi nak? Mandi dulu gih, nanti temanin makan mama. Mama tadi belum makan, sibuk ngurusin papa dan mas-mu" Ayu mencoba membuat nyaman terlebih dulu pada Mentari.
"Iya ma. Tari mandi dulu ya ma. Mama tungguin Tari aja di bawah" Tari akhirnya mau tidak mau mengikuti apa yang dimau oleh Ayu.
"Oke. Mama tunggu ya. Jangan lama-lama, Mama udah lapar ini"
Selang berapa lama, Ayu sudah duduk ditemani Mentari. Di depannya sudah ada beberapa masakan dan juga roti. Namun, tampaknya Mentari tidak terlalu memiliki nafsu makan.
"Mau makan apa? Roti atau ini tadi mama masak rica ayam sama daging masak kecap" Ayu menawarkan sarapan paginya. Sebenarnya Ayu mencoba untuk membuka percakapan dan akhirnya Mentari bisa menceritakan permasalahannya. Mentari bukannya tidak tahu akan maksud dari Ayu.
"Tari mau sama rica aja ma. Nasinya dikit aja" Mendengar itu, Ayu lalu mengambilkan nasi dan rica ayam sesuai permintaan Mentari. Ayu sendiri lebih memilih roti dan selai coklat sebagai makan paginya.
"Ma, Tari ceritanya nanti aja ya. Sekalian nanti ada papa dan mas Rendi" Ucap Mentari di sela makan paginya. Saat ini dia hanya ingin tidur dan mengistirahatkan badan dan pikirannya.
"Senyamannya kamu aja nak. Nanti juga boleh. Yang penting kamu cerita, jangan dipendam sendirian ya.." Ayu memilih tidak memaksa Mentari menceritakan apa yang terjadi. Memaksa Mentari akan sangat berisiko terhadap kondisi traumatiknya yang bisa muncul.
Sore hari jam enam, Surya dan Rendi sudah pulang dari kantor. Mereka sengaja pulang lebih cepat karena penasaran dengan Mentari. Saat masih di kantorpun, Surya sudah menghubungi Ayu menanyakan apakah Mentari sudah bercerita kepadanya atau belum dan dijawab belum oleh Ayu. Surya sangat menyayangi Mentari, maka dia sangat cemas dengan kondisi Mentari saat ini. Surya menilai kemunculan Bara dan fakta bahwa Bara adalah orang yang telah melecehkan anaknya itu membuat Surya takut jika traumatik Mentari akan kambuh kembali. Jika memang hal itu terjadi, maka sia-sia sudah semua usaha yang telah dilakukan selama ini untuk menyembuhkan Mentari.
"Jadi bagaimana? Udah tenang kan sekarang? Udah bisa cerita sama papa, mama dan mas-mu?" Ucap Surya lembut pada Mentari. Saat ini, mereka berkumpul di ruang keluarga. Mentari sudah lebih tenang dibandingkan pagi tadi. Tampaknya dia juga udah siap untuk bercerita.
"Setelah malam minggu kemarin ketemu Bara di acara gala diner, minggu malam Tari ketemu lagi pa di rumah sakit waktu Tari jaga" Tari membuka ceritanya. Surya langsung memasang wajah tegang mendengar bahwa Bara menemui Tari di rumah sakit
"Bukan pa.. Bara bukannya sengaja bertemu dengan Tari di rumah sakit. Tapi Bara ke rumah sakit karena Mario sakit pa. Mario itu anak Tari pa karena peristiwa itu"
"Lalu apa yang kamu cemaskan dari situ nak?" Ayu kini yang berbicara. Tampaknya dia memahami naluri keibuan dari Mentari terusik saat mendengar bahwa Mario tengah sakit
"Tari bingung. Di satu sisi, saat Tari melihat Bara maupun Mario ada sisi hati Tari yang masih menolak mereka. Mereka seperti mengingatkan kembali peristiwa itu. Tapi disisi lain, Tari gak bisa bohong kalau tari sangat sedih melihat Mario seperti itu. Apalagi penyakit Mario bukan penyakit biasa aja" Tari melanjutkan ceritanya
"Mario sakit apa memangnya?" Tanya Surya
"Tari dan dokter Wisnu curiga kalau Mario kena leukemia. Gejala klinis yang dialami Mario arahnya ke sana. Hari ini harusnya sudah mulai observasi dengan dokter spesialis kanker anak" Semua diam. Penyakit leukemia bukanlah penyakit biasa. Semua orang mengetahuinya. Ada jeda sejenak sebelum kemudian Surya berkata
"Nak, sebenci dan seburuk apapun, kamu tidak ada alasan untuk membenci Mario. Dia tidak bersalah sama sekali padamu. Jangan pernah ragu untuk merawatnya. Selagi kamu mampu, bantulah agar dia sembuh. Walaupun yang papa tahu penyakit itu juga bukan penyakit yang sembarangan. Lagipula kamu juga harus profesional sebagai dokter. Kamu tidak bisa menolak orang yang butuh keahlianmu walaupun orang itu sudah jahat padamu" Surya mencoba bersikap bijak karena bagaimanapun, Mario adalah anak dari Mentari. Surya juga melihat bahwa sebenarnya naluri keibuan Mentari telah jatuh pada anaknya itu. Bukan hal yang salah memang, namun keadaan dan kenangan masa lalu akan terus membuatnya menjadi seperti ini.
Tari mengangguk mendengar penuturan dari Surya. Mario memang tidak bisa disalahkan atas apa yang terjadi padanya. Sekarang, Tari hanya bisa berdoa, semoga kecurigaannya pada penyakit mario tidak terbukti. Jika boleh jujur, Mentari ingin menangis dan memeluk Mario saat menemuinya di rumah sakit. Anak itu terlihat kurus dan pucat seolah tidak ada lagi keceriaan khas anak-anak di Mario.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...