"Mengapa kamu nelpon aku malam ini?" tanya Agni setelah dia bicara belasan menit tanpa henti tentang cuaca—seperti permintaan Pendar. Dia menceritakan bagaimana puisi Keats mengingatkannya pada hari yang menyenangkan di masa kecilnya.
"Give me books, French wine, fruit, fine weather and a little music played out of doors by somebody I do not know," Agni membacakan tiap kata-kata seolah dia benar-benar menginginkan itu. Dia memang menginginkan itu dan sebagian dia miliki; buku, buah, cuaca yang bagus—French wine bisa diganti teh dan musik yang dimainkan di luar pintu rumahmu oleh seseorang yang tidak kamu kenal, bisa diganti dengan musik dari radio. Lalu dia bercerita tentang cuaca di pegunungan ini yang selalu saja sejuk dan membuatnya ingin berlama-lama di tempat tidur.
Ketika Agni bertanya bagaimana dengan cuaca di Jakarta, Pendar menjawab, "Yaaa ... Jakarta. Selalu ... begitu."
Agni tertawa. Jawaban Pendar memang tidak memuaskannya tapi bukan itu yang membuatnya tertawa dan Agni menjawab ketika Pendar menanyakan itu dengan suaranya yang terdengar penasaran.
"Karena di kalimat yang kamu ucapkan tadi, kalau dituliskan, itu harus dengan dua elipsis," jawabnya.
"Apanya yang lucu tentang elipsis?" tanya Pendar, "dan apa itu elipsis?"
Agni tertawa lagi. Namun dia menghentikan tawa itu dengan setelah beberapa detik dan menjawab dengan detail apa yang ingin lelaki itu tahu.
"Elipsis itu, buatku, menunjukkan tentang sesuatu yang enggak terlalu diyakini kalau di dalam dialog. Si pembaca dialog itu enggak yakin dengan apa yang dia ucapkan karena itu dia perlu memberi jarak dari satu kata ke kata lainnya dan spasi enggak bisa melakukan itu," terangnya. Dia meneguk tehnya yang mulai dingin, membasahi tenggorokannya, dan kembali menjawab, "Kalau di luar dialog, bisa jadi itu untuk memberikan pregnant pause atau semacam jeda untuk menyusupkan ketegangan. Elipsis itu tentang jeda, mungkin untuk berpikir, mungkin untuk sengaja mengosongkan ruang."
Pendar tidak memotong selama Agni menjelaskan. Dia terdiam saja dan Agni mengartikan itu sebagai; dia mengerti.
"Kok, kamu ngerti itu?" suara Pendar terdengar pelan. "Apa kamu semacam guru bahasa?"
"Bukan," jawab Agni singkat. Dia mulai merasa pembicaraan ini satu arah dan dia tahu kalau Pendar pun merasakan hal yang sama. Namun dia tidak ingin membawanya ke arah yang lebih personal. "Mengapa kamu nelpon aku malam ini?"
Agni yakin pertanyaan ini akan membuat Pendar bercerita lebih banyak dibandingkan dengan beberapa menit yang lalu dan tidak akan ada lanjutan lagi pembicaraan tentang cuaca dan elipsis.
"Hmmm ... karena malam ini aku enggak ada kerjaan," jawab Pendar. "Apa setelah aku bilang 'hmmm' tadi, jedanya itu, kalau dituliskan perlu tiga titik di antaranya? Itu elipsis?" tanyanya.
"Iya," jawab Agni, "dan jangan bicarakan tentang elipsis lagi. Kamu sudah mengerti. Jawab pertanyaanku lebih panjang."
"Oh, okaaay."
Ada jeda sebentar dan Agni mendengar suara Pendar meneguk minuman—mungkin itu teh yang dia seduh di awal telepon mereka tadi. Yang membuat pembicaraan mereka harus berjeda.
"Aku enggak ada kerjaan malam ini dan sendirian di rumah. Jadi, aku pikir, mungkin kalau aku mencoba meneleponmu. Aku bisa bicara denganmu. Aku hanya bisa berharap, sih. Soalnya, setelah aku pikir-pikir, memang agak menyeramkan, ya, kalau ada orang yang enggak dikenal menelepon ke rumahmu dan mengajakmu bicara ini-itu. Bukan masalah pembicaraannya, tapi tentang teleponnya." Jawaban Pendar panjang dan Agni mendengarkan bagaimana lelaki itu membuat kalimat, merangkaikan logika. Pikirannya runut dan teratur.
"Iya, ini menyeramkan," timpal Agni. "Apa kita sudahi saja telepon ini?"
"Ja—jangan!" Pendar mencegah dengan cepat. "Aku enggak jahat. Aku beneran cuma enggak ada kerjaan dan aku enggak tahu lagi harus apa."
"Kamu bisa nonton tivi," jawab Agni memberikan usul.
"Ah, itu membosankan."
"Main dengan teman-temanmu."
"Hmmm...."
"Kenapa 'hmmm'?"
"Boleh enggak, kalau pertanyaan itu enggak dijawab?" tanya Pendar.
"Kenapa begitu?"
"Karena kamu juga enggak mau menjawab pertanyaan tentang pekerjaanmu. Itu bukan karena pekerjaannya kurang keren, kan?"
"Bukan," jawab Agni. Dia tersenyum dan kemudian tertawa—dia tidak bisa menahan tawanya. Baru kali ini ada yang menyangka bahwa dia tidak mau menjawab tentang pekerjaannya karena menyangka pekerjaan itu kurang keren. Seandainya itu benar, tentu akan jauh lebih mudah untuknya. "Bukan, bukan itu."
"Terus?" desak Pendar.
"Karena kita ini masih asing dan urusan pekerjaan itu personal?"
"Oh, okay," dari suaranya, Agni tahu kalau Pendar menyetujui pendapatnya.
"Perlu berapa kali menelepon lagi sampai aku enggak jadi orang asing buatmu?" tanya Pendar. Suaranya terdengar serius.
"Menurutmu berapa?" Agni balik bertanya karena konsep menjadikan seseorang tidak asing lagi dengan memenuhi sekian banyak kuota bicara terasa agak tidak masuk akal buatnya.
"Lima?" tanya Pendar. "Dan di telepon berikutnya, aku bisa menanyakan hal lain di luar cuaca?"
"Bahkan aku belum selesai membicarakan cuaca denganmu. Kita sudah menelepon lewat satu jam padahal."
Terdengar suara tawa Pendar.
"Aku yang belum menceritakan tentang cuaca di sini, ya?"
"Iya."
"Bagaimana kalau aku ceritakan sekarang?"
Agni mengambil satu kue sus dan menggigitnya sambil bersiap mendengarkan cerita Pendar.
"Kamu makan?" Pendar mendengar itu, ternyata.
"Kue sus."
"Apa kita bisa cerita tentang kue sus yang kamu makan di telepon ini?" tanya Pendar lagi.
"Bisa," jawab Agni. Dia menggigit lagi kue susnya. "Apa yang ingin kamu tahu? Rasanya?"
"Apa saja. Kalau tentang cuaca saja panjang sekali yang kamu ceritakan, apalagi tentang kue sus."
"Ceritakan dulu tentang cuaca di sana, nanti aku balas dengan cerita tentang kue sus."
"Oh, baiklah!" Pendar pun mulai bercerita. "Tapi, aku enggak bisa mengutip puisi, aku enggak terlalu suka baca puisi."
"Kutip yang lain, kalau begitu."
"Prakiraan dari BMKG untuk hari ini?"
"Ah, itu kutipan yang bagus!" Agni tertawa. "Pembicaraan ini menyenangkan!" katanya kemudian. Dia menggigit lagi kue susnya. Gigitan terakhir. Sebelum akhirnya dia memasukkan semua ke mulutnya.
Di luar malam pun semakin menghitam.
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...