Pagi ini Mentari dan Brian terpaksa mengalah pada rengekan Feinya yang meminta mereka menunggu Mario menjemputnya. Feinya beralasan bahwa dia ingin memperkenalkan Mario pada kedua orang tuanya. Sejujurnya, mereka akan kesiangan sampai di rumah sakit jika mereka menuruti kemauan Feinya, namun mereka juga penasaran dengan sosok "yoyok". Semalaman mereka berdua harus mendengarkan cerita panjang tentang yoyok dari Feinya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Mario datang juga.
"Ayah, Bunda, ini yang kemarin Feinya ceritakan kemarin. Ini yang namanya Yoyok, yang udah ngater Feinya pulang" Mario langsung menautkan alisnya. Sejak kapan namanya berubah menjadi yoyok? Namanya Mario, bukan Yoyok! Kenapa pula cewek itu merubah namanya sesuka hatinya? Enak aja! Siapa juga dia?
"Ini tho yang namanya Yoyok. Terima kasih ya nak, kamu udah nganterin Feinya kemarin ya?" Mentari membalas jabat tangan dari Mario. Hangat. Mentari merasakan sesuatu yang berbeda saat dia menjabat tangan Mario. Mentari tidak tahu, yang ada sekarang perasaannya tenang, sangat tenang ketika dia berhadapan dengan Mario. Pengalaman buruknya di masa lalu sebenarnya membuat dia cukup protektif terhadap Feinya. Hal itu yang menyebabkan Mentari waspada terhadap semua teman lelaki dari Feinya. Namun, saat berhadapan dengan mario, dia tidak menaruh kecurigaan apapun.
"Pagi om, tante. Saya Mario. Panggilannya Iyok. Bukan yoyok tan. Mungkin kemarin Feinya salah dengernya" Mario memperkenalkan diri sambil mengkoreksi apa yang di katakan oleh Feinya. Ada rasa yang aneh saat Mario menjabat tangan Mentari. Rasa damai dan hangat bersamaan di dalam hatinya. Dia tidak pernah merasakan perasaan ini dengan siapapun juga. Wanita yang dipanggil bunda oleh Feinya itu sungguh sudah membuatnya merasa tenang.
"Bentar, jadi sebenarnya nama kamu itu siapa? Mario, Yoyok atau Iyok?" Kali ini Brian yang bersuara.
"Mario om. Cuman kalau di rumah Mario seringnya dipanggil iyok" Mario mencoba menerangkan agar tidak terjadi kesalahan nama lagi. Dia masih tidak rela namanya diganti begitu saja sama Feinya.
Sesi perkenalan antara Brian, Mentari dan Mario yang singkat itupun berakhir. Mereka berpisah di teras rumah milik keluarga Brian. Brian dan Menteri berangkat ke rumah sakit dan Feinya bersama dengan Mario segera berangkat ke kampus.
"Lo ngapain ganti nama gue seenak jidat lo?" Mario masih kesal dengan Feinya yang salah memperkenalkan dirinya ke orang tuanya.
"Iya... Iya... Feinya mintaa maaf" Kata Feinya dengan memohon. Mario tidak merespon perkataan Feinya, bukan karena dia tidak memaafkan Feinya, tapi dia harus fokus dengan mobilnya. Kondisi lalu lintas sangat ramai pagi itu, menjadikan dia harus ekstra fokus.
"Katanya ayah bunda, kalau ada yang minta maaf, itu harus dimaafin. Gak baik kalau marah-marah terus. Bisa cepet tua. Eh, tapi kan kakak udah tua ya?" Lagi perkataan polos dari Feinya sukses membuat Mario tercengang. Setelah tadi dia salah menyebut namanya, sekarang dengan santainya Feinya mengatakan kalau dia tua. Memang, Mario adalah seniornya di kampus, tapi siapa juga orang yang mau dipanggil tua juga.
"Gak gratisan juga kalau mau dapetin maaf gue" Mario menyunggingkan senyum tipis. Dia tampaknya sudah mempersiapkan sesuatu untuk "membalas" Feinya.
"Ayah gak kasih duit lebih ke Feinya. Jadinya sekarang Feinya gak bawa banyak duit" Mendengar jawaban Feinya, Mario hanya garuk-garuk kepalanya. Dia bingung, bagaimana bisa Feinya bisa kuliah di Fakultas Kedokteran, masuk lewat jalur prestasi pula.
"Pulang nanti, lo gue jemput. Jam berapa habis kelas lo?" Tanya Mario. Rencanya Mario akan memperkenalkan Feinya ke oma, opa dan daddy-nya. Sejak kemarin bercerita tentang kejadiannya bersama Feinya, mereka meminta Mario membawa Feinya untuk sekedar berkenalan. Mereka penasaran siapa gadis yang bisa membuat Mario terus menyunggingkan senyumnya sepanjang hari. Feinya hanya bisa menurut, mengikuti apa yang dimau oleh Mario. Brian dan Mentari juga telah memberikan ijin Feinya untuk pulang sedikit telat karena ke rumah Mario terlebih dulu.
Anton, Reta dan Bara menerima Feinya dengan ramah dan hangat. Sama seperti Mario, mereka sangat kaget dengan kepolosan yang ditunjukkan gadis itu. Seringkali mereka harus bingung karena jawaban yang diberikan oleh Feinya sangat diluar dugaan mereka. Anton dan Reta tentu sangat senang dengan situasi ini. Rumah ini sudah terlalu lama sepi. Sudah terlalu lama tidak ada gelak tawa, dan sekarang dengan tingkah polos dan lontaran perkataan kekanakan dari Feinya mampu memberi warna pada rumah itu. Bahkan Bara yang sangat serius dan dingin itu bisa tersenyum lepas mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Feinya.
"Fei, makasih ya udah mau main ke sini. Kapan-kapan main lagi ya. Jangan kapok-kapok ke sini. Kalau Iyok gak mau jemput, telpon aja oma. Nanti oma kirim sopir buat jemput kamu." Reta ikut mengantarkan Feinya ke teras depan. Mario sudah bersiap di mobil, hendak mengantar pulang Feinya.
"Iya oma. Feinya juga seneng main di sini. Masakan oma enak. Bikin Feinya nambah terus" Reta tentu saja senang saat Feinya memuji masakannya. Setelah dirasa cukup berpamitanya, Feinya menyusul Mario di mobilnya.
"Makasih, lo dah mau ke rumah gue" Mario dengan tulus berterima kasih pada Feinya. Kehadiran Feinya mampu membuat hari-harinya sedikit lebih berwarna. Sejak kecil dia lebih mendapat perhatian dari oma dan opa. Bara masih menjadi pribadi yang dingin. Rasa bersalah pada masa lalunya membuat Bara masih terpenjara dengan rasa sesalnya. Dia menepati janjinya bahwa dia hanya fokus untuk merawat Mario. Bara juga menepati janjinya pada Rendi untuk tidak lagi mengusik kehidupan Mentari dan Brian. Anton dan Reta sebenarnya sudah berulang kali meminta Bara untuk membuka lembaran baru. Namun, Bara masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri.
Mario sendiri belum mengetahui tentang sejarah masa lalu daddy-nya terutama sejarah mengenai kehadirannya di dunia. Dia hanya menilai Bara sebagai seorang ayah yang super sibuk dalam urusan pekerjaan, tapi akan selalu ada untuknya saat dia memintanya. Mario juga tidak pernah mendapat jawaban ketika dia bertanya tentang sosok ibu. Kepada siapapun dia bertanya, dia tidak akan pernah mendapat jawaban yang pasti dan memuaskan rasa penasarannya. Selalu saja mereka langsung mengalihkan pembicaraan ketika Mario bertanya tantang sosok ibunya. Mario memang tidak merasa kekuarangan kasih sayang. Oma, opa dan daddy-nya memang melimpahkan semua kasih sayang mereka kepadanya. Namun, tentu kasih sayang itu akan lebih lengkap jika ada sosok dan figur seorang ibu di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...