Malam harinya Mentari sudah berjaga di IRD rumah sakit. Menjadi dokter yang masih berstatus koas itu agak sedikit ribet dan serba nanggung. Mau nunggu di ruang tunggu dokter jaga pasti akan sungkan dengan dokter jaganya, mau nunggu di ruang tunggu dokter konsulen, lebih tidak mungkin lagi. Maka, biasanya dokter koas akan menggabungkan diri dengan perawat jaga IRD yang biasanya berkumpul di nurse station. Hal itu yang dilakukan oleh Mentari dan beberapa rekan sesama dokter koasnya saat ini. Dia sedang berkumpul di area nurse station, bersama dengan perawat jaga IRD lainnya. Sambil menunggu, Mentari menghabiskan waktunya dengan melengkapi rekam medis pasien yang baru saja dia tangani tadi untuk kemudian dipelajari ulang. Jam saat itu menunjukkan pukul 22.00. Keadaan IRD masih tidak terlalu ramai. Beberapa pasien umumnya datang dengan keluhan ringan dan mudah untuk diatasi.
"Dokter Tari, ada pasien datang. Pasien anak dengan keluhan demam tinggi disertai dengan gejala nafas pendek. Dokter Wisnu dan koas lain sedang mempersiapkan pasien untuk cito" Seorang perawat jaga menghampiri Mentari yang saat itu sedang menyalin status pasien untuk dipelajarinya. Mentari segera berdiri, mengalungkan stetoskopnya dan berjalan mengikuti perawat jaga. Saat melewati ruang tunggu pandangannya seketika berhenti pada tiga orang yang duduk di kursi ruang tunggu. Tiga orang itu, Anton, Reta dan Bara. Mereka semuanya menunduk dengan wajah yang sangat cemas.
"jika ada mereka, apakah anak yang dimaksud perawat jaga tadi......." Mentari segera menyingkirkan pikirannya dan berusaha tetap fokus pada tindakan yang akan diambilnya.
"Dinda....." Anton berucap pelan, namun masih bisa didengar Reta dan Bara. Mendengar Anton berucap nama Dinda, Reta dan Bara kompak menoleh pada Anton. Sadar dirinya menjadi perhatian Reta dan Bara, Anton segera mendongakkan kepalanya ke arah Mentari. Reta dan Bara langsung terkejut saat melihat Mentari berjalan cepat mengikuti perawat di depannya. Pandangan mereka sempat beradu selama beberapa detik, namun Mentari memutus pandangan itu dan bergegas masuk ke ruang tindakan.
"Pasien anak usia empat tahun, tekanan darah 130 per 80, suhu 38,7 derajat, nadi teraba 100 per menit, nafas lebih dari 40 per menit. Tadi sempat epistaksis, dok tapi bisa saya atasi" perawat yang sedang menangani pasien langsung menyebutkan tanda vital pasien ketika melihat Mentari masuk ke ruang tindakan. Mentari seketika kaku melihat pasien yang akan ditanganinya adalah Mario. Seorang anak yang pernah ada di tubuhnya. Seorang anak yang pada awalnya Mentari tidak menginginkannya. Mentari masih terdiam sesaat hingga perawat yang mendampinginya menepuk pundaknya dan menyadarkan dari lamunannya.
"Dokter.. Dokter Tari tidak apa-apa?" pertanyaan singkat itu mampu mengembalikan Mentari dari lamunannya. Mentari hanya tersenyum dan mengangguk. Menginsyaratkan bahwa dia baik-baik saja.
"Perlu saya ulang tanda vital pasien dok?" tanya perawat yang tadi menyebut tanda vital pasien
"Tidak perlu. Akan saya periksa dulu" ujar Mentari singkat dan segera memeriksa Mario. Mentari menyipitkan matanya saat dia menyentuh lengan kecil Mario, anak itu memberikan ekspresi kesakitan. Mentari semakin curiga ketika mengangkat lengan Mario dan mendapati bejolan kecil di ketiaknya. Ketika meraba benjolan itu, wajah Mario menunjukkan ekspresi kesakitan.
"Bagaimana kondisinya dek?" Dokter Wisnu sudah berdiri di samping Mentari saat Mentari sedang memeriksa Mario. Dokter jaga itu melihat sekilas status Mario.
"Saya ragu dok. Apa kita harus membuat form konsul ke onkologi anak untuk memastikan?" Ucap Mentari sambil memperlihatkan benjolan di ketiak Mario. Dokter Wisnu yang melihat itu kemudian membaca ulang status Mario kemudian mendekat dan mengambil alih penanganan Mario.
"Sepertinya saya setuju. Segera hubungi keluarganya, jika memang setuju untuk konsul ke onkolog pediatrik, buat form-nya sekalian. Saya akan terapi pasien ini dulu untuk menurunkan demam dan mengurangi nyeri" ujar dokter Wisnu lalu mengambil alih perawatan Mario dari Mantari. Mentari sebenarnya enggan untuk menginformasikan hal ini ke keluarga Anton, namun dia juga ingat bahwa dia harus bersikap profesional. Mentari segera melangkah keluar ruang tindakan dan menuju ruang tunggu dihampirinya keluarga Anton yang masih terduduk dalam diam di sana.
"Nak.. Senang sekali melihatmu seperti ini. Kau hebat nak.. " Reta langsung memeluk Mentari dan dibalas dengan hangat pula oleh Mentari. Reta agak terkejut mendapati respon Mentari yang di luar perkiraannya. Reta tidak mengira jika pelukannya dibalas dengan hangat oleh Mentari.
"Tari baik tante.. Oh, ya ada yang ingin Tari sampaikan soal Mario. Kami tadi sudah memeriksa Mario dan tampaknya demam yang diderita Mario bukan demam biasa. Apa sudah sering Mario demam seperti ini?" ujar Tari kemudian. Sebenarnya Mentari sedang berusaha menguasi diri dari emosinya yang sedang naik saat ini.
"Sebulan ini memang Mario beberapa kali demam. Biasanya setelah diberi obat penurun panas sembuh, tapi ini demamnya tinggi. Sudah diberi penurun panas namun masih demam. Nafsu makannya juga hilang lalu dia mengeluh sakit semua di badannya" Reta menjelaskan kondisi Mario pada
"Sebenarnya kami curiga jika demam pada Mario bukan demam yang biasa ditemui pada anak. Untuk memastikan kecurigaan kami, akan kami buat formulir konsul ke dokter spesialis onkologi pediatrik" Mentari tidak tega untuk mengatakan bahwa dia curiga jika Mario kemungkinan menderita leukemia atau kanker darah.
"Spesialis onkologi pediatrik? Maksudnya apa ya nak?" Kali ini Anton yang bertanya
"Spesialis onkologi pediatrik, spesialis kanker anak" Mentari mencoba menjelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami. Keterkejutan tidak bisa ditutupi oleh ketiga orang di hadapan Mentari. Melihat itu, Mentari kemudian berkata
"Jangan panik dulu. Ini baru kecurigaan Tari dan dokter Wisnu yang tadi menangani Mario. Mario memang menunjukkan gejala awal leukemia atau kanker darah pada anak. Namun, untuk memastikannya kami perlu merujuk pada dokter spesialis kanker anak. Kami akan observasi terlebih dahulu untuk memastikannya dan untuk itu Mario perlu rawat inap di rumah sakit. Tari berharap apa yang Tari takutkan tidak terjadi" Mentari mencoba meredakan kecemasan mereka.
"Lakukan saja nak.. Apapun yang terbaik untuk Mario" Ujar Anton kemudian. Permintaan Anton dijawab anggukan oleh Mentari.
"Baik, Tari akan buat formulir konsulennya dulu. Sekarang mungkin ke administrasi dulu untuk pemindahan Mario ke ruang rawat inap" Selesai mengucapkan itu Mentari segera beranjak dari sana dan masuk kembali ke ruang tindakan untuk menyampaikan keputusan Anton dan Reta terkait penanganan Mario.
Bara yang melihat itu semuanya hanya bisa mematung. Diam dan tidak bisa berkata apapun. Dia hanya mampu melihat Mentari menjelaskan semuanya pada kedua orang tuanya. Dia tidak menyangka sama sekali jika sekarang harus bertemu kembali dengan Mentari. Tidak punya nyali, itu yang terjadi pada Bara saat ini. Dia seakan dihantam oleh dua kenyataan yang sama-sama perih. Kenyataan bahwa sekarang dia harus berjumpa dengan Mentari dan dia tidak punya kekuatan sama sekali untuk sekedar mengucap salam pada Mentari walaupun sangat ingin dia berkata banyak dan tentu meminta maaf pada Mentari. Kenyataan bahwa Mario, anaknya saat ini ada kemungkinan menderita kanker. Siapa yang tidak shock jika diberi kabar bahwa anak yang selama ini disayangi lebih dari apapun ternyata harus menderita penyakit yang mematikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
RandomAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...