Aktivitas Dinda di hari minggu relatif padat. Dimulai dengan misa pagi jam 6 di gereja, dan setelahnya dia harus mendampingi anak-anak didiknya di sekolah minggu. Menyibukkan diri dengan kegiatan di gereja menjadi salah satu cara untuk bisa kembali dan melupakan semua kejadian yang menimpanya. Setelah melalui seluruh pergulatan batin yang hebat dan melalui perjuangan dengan tidak mudah melawan depresinya, menyibukkan diri dengan mengajar di sekolah minggu dan bertemu dengan kepolosan anak-anak dengan segala tingkah lakunya membuat hati dan bibir Dinda selalu tersenyum ringan. Menyibukkan diri dengan mengajar anak-anak di sekolah minggu juga merupakan pelampiasan Dinda yang terkadang rindu akan anaknya. Jauh di hatinya, Dinda sebenarnya ingin menangis, apalagi saat mengingat bahwa dia pernah tidak menginginkan anaknya.
"Kak.. Kak Dinda... Temani Clara ya kak.. Papa sama Mama belum jemput" Dinda tergagap akan lamunannya, ketika Clara, salah satu murid sekolah minggu memeluknya
"Iyaa.. Kakak temani.." Ujar Dinda kemudian. Dinda kemudian membereskan peralatan-peralatan yang tadi dia gunakan untuk mengajar, merapikan dan menyimpannya kembali di rak. Sementara Clara mengikuti Dinda kemanapun Dinda beranjak.
"Oke.. Udah selesai semuanya. Sekarang kita tunggu mama sama papa di taman yuk.." Ujar Dinda sambil mengajak Clara keluar dari balai. Lalu mereka duduk sambil menunggu orang tua Clara.
"Hm... Clara.. Mau gak es krim? Kakak haus nih.. Kayaknya es krim enak deh" Mendengar es krim, mata Clara langsung membulat
"Mau kakak.. Mau.. Yang strawberry ya kak.." Clara langsung antusias
"Oke, tuh ada yang jual, kita ke sana yuk.. " Dinda berdiri lalu mengajak Clara menghampiri penjual es krim keliling yang kebetulan lewat di depan mereka.
"yang strawberry kakak.. yang strawberry... Clara suka yang strawberry" Clara langsung menunjuk es krim rasa strawberry. Melihat itu, Dinda hanya tersenyum lalu mengambil beberapa es krim dan kemudian membayarnya. Tidak lama, mereka kembali di bangku panjang di depan halaman gereja sambil menikmati es krim masing-masing.
Ccccciiiiiiitttttt..... Brrraakkk...... Brrruugghhh....
Seluruh perhatian Dinda, Clara dan orang-orang yang lalu lalang di situ seketika berfokus pada sumber suara yang keras tersebut. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu langsung mengerubungi tempat kejadian. Setelah meminta Clara untuk tetap duduk di bangku, Dinda akhirnya menghampiri tempat terjadinya kecelakaan tunggal itu. Dinda sedikit marah, orang-orang tersebut hanya mengerumuni saja, tanpa ada niatan sama sekali menolong. Dengan sekuat tenaga, Dinda menghampiri korban kecelakaan tunggal tersebut. Sedikit menyeret pemuda tegap tersebut ke trotoar dan membersihkan luka dengan tissue yang dibawanya.
"Mbak.. Mbaknya kenal dengan mas-nya ini?" Tanya seseorang ke Dinda
"Gak perlu harus kenal dulu pak buat nolong orang. Mending sekarang telpon ambulans. Orang ini butuh ke rumah sakit bukan butuh difoto!!" Perkataan Dinda membuat seseorang menghubungi polisi dan ambulans.
Setengah jam kemudian, datanglah mobil ambulans beserta polisi. Melihat itu, Dinda sedikit lebih tenang. Dia mundur, membiarkan petugas medis mengerjakan tugasnya. Dinda kembali ke bangku panjang dan mendapati Clara telah bersama orang tuanya. Dinda berpikiran bahwa tugasnya telah selesai, namun saat akan melangkah pergi, tiba-tiba seorang polisi menghampirinya
"Mbak, bisa ikut kami sebentar saja untuk melengkapi berkas pelaporan kejadian? Mbaknya ada di lokasi kejadian dan mengetahui kronologis kejadiannya bukan?" Kata salah satu polisi
"Saya lihat kejadiannya di sini pak. Saya memang yang menolong orang tersebut....." Belum selesai Dinda menceritakan kejadian yang dilihatnya, seorang petugas lainnya menghampiri
"Kondisi korban sekarang sedang shock karena kehilangan darah. Lebih baik mbaknya ikut saja ke rumah sakit dan melengkapi kronologi kejadiannya di sana. Bersedia ya mbak.."
"Baik saya ikut ke rumah sakit" Dinda akhirnya menuruti perintah dua polisi tersebut.
Sekarang Dinda duduk di depan ruang IRD. Menunggu team dokter menangani korban kecelakaan yang ditolongnya dan menunggu keluarga dari korban untuk datang. Polisi memang telah menghubungi keluarga korban dengan membuka ponsel milik korban dan menemukan kontak dengan keluarganya. Polisi juga telah melengkapi berkas berita acara kejadian kecelakaan tunggal tersebut sehingga kini praktis tinggal Dinda yang berada di rumah sakit untuk menunggu keluarga korban dan menyerahkan beberapa barang pribadi milik korban.
Beberapa menit kemudian, tampaklah pasangan suami istri tergopoh-gopoh masuk ruang tunggu rumah sakit. Mereka segera menuju meja resepsionis
"Mbak, korban kecelakaan atas nama Rendi dimana?" Tanya pria tersebut. Petugas di resepsionis segera memeriksa, lalu kemudian berkata
"Masih ditangani dokter di IRD pak.. Oh ya, tadi berdasarkan info polisi, mbak-nya itu yang pertama kali menolong putra bapak" ujar petugas resepsionis sambil menunjuk ke Dinda. Kedua pasutri tersebut mengikuti arah tunjuk dari petugas tersebut. Menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, Dinda segera berdiri. Belum melangkah, kedua pasutri itu menghampiri Dinda dan memeluknya dengan hangat.
"Terima kasih.. Terima kasih.. Kami berhutang banyak padamu..." ujar sang ayah Rendi
"Tidak perlu berterima kasih om.. Saya kebetulan ada di lokasi kejadian. Jadi ya saya hanya bisa melakukan yang bisa saya lakukan" ujar Dinda kemudian kemudian membalas pelukan hangat dari pria tersebut. Dinda kemudian menyerahkan beberapa barang pribadi Rendi yang sedari tadi dipegangnya.
"Keluarga pasien Rendi?" Panggilan dokter jada IRD memecah kesunyian. Bergegas Dinda dan orang tua Rendi mendatangi dokter tersebut
"Pasien saat ini dalam kondisi yang relatif stabil. Tidak ada indikasi patah tulang atau luka dalam. Namun, pasien masih membutuhkan transfusi darah karena luka yang dialami tepar menggores pembuluh darah. Golongan darah pasien O dan kebetulan stok darah O kami menipis. Mohon jika ada anggota keluarga dengan golongan darah sejenis bisa mendonorkan darahnya" ujar dokter tersebut
"Kebetulan golongan darah saya sama dengan anak saya dok." Ujar ayah Rendi
"Alternatif lain selain bapak? Batas maksimal usia pendonor adalah 60 tahun. Sepertinya bapak telah memasuki usia tersebut" Sebenarnya usia Surya masih belum menginjak 60 tahun seperti perkiraan dokter jaga. Mungkin karena penampilan yang apa adanya karena tergesa-gesa mendengar Rendi kecelakaan membuat orang mengira bahwa dia sudah berumur.
"Saya bersedia dok. Kebetulan golongan darah saya sama" ujar Dinda. Ayah dan ibu Rendi seketika memandang Dinda seolah ingin berterima kasih tak terhingga.
"Baik. Mbaknya dalam kondisi sehat dan tidak sedang menstruasi?"
"Saya merasa sehat dan sedang tidak dalam kondisi menstruasi dok" Setelah menjawab, Dinda mengikuti dokter tersebut ke ruang donor darah. Ibu Rendi mengikuti Dinda dari belakang dan menemani Dinda selama proses donor darah berlangsung.
"Terima kasih... Terima kasih.. sudah menolong anak tante.. Terima kasih.." Ibu Rendi tidak berhenti berterima kasih pada Dinda.
"Tidak apa-apa tante.. Saya pamit pulang dulu. Ini sudah sore. Nanti dicariin bunda. Pamitnya gak sampai sore tante"
"Biar om yang anter ya.. Kamu tinggal dimana? Oh ya, nama kamu siapa?"
"Saya Dinda om.. Saya tinggal di panti asuhan di seberang belakang gereja" ujar Dinda kemudian
Perbuatan Dinda yang memutuskan menolong Rendi saat dia kecelakaan, merupakan hal yang sederhana, namun dari tindakan sederhana itulah akan sangat menentukan garis hidup Dinda kelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...