Part 34

2.5K 119 1
                                    

Bara dan Anton saat ini berada di ruang kerja Bara. Mereka saat ini sedang membicarakan apa yang akan dilakukan untuk Mario. Hasil pemeriksaan di rumah sakit yang sudah ada di tangan mereka membuat mereka pusing dalam mengambil keputusan sementara kondisi Mario tidak boleh dibiarkan terlalu lama tanpa melakukan terapi. Kondisinya akan semakin drop jika mereka lamban dalam mengambil keputusan. Mereka berencana membawa Mario ke luar negeri untuk second opinion dengan dokter dan rumah sakit di luar negeri. Mungkin rumah sakit dan dokter di luar negeri mempunyai alternatif solusi untuk penyakit Mario. Sedang mereka berdiskusi, tiba-tiba pintu ruang kerja Bara terbuka dan masuklah Lia, diikuti oleh Mentari di belakangnya. Lia berusaha meminta maaf karena tidak bisa mencegah Mentari yang memaksa masuk ke ruangan Bara. Melihat Mentari ada di depannya, Bara tergagap.

"Maaf pak, tapi ibu ini memaksa masuk. Saya sudah coba mencegah, namun ibu ini tetap memaksa" Lia, sekretaris Bara. Sementara Mentari yang berada di belakang Lia tampak menunjukkan wajah yang tidak bersahabat.

"It's ok. Nanti, jika ibu ini berkunjung, langsung saja ke ruang saya atau ke ruang Daddy" Ucap Bara seolah mengerti akan ketakutan dari Lia. Bukan hanya Bara yang kaget, namun juga Anton yang saat itu berada di ruang yang sama.

"Dinda, mari silakan duduk dulu" Bara berusaha menekan rasa gugupnya. Anton yang tadi dudukpun segera berdiri, mempersilakan duduk dengan bahasa tubuhnya.

"Tidak perlu! Aku ke sini hanya perlu mengatakan bahwa kau tidak perlu menggunakan cara licik dan kotor untuk mendapatkan kemauanmu!" Mentari berucap sarkas ke Bara. Bara jelas gelagapan mendengar perkataan Mentari

"Cara kotor? Licik? Maksudnya apa? Apa yang kau bicarakan Dinda?" Bara mencoba mencari tahu. Mentari yang pada dasarnya tidak mau terlalu lama berada di sana, segera mengeluarkan plastic bag yang berisi barang-barang pribadi Brian. Mengambil gelang lalu melemparkannya ke Bara. Bara dengan sigap menangkap gelang itu, alisnya bertaut melihat gelang itu ada di tangan Mentari. Ada apa ini?

"Gelang itu milik orangmu yang kamu suruh untuk menganiaya Brian kan! Brian sama sekali tidak ada masalah denganmu! Masalahmu itu denganku bukan dengan Brian! Tidak cukupkah kamu menyiksaku saja dan jangan libatkan orang lain? Hah!!!" Mentari sangat mengenali gelang itu, karena pada saat Bara melecehkannya, Rian ada di sana dan dia memakai gelang itu. Rian saat itu juga membantu Bara menyeret Mentari. Ingatan Mentari tidak akan pernah hilang terhadap peristiwa kelam saat itu

"Taappii.. Aku tidak melakukan apapun" Bara memang merasa tidak melakukan apapun. Bagaimana dia mau menggunakan kekerasan pada Mentari, bahkan bertemu langsung seperti inipun sudah membuat dirinya gugup dan panik luar biasa.

'MEMANG BUKAN KAMU YANG MELAKUKAN TAPI ANJING-ANJING KAMU YANG MELAKUKANNYA!!!" Habis sudah kesabaran Mentari. Selama ini tidak pernah ada kata-kata kasar keluar dari mulutnya, namun kali ini emosinya sudah tidak terkendali. Diambilnya ponsel Brian yang saat ini dibawanya. Lalu dibukanya aplikasi pesan singkat di ponselnya dan lalu menunjukkan ke Bara. Banyak pesan yang mengancam Brian dan meminta Brian membatalkan rencana pernikahan dengan Mentari. Mentari lalu men-speed dial pada nomer yang mengirim pesan ancaman itu. mengaktifkan loud speaker sehingga Bara bisa mendengar. Setelah tersambung, terdengarlah suara yang sangat Bara kenal.

"Hei bocah tengik! Ngapain lo telpon gue? Pengen gue hajar lagi kayak tadi subuh hah? Atau lo mau bilang kalo lo udah ninggalin inceran bos gue?" Bara menegang seketika mendengar suara dari ponsel yang berada di tangan Mentari tersebut. Bara sangat hapal dengan suara dari ponsel yang dipegang oleh Mentari tersebut. Kini dia tahu mengapa Mentari bisa semarah itu pada dirinya.

"Rian, ke ruangan saya SEKARANG!!!" bentak Bara seketika dengan suara kerasnya. Kini dia tahu mengapa emosi Mentari sampai memuncak seperti itu.

"Dinda, sungguh itu bukan saya yang memerintahkannya. Bisa saya jelaskan semuanya. Bukan saya.. " Bara masih mencoba meyakinkan Mentari jika memang bukan dia yang menyuruh Rian melakukan itu semuanya.

"Seekor anjing tidak akan mungkin menggigit jika tuannya tidak menyuruh kan?" Mentari masih mengeluarkan kata-kata sarkasnya. Bara hanya bisa mengusap wajahnya kasar mendengar kata-kata Mentari. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus membela dirinya di depan Mentari

"Tidak bisakah untuk tidak mengganggu saya lagi? Kali ini saya mohon, biarkan saya bisa hidup dengan tenang. Soal Mario, jangan khawatir saya akan menjadi donor untuknya. Bukan karena apa yang sudah kamu lakukan pada Brian, tapi semata karena Mario adalah anakku dan saya masih punya hati tidak seperti dirimu!!" Setelah mengatakan itu semuanya tanpa pamit, Mentari langsung meninggalkan Anton dan Bara yang masih terdiam tanpa kata. Urusan Mario dan sekarang ditambah masalah yang diperbuat oleh Rian, membuatnya ingin berteriak kencang.

Sesaat setelah Mentari meninggalkan ruangannya, Rian muncul. Begitu melihat Rian muncul, Bara langsung memberondong Rian dengan bogeman dan tonjokan. Bara seolah-olah menjadikan Rian sebagai sansak dan melampiaskan semua rasa marahnya kepada Rian. Rian yang mengetahui apa yang dilakukannya adalah salah, hanya bisa diam dan menerima apa yang dilakukan oleh Bara. Awalnya Rian hanya ingin membantu Bara. Melihat bagaimana usaha dan perilaku Bara yang berubah setelah kelahiran Mario namun tidak mendapatkan respon dari Mentari membuat Rian melakukan hal itu. Dengan menyingkirkan Brian, Rian berpikir akan bisa menjadi jalan buat Bara mendekati Mentari lagi.

"SUDAH KUKATAKAN JANGAN MELAKUKAN HAL BURUK PADA DINDA!! KENAPA KAU MASIH MELAKUKAN HAL BODOH SEPERTI ITU!! SEKARANG DIA SEMAKIN MEMBENCIKU!!" Bara meluapkan emosinya dengan berteriak di depan wajah Rian. Dia melemparkan gelang besi yang merupakan milik Rian.

"Maaf tuan, saya salah" Ucap Rian singkat. Dia sadar membela diri seperti apaun tidak akan berguna pada saat ini. Bara sudah terlanjur kecewa dengannya.

"Saya Kecewa sama kamu!! Sekarang kamu tahu apa yang harus kamu lakukan!!"

"Baik tuan, saya pamit undur diri. Mohon maaf sudah membuat tuan kecewa dengan apa yang saya buat. Terima kasih tuan" Rian paham konsekuensi jika Bara sudah mengatakan bahwa dia kecewa terhadapnya. Itu sama halnya dengan Bara meminta Rian untuk berhenti dan mengundurkan diri. Perkataan Rian hanya dibalas dengan kibasan tangan dari Bara.

Bara kini lemas. Dia terduduk di kursinya dan menelungkupkan wajahnya ke mejanya. Anton yang melihat langsung semua yang terjadi memang memilih diam. Anton berdiri, menghampiri Bara yang terlihat hancur. Dibelainya rambut Bara dengan lembut mencoba memberikan ketenangan di sana.

"kalau mau teriak untuk melepaskannya, lakukan. Jangan kamu pendam sendiri seperti itu" Anton berucap pelan. Seolah mendapat dukungan, Bara langsung berteriak kencang. Untunglah ruangannya di desain dengan kedap suara. Sehingga tidak menimbulkan kepanikan di kantor.

"Dad.. Kenapa sakitnya seperti ini? Kenapa bukan aku saja yang kena kanker? Kenapa harus iyok? Yang salah itu aku, bukan iyok. Iyok gak salah. Aku juga tidak pernah menyuruh Rian menyakiti Dinda dan orang-orang di sekitar Dinda." Ucap Bara pelan. Menumpahkan semua sesak di dadanya. Air matanya turun membasahi kemeja Anton yang saat ini memeluknya. Anton yang melihat penyesalan Bara, sebenarnya sangat merasa kasihan, namun dia juga tidak bisa berbuat apapun.

"Daddy yakin kamu kuat dan memang kamu harus kuat. Dinda sudah bersedia menjadi donor. Jangan pernah sia-siakan apa yang sudah Dinda lakukan. Daddy harap kamu bisa melepaskan bayang-bayang Dinda. Daddy tahu kamu merasa bersalah dengan semua ini, namun tebus semua itu dengan melangkah dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Kita tidak bisa merubah sejarah hidup kita, tapi kita bisa melukis masa depan sesuai dengan apa yang kita mau. Mentari sudah memilih sendiri jalan hidupnya. Biarkan dia bahagia dengan hidupnya itu. Lepaskan dia dari pikiranmu." Anton mencoba menenangkan Bara. Sudah cukup Bara tenggelam dalam rasa bersalah. Kini saatnya dia harus bangkit dan menata hidupnya kembali. Sekarang, Mario sangat membutuhkan figur ayahnya, apalagi dalam kondisi kesehatannya yang sedang rapuh. Jika Bara masih terlarut dalam keputusasaan, maka yang menjadi korban selanjutnya adalah Mario.

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang