Page 7: The Life of A Villain part four

1.4K 133 4
                                    

Richardo's POV

"Yang Mulia Richardo, hamba perkenalkan pada Yang Mulia Putri saya yang paling berharga. Satu-satunya harta karun yang saya miliki di keluarga Van Vellzhein."

Aku masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana untuk pertama kalinya Aku dan Naira bertemu pada hari itu. Aku yang seorang pangeran sama sekali belum memiliki seorang teman. Ibunda meninggal saat melahirkanku. Ayahanda yang kemudian menikah lagi dengan seorang putri Archduke dari wilayah Ceylon, Ratu Yurikawa Val Ikeydia.

Beliau yang saat itu masih mengandung adik pertamaku. Tentu saja itu pulalah yang menjadi alasanku tidak memiliki teman untuk kuajak bermain. Namun, entah mendapat ide dari mana. Ayahanda meminta Archduke Van Vellzhein untuk membawa putrinya dan memperkenalkannya sebagai teman bermainku.

Gadis kecil itu masih berusia dua tahun di bawahku yang berusia tujuh tahun. Aku masih ingat bagaimana reaksi takut-takut dan malu Naira, bersembunyi di belakang ayahandanya.

Waktu itu aku benar-benar merasa bahwa gadis itu sangat cantik, imut dan menggemaskan. Rambut panjang bergelombang yang berwana ungu. Lalu, kedua bola mata cantiknya yang juga berwarna ungu.
Walaupun, aku pernah mendengar kalau warna ungu adalah warna iblis. Tetapi, melihat Naira aku merasa bahwa gadis itu lebih tepat disebut Malaikat.

Aku tau, kalau aku terlalu cepat berasumsi bahwa gadis pemilik warna iblis itu adalah seorang malaikat. Sifat egoisnya dan sikap semaunya sendiri itu memang terkadang sangat mengesalkan. Tetapi, aku tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa Naira memang gadis yang imut dan sangat cantik.

Dan di balik ke-egoisan-nya gadis itu sangat penyayang. Dia baik dan selalu peduli dengan sekitarnya. Ketika kemudian dia mengajukan permintaan untuk menjadi tunanganku, sebenarnya aku sendiri sama sekali tidak keberatan.

Aku memang tidak menyukai gadis itu sebesar rasa yang ia tunjukkan kepadaku. Tetapi, melihatnya merengek seperti itu, entah kenapa membuat Ayahanda dan juga aku terenyuh. Dengan syarat pertunangan tersebut akan dilaksanakan tepat pada hari ulang tahunku.
Aku yang berpikir bahwa perasaan gadis cengeng dan manja itu tidak akan pernah berubah walau bagaimanapun aku memperlakukannya. Telah melakukan kesalahan besar.

Aku terbaring dengan tatapan kosong di atas ranjang dalam kamarku. Entah kenapa, aku merasa malam ini aku tidak bisa merasakan apa-apa. Setelah kejadian hari itu, aku tidak bisa berhenti memikirkan Naira.

Aku ... apa aku sudah mulai memiliki perasaan khusus terhadap gadis manja itu? Perasaan ini ... benar-benar sangat menyebalkan.

gerutuku dalam hati, kesal. Aku masih terlentang di atas tempat tidur membuang pandangan dan seluruh pikiran yang tengah kusut di dalam kepalaku ini keluar jendela. Langit malam yang temaram, bersih tak berawan. Memamerkan keindahan kilau bintang yang tengah mengerumini rembulan.

Melihat bagaimana bulan penuh itu dikelilingi oleh para bintang seolah menertawakanku. Aku bangkit lalu berlari kearah jendela untuk menarik korden, agar aku tak lagi perlu melihat pemandangan yang membuatku kesal.

"Menyebalkan ...." Gerutuku lagi kini dengan suara yang cukup keras.

Wajah Naira kembali muncul dalam kepalaku. Kali ini bukan wajah anak manja dan cengeng yang selalu mengikuti kemana aku pergi. Tapi wajah yang tersenyum anggun, tatapan mata yang jernih dan tutur katanya yang dewasa. Perubahan Naira yang sangat drastis itu, semakin membuatku tertarik.

Haruskah kuabaikan permohonan Naira dan tetap melanjutkan rencana pertunangan kami, di pesta ulang tahunku nanti? Apakah dia tidak akan merasa kecewa dan membenciku?

"Dia ... tidak akan membenciku, kan?" tanyaku ragu pada diri sendiri.

Tidak ... aku tidak boleh bersikap egois dan kekanak-kanakan seperti itu. Tidak ... biarpun aku tidak ingin kehilangan dia. Tapi, aku tidak boleh menghancurkan harapannya.

My Precious Lady VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang