"Jadi kenapa lo putus?"
"Gue diputusin. Ditinggalin."
"Gitu doang?"
"Iya."
"Apa serunya?"
Pendar mengangkat wajahnya dan menatap Oki yang sedang memasukkan sepotong opera cake yang ada di ujung garpu ke mulutnya. Dia sudah duduk hampir satu jam berhadapan dengan gadis ini dan sudah tiga kali pelayan mendekati meja mereka untuk melayani pesanan Oki.
"Gue udah empat tahun pacaran sama dia."
"Iya, apa serunya? Gitu doang."
"Lo makan kayak quick sand nelen orang," komentar Pendar setelah dua gelas jus dan empat potong kue tandas oleh Oki.
"Ini karena gue sayang sama otak gue, cuy. Gue memberi asupan makanan agar dia terus bisa berpikir dengan lancar," alasannya. "Walaupun setelah semua ini," dia menunjuk tumpukan piring kecil bekas tempat meletakkan potongan kue, "gue belum juga bisa berpikir apa yang bisa kita buat."
"Suara lo cempreng," komentar Pendar. "Ganggu."
"Suara lo bagus, kok. Kedengeran kayak orang yang sok bijak padahal suka ngatain orang lain."
Pendar mendelik.
"Serius ini," Oki balik mendelik. "Itu pujian."
Mereka terdiam lagi. Terpaku pada layar laptop masing-masing. Pendar tidak mengerjakan apapun sedari tadi. Dia melihat-lihat Youtube, sosial media, dan sesekali membuka tautan berita yang dia dapat dari Twitter. Dia berusaha mencari nama Agni di semua sosial media yang terpikir olehnya, tetapi tidak dia temukan. Nama Agni dengan profesi penulis itu tidak ada. Dia mengingat cerita Agni tentang dia yang dikenali di pasar yang letaknya di luar kota. Dari sana dia menyimpulkan kalau Agni seharusnya terkenal. Agak aneh memang kalau sampai dia tidak menemukan apa pun. Kemungkinannya dua; gadis itu memakai nama pena atau berbohong padanya. Pendar lebih suka kalau itu kemungkinan pertama. Dia merencanakan untuk menanyakan hal ini pada Agni kalau mereka bicara nanti. Namun ini juga membuat Pendar kuatir. Sudah tiga malam berturut-turut Pendar mencoba menghubungi Agni dan tidak pernah diangkat.
Dia pun jadi berpikir, apa gadis itu takut padanya dan memutuskan untuk tidak bicara lagi dengannya?
Setiap malam, Pendar berusaha sampai di rumah sebelum jam sembilan. Mencoba menelepon Agni sampai jam sepuluh—kemarin bahkan sampai jam sebelas malam—sambil mengerjakan tugas atau membaca buku. Dia kuatir. Lebih dari itu; dia rindu.
Dia ingin mendengar suara Agni dan bercerita tentang sulit dan kompleksnya patah hati.
"Gue mau tanya sesuatu dan gue berharap lo menjawab dengan jujur," pinta Oki memutus rentetan pikiran Pendar tentang Agni. "Ini personal matters, sih. Tapi gue pensaran aja. Ini juga karena dari kemarin lo terus-terusan ngasih update tentang cerita putusnya elo."
"Okay. Shoot."
Oki menutup laptop, meneguk sisa es tehnya sampai habis, lalu memandang ke arah Pendar dengan tatapan serius. Pendar sempat menganggap kalau pertanyaan yang akan ditanyakan Oki itu begitu penting, tetapi yang kemudian dia dengar....
"Lo kalau enggak punya teman curhat selama lo patah hati, gue siap mendengarkan. Lo punya tempat curhat enggak? Soalnya menurut gue, kondisi lo mengkuatirkan."
"Mengkuatirkan gimana?"
"Hampir sejam kita duduk di sini dan lo keliatan gelisah. Terus lo ungkit-ungkit tentang mantan lo. Terus lo gelisah lagi. Kadang lo ngeliat ke arah jendela dengan tatapan kosong. Gue emang enggak ahli pacaran, sih. Punya pacar aja enggak pernah. Ini pilihan pribadi, ya ... gue enggak mau ribet. Enggak mau keliatan kayak orang enggak waras kalau ada apa-apa. Kayak lo ini." Oki menjelaskan dengan suara yang lebih tenang dan rendah dibanding biasanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...