Mario melangkahkan kakinya ringan menuju rumahnya. Setelah mengantarkan Feinya, dia langsung menuju rumahnya. Mario sendiri bukan tipe cowok yang senang hangout atau betah berlama-lama nongkrong di cafe. Dibandingkan dengan nongkrong atau hangout di cafe, dia lebih memilih mendengarkan musik dan bersantai di kamarnya. Senyum masih melengkung di bibir Mario mengingat semua yang terjadi hari ini, terutama yang menyangkut dengan Feinya. Cewek itu jauh dari kesan feminim, jauh dari kesan anggun bahkan cenderung kekanak-kanakan, tapi entah mengapa Mario justru merasa tenang jika bersama dengan Feinya.
"Kamu itu dari tadi masuk rumah senyum terus? Ada apa?" Reta sudah tidak sabar melihat cucu semata wayangnya itu terus menerus tersenyum. Mario yang tersadar bahwa kelakuannya menarik perhatian oma-nya hanya menunjukkan keningnya yang terplester. Melihat itu, Reta langsung bingung
"Kamu kenapa nak? Terjatuh? Ada yang luka? Kamu gak apa-apa kan nak?" Reta bertanya dengan panik. Tangannya menangkup pipi Mario dan membolak balikkannya.
"Tenang oma. Iyok gak apa-apa. Masih sehat kok. Iya tadi Iyok jatuh terus akhirnya gini" Mario masih menunjukkan keningnya pada Reta. Reta menjadi bingung, bukankah harusnya orang terjatuh itu sakit, lalu kenapa Mario justru tampak senang dan selalu tersenyum? Menyadari Reta yang kebingungan, Mario melanjutkan penjelasannya
"Bukan jatuhnya yang bikin Iyok senyum, oma. Kalau itu sih malah bikin Iyok malu, kejadiannya di kantin yang lagi rame pula. Tapi yang bikin Iyok senyum itu adalah orang yang ngasih sama nempelin plester ini oma. Mangkanya tadi Iyok nunjuk ke plester ini waktu oma nanya" Mario menjelaskan kepada oma-nya itu.
"Pasti cewek kan yang ngasih trus nempel plester itu? Cucu oma udah gede. Udah berani jatuh cinta" Mario mengangguk menanggapi pertanyaan Reta tersebut.
"Gak tahu sih oma, perasaan ini apa. Tapi kalau di dekat cewek itu, Iyok jadi tenang. Anehnya oma, Iyok gampang banget ngasih nama Iyok ke cewek itu. Trus Iyok juga gampang banget ngasih tebengan juga" Mario melanjutkan ceritanya. Senyum Mario kini menular ke Reta.
"Pasti cantik kan anaknya. Satu kuliahan sama kamu, nak?" Reta mulai penasaran dengan cerita Mario
"Hm.. Gak sih oma. Gak cantik juga anaknya tapi gak ngebosenin kalao diliatin gitu. Cerewetnya itu lho, gak nguatin banget oma. Cenderung kayak anak kecil malahan. Tapi justru itu uniknya. Dia mahasiswa baru, anak kedokteran. Kebetulan tadi ketemuan di perpus pusat. Iyok memang lagi cari literatur buat tambahan jurnal penelitian Iyok." Reta tersenyum dengan semua cerita dari cucunya itu. Dia sangat senang jika akhirnya ada seorang gadis yang mampu membuka pintu hati Mario. Selama ini Mario sebenarnya kesepian di rumah itu, sehingga menjadikannya pribadi yang sedikit tertutup.
Begitulah Mario. Terkesan dingin dan cuek, namun jika orang sudah mengenalnya lebih maka kesan itu semua luntur. Mario tipe orang yang menipu pada kesan pertama. Ketika dia sudah nyaman dan sudah mengenal seseorang dengan dekat, maka kesan dingin dan cuek akan tergantikan dengan kesan ramah dan care yang selalu dia tunjukkan. Karena sifatnya inilah, maka Mario tidak terlalu banyak memiliki teman. Dia hanya akan berteman dengan orang yang memang membuatnya nyaman. Dia akan cenderung menghindar jika dia merasa tidak nyaman akan satu situasi atau satu orang.
***
Selesai membersihkan diri, Feinya lebih memilih mengistirahatkan dirinya dengan rebahan. Menjelang makan malam, Feinya turun menuju ke ruang makan. Mentari dan Brian sendiri sudah duduk manis di ruang makan. Jam saat itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
"Ayah masih di rumah? Gak praktek malam yah?" Usai tugas di rumah sakitnya selesai, biasanya Brian lanjut dengan praktek pribadi di poli spesialis yang masih berada satu rumah sakit tempatnya bekerja sekarang. Sedangkan Mentari memilih tidak melanjutkan praktek pribadi di malam hari dengan alasan lebih ingin fokus untuk mengurusi rumah.
"Capek ayah tadi habis operasi beruntun. Kasusnya juga rumit. Ayah tunggu aja di rumah, kalau nanti memang ada pasien gawat yang harus dirujuk ke ayah, baru nanti ayah ke rumah sakit" Brian memilih untuk menekuni spesialis kandungan dan kebidanan, sementara Mentari lebih memilih untuk menjadi dokter spesialis mata.
"Kamu tadi pulang jadi naik taksi?" Kali ini Mentari yang bertanya pada anaknya itu
"Gak bun.. Tadi Fei bareng sama kakak kelas Fei..."
"Kakak kelas kamu cowok apa cewek?" Belum selesai Feinya bercerita, Mentari memotongnya. Brian yang melihat itu langsung melihat ke Mentari. Seolah berkata, biarkan dulu Feinya bercerita.
"Cowok bunda. Namanya Yoyok apa siapa ya tadi? Pokoknya yok-yok gitu bund" Feinya seketika lupa akan nama Mario.
"Kamu ini gimana, udah dianterin malah gak tahu namanya. Gak sopan itu namanya" Ujar Mentari kemudian.
"Soalnya dia angkatan tua bunda. Trus beda fakultas juga. Kalau dilihat dari buku-buku yang dia bawa, kayaknya sih dia anak FEB gitu. Feinya juga kenalnya di perpus pusat kok bun. Besok ayah bunda kenalan aja langsung sama Yoyok. Besok katanya dia mau jemput Feinya kok yah, bun. Boleh kan yah, bund besok Feinya dijemput sama Yoyok" Feinya menjelaskan dengan cukup detail. Mario tadi memang menawarkan untuk menjemput Feinya besok pagi. Feinya tentu dengan senang hati menerimanya. Daripada harus naik angkutan umum yang belum tentu higienis, lebih baik memanfaatkan tebengan gratisan.
"Waaduuuhh... Anak ayah, baru semester satu udah pacaran aja. Akhirnya ada yang naksir juga sama kamu, nak" Brian mencoba menggoda Feinya.
"Emang pacaran itu apa yah?" pertanyaan polos dari Feinya itu sukses membuat Brian dan Mentari langsung menghentikan aktivitas makan malam mereka. Terdiam sejenak dan saling memandang dalam diam. Bingung harus menjawab apa.
"Ini nih kalo kecepetan sekolahnya. Sekali-kali nyantai dikitlah. Jangan belajar terus nak. Sekali-kali lihat dunia luar. Kamu itu punya hobi kok ya belajar" Brian kadang bingung menghadapi anaknya itu. Jika kebanyakan orang tua bingung bagaimana memaksa anaknya untuk mau belajar dan bersekolah dengan benar, maka dia kebalikannya. Feinya sangat hobi sekolah. Hasilnya memang membanggakan. Program akselerasi di SMP dan SMA mampu diselesaikan dengan baik. Saat lulus SMA, dia tidak perlu bingung untuk mencari universitas yang mau menampungnya. Feinya melenggang santai karena sudah pasti diterima di universitas yang dia mau lewat jalur undangan dan prestasi. Tapi, semua itu dibayar dengan tingkat sosialisasi yang rendah dari Feinya.
"Besok memang rencana berangkat jam berapa sama Yoyok?" Mentari juga penasaran dengan kawan baru Feinya. Anak tunggalnya itu masih kelewat polos untuk jenjang pendidikannya sekarang. Maka, Mentari dan Brian harus ekstra waspada, termasuk juga dengan semua teman-teman dari Feinya. Mereka takut jika kepolosan dan sifat lugu dari Feinya dimanfaatkan oleh teman-temannya untuk hal buruk.
"Rencana sih jam tujuh pagi bun. Besok ayah bunda masuknya agak siangan aja. Bilangin ke pasien-pasiennya ayah bunda suruh nunggu aja"
"Feinya, ayah itu dokter kandungan. Apa bisa kalau nanti ada pasien ayah yang mau lahiran, trus dedek bayinya udah mau nongol, ayah suruh masuk lagi dedek bayinya? Besok lihat dulu ya. Kalau gak ada operasi dadakan, ayah mau kenal dulu yang namanya Yoyok itu" Brian mencoba memberi pengertian pada Feinya. Kesibukan Brian sebagai dokter kandungan yang harus siap selama dua puluh empat jam sehari menjadikannya agak kesulitan membagi waktunya dengan keluarga. Alasan ini pula yang menyebabkan Mentari lebih memilih bidang spesialisasi yang ritme kerjanya lebih rendah dibanding dengan spesialisasi yang ditekuni suaminya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sehangat Maaf Mentari (Tamat)
DiversosAku ingin semuanya ini cepat selesai. Aku ingin pergi. Aku capek. Semua orang selalu bilang kalau aku harus kuat demi anak ini, lalu kalau semua demi anak ini, lalu bagaimana dengan aku sendiri? Bagaimana dengan perasaanku, bagaimana dengan hatiku...