Part 42

2.5K 121 5
                                    

Pagi ini Mario memulai aktivitasnya dengan tidak semangat. Hantaman cerita tentang sejarah dirinya sempat membuat dirinya down. Kenyataan tentang hubungannya dengan Feinya yang ternyata adalah saudara sekandung juga menambah perih dirinya. Ini pertama kalinya dia mau membuka diri untuk hubungan yang lebih dari sekedar pertemanan biasa saja, namun harus kandas bahkan ketika dia belum memulainya.

Mario melangkah malas menuju meja makan. Seperti biasanya, di sana sudah ada Anton dan Bara. Reta sendiri sedang sibuk mempersiapkan makan pagi. Setelah semuanya siap, baru dia bergabung dengan Anton, Bara dan Mario. Diam, tidak ada yang bersuara. Mereka masih dalam pemikirannya masing-masing. Kejadian kemarin bukanlah hal yang mudah untuk keluarga ini.

"Ke kampus atau ke kantor?" Bara akhirnya memberanikan diri membuka perbincangan pagi ini.

"Pagi ini ke kantor, siangan ntar ke kampus. Iyok ada janjian ketemuan sama bimbingan buat final project Iyok di kampus" Walaupun belum lulus, namun Mario sudah aktif di Nusa Raya Group. Dia salah satu anggota dewan komisaris pada perusahaan milik keluarganya itu.

"Look, I'm really sorry son. For everything that I've done. Daddy tahu, apa yang dad lakukan di masa lalu dampaknya masih kerasa sampai sekarang. Daddy juga gak pernah menyangka jika apa yang daddy lakukan akan berakibat juga ke kamu." Tidak mudah bagi Bara berucap maaf pada anaknya itu. mendengar ucapan Bara, Mario menghentikan sebentar makan paginya. Mario sendiri bingung, dia tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Bara bukanlah satu kesalahan kecil, namun di sisi lain Mario juga mengetahui bagaimana perjuangan Bara, terutama saat dia masih harus terapi dengan leukemia-nya.

"For being honest, I'm confused dad. But, everyone deserve for a second chance. Sebenarnya Iyok pengen banget marah, tapi harus marah sama siapa? Marah sama Tuhan, sama keadaan atau sama daddy? Tapi apa dengan itu semua akan merubah keadaan? Gak juga kan? Tapi yang pasti satu hal yang Iyok rasakan sekarang. Iyok kecewa, dad. Sangat kecewa" Selesai mengatakan itu, Mario beranjak dari mejanya, meninggalkan keluarganya.

Hari masih terlalu pagi untuk ke kantor. Mario memutuskan melajukan mobilnya ke rumah Brian. Dia sendiri tidak tahu, mengapa melajukan mobilnya ke sana. Dia hanya mengikuti feeling dan kata hatinya. Sampai dirumah Brian, Mario ragu saat akan masuk, padahal pintu sudah terbuka untuknya. Mario akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke rumah yang sudah sering dia datangi itu. Dia tercekat, saat melihat Brian dan Mentari keluar dari rumahnya itu.

"Buunn..." Mario mencoba bersuara, tapi entah mengapa suaranya tidak selantang biasanya. Mentari dan Brian yang mendengar suara itu kompak melihat ke arah Mario. Mentari sejenak melihat ke Brian, seperti meminta persetujuan suaminya itu. Brian mengangguk, memahami apa yang diminta oleh Mentari. Bagaimanapun, Mario adalah anak dari istrinya itu dan Brian sudah berjanji untuk tetap menerima Mario apabila anak itu datang.

"Bunda.. Boleh Iyok panggil bunda?" Mario yang sangat merindukan figur seorang ibu, tentu sangat senang hatinya mendapati ibu yang selama ini dia impikan ternyata figur yang cukup dekat dengannya.

"Ayuk.. Sini nak.." Ucap Mentari singkat. Dia melangkah mendekat pada Mario. Merangkul erat anaknya itu sambil tangannya mengelus lembut rambut Mario. Dirinya sendiri membuncah hatinya saat memeluk Mario.

"Bun.. Makasih.. Makasih udah mau jadi pendonor buat Iyok padahal apa yang bunda alami bisa jadi alasan buat nolak. Opa, oma dan daddy udah cerita semuanya"

"Bagaimanapun dan apapun, kamu itu anak bunda. Gak akan mungkin bunda diam saja saat tahu kamu sakit separah itu. Kamu gak perlu berterima kasih ke bunda. Itu sudah jadi kewajiban bunda." Mentari merenggangkan pelukannya namun masih dalam posisi .

"Ekhem.. Bisa gak pelukannya gak dilanjutkan?" Brian berdehem keras hingga membuat Mentari dan Mario melhatnya. Dia juga memasang wajah ketusnya. Walaupun sebenarnya hanya bercanda, tapi membuat Mario mengendurkan pelukannya pada Mentari

"Mas, masak cemburu sama anak sendiri sih? Udah yuk masuk aja dulu. Gak baik ngobrol di luar" Mentari hanya geleng-geleng kepala sendiri. Mentari tahu bahwa itu hanya gurauan dari Brian saja.

Mario mengekor saja saat Brian dan Mentari masuk ke rumah. Feinya yang baru keluar dari kamarnya di lantai dua rumah itu kaget melihat ada Mario di samping Mentari. Semalam, Brian dan Mentari akhirnya menceritakan kisah masa lalu Mentari dan juga cerita tentang Mario dari yang diketahui oleh Brian dan Mentari. Mendengar cerita Mentari, Feinya akhirnya tahu alasan utama orang tuanya melarangnya berhubungan sebagai kekasih dengan Mario.

"Abbaannggg...." Teriak Feinya dari tangga dan berlari menuju Mario, sedang Mario yang dipanggil malah mengerutkan keningnya. Setelah mengganti namanya menjadi yoyok sekarang manggil dengan abang. Mario hanya bisa mendengus pelan melihat kelakuan adiknya itu.

"Iih.. Abang kok diem aja sih. Gak sopan tau kalau disapa gak bales" Feinya mengerucutkan bibirnya melihat reaksi Mario yang seolah cuek tidak merespon panggilannya tadi.

"Abang?" Tanya Mario singkat

"Kan emang abangnya Feinya. Jadi ya gak salah dong manggil abang. Feinya seneng banget punya abang, apalagi kalau yang jadi abangnya itu bang Iyok." Ada benarnya juga Feinya, tapi panggilan abang masih terdengar asing di telinga Mario.

"Feinya kan sekarang udah jadi adikmu. Bunda harap, kamu mau ya bantuin bunda dan ayah ya nak" Mentari mengucap halus pada Mario sambil mengusap lembut lengan Mario. Sikap Mentari yang hangat membuat Mario menjadi terharu. Seandainya tidak ada peristiwa kelam itu, tentu hidupnya akan sangat bahagia sekarang.

"Iya bund, hm.. apa boleh Iyok manggil ayah juga?" Tanya Mario hati-hati ke Brian. Dia tidak berani langsung menatap wajah Brian. Pertanyaan Mario itu hanya dijawab dengan tarikan tangan Brian dan acakan tangan Brian di rambut Mario.

"Kebetulan ayah gak punya anak cowok. Bunda kamu kesulitan untuk hamil lagi setelah melahirkan Feinya. Kalau ada kamu kan ayah ada temen buat gelut ntar" Mario tentu kaget dengan sikap santai dan perlakuan hangat dari Brian.

Entah, apa Mario harus bersedih setelah mengetahui bahwa dia dilahirkan karena satu kesalahan fatal dari ayahnya, ataukah dia harus bersyukur karena ternyata dia punya keluarga yang sangat hangat menerimanya. Mario hanya bisa tersenyum mendengar itu semuanya.

"Karena kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini, jadi kamu bisa kapan saja ke sini. Gak usah sungkan lagi ya nak. Gak usah takut juga. Nanti biar bunda minta mbok bersihin kamar tamu atas. Mulai sekarang, kamar itu kamar kamu"

"Tapi bund..." Belum selesai Mario berkata, Mentari memotongnya dan berkata

"Bunda gak minta kamu tetap tinggal di sini. Bagaimanapun di sana masih ada deddy, opa sama oma kamu yang tentu juga mereka membutuhkan kamu. Bunda gak mau jadi egois nak. Kamar kamu itu kalau kamu pengen nginap atau pengen main ke sini gak perlu bingung mau tidur dimana" Mentari menjelaskan tentang kekhawatiran Mario. Kembali, Mario tidak bisa dibuat berkata-kata oleh keluarga Brian. Ekspektasinya saat dia memutuskan ke rumah Brian adalah penolakan dari keluarga ini karena perlakuan dari ayahnya.

Sehangat Maaf Mentari (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang