17. Bracket [ [] ] Part-3

13 4 0
                                    

 Papa berkata kalau Pendar tidak boleh membenci Om Anton karena dia tidak melakukan apa pun.

Apa pun.

Pendar tidak memahami itu sampai sore tadi, ketika dia datang ke apartemen Papa dan bicara banyak dengan lelaki itu. Apartemen itu kekurangan barang. Hanya ada satu sofa di ruang tamu dengan satu meja kopi, lalu tempat tidur, dan peralatan dapur yang dia bawa dari rumah. Mama meminta Papa mengambil beberapa barang yang dia akan perlukan untuk memasak yang sederhana saja. Papa menyetujuinya dan Pendar yang mengepak barang-barang itu. Dia bukan datang untuk bicara, tapi untuk memastikan kalau lelaki itu tahu caranya hidup sendiri. Setidaknya, tahu caranya mengeluarkan barang-barang dari kardus dan menyusunnya.

Sayangnya, dia tidak tahu. Pendar pun sebenarnya tidak tahu—kalau saja Mama tidak memintanya melakukan itu dengan langkah-langkah yang sangat jelas, "Periksa barang-barang di kardus! Susun di tempat yang seharusnya, dan kalau tidak ada tempatnya, minta papamu membeli perabotan baru!"

"Om Anton masuk ke pernikahan kalian dan menghancurkannya, itu yang selama ini aku tahu, Pa," ujar Pendar dengan dua kotak kecil berisi sepatu di tangannya. Dia harus meletakkan kotak itu di kloset pakaian, tapi di sana sudah penuh dengan baju-baju yang dimasukkan sembarangan. Pendar terdiam lama di depan kloset itu dan berpikir untuk membeli sebuah lemari khusus untuk menyimpan sepatu dan barang-barang yang lain. Papa mengeluarkan bedcover dan selimut dari kardus yang lain.

"Kita harus beli satu lemari atau rak," usulnya. Dia meletakkan kedua kardus itu di lantai dan menunjuk ke bedcover yang dipegang papanya. "Untuk menyimpan barang-barang seperti itu juga."

"Kapan mau beli?" tanya Papa. "Sekarang?"

"Online saja, ya."

"Apa kamu enggak mau keluar? Jalan-jalan? Lagian, kalau beli online, susah juga membayangkan bagaimana rupanya barang itu kalau diletakkan di apartemen ini."

Tawaran itu Pendar terima. "Okay."

"Om Anton enggak pernah melakukan apa pun yang salah," kata Papa ketika dia mengambil sepasang sepatu dari dalam kardus di dekat kloset dan memutuskan untuk memakainya.

Pendar terdiam. Pernyataan itu tidak masuk di akalnya. "Tapi, dia menjalin hubungan dengan Mama sebelum kalian berpisah." Dia memberikan penekanan di kata 'sebelum' karena memang itu yang terjadi.

"Kami sudah lama berpisah. Kamu yang enggak tahu. Pernikahan itu rumit, Pendar," jelasnya.

Papa lalu berjalan ke ruang tamu diikuti oleh Pendar yang masih kebingungan, tapi mereka tidak melanjutkan pembicaraan itu. Papa mengunci pintu dengan diam, mereka berjalan di koridor dengan diam, dan masuk ke mobil di basement parkir juga dengan diam.

"Ada yang enggak kamu tahu." Ini kalimat pertama yang dia ucapkan setelah mereka lebih setengah jam di dalam mobil dan terjebak macet tanpa bicara.

"Aku ingin tahu," kata Pendar. "Aku ingin tahu agar aku bisa paham. Serumit apa, sih?"

"Papa bingung harus menjelaskan dari mana."

"Dari mana saja. Aku akan berusaha paham."

Jalanan sore itu padat sekali karena akhir pekan. Mereka punya waktu lebih dari satu jam untuk bicara di mobil ini karena lambatnya perjalanan. Namun pendar tidak ingin banyak menunggu. Satu jam itu tidak lama untuk cerita yang panjang.

"Pa, ceritakan," pintanya.

Mobil mereka melewati lampu merah dan berbelok ke arah pusat kota.

"Kami dijodohkan. Apa kamu sudah tahu itu?" tanya Papa.

"Tahu," jawab Pendar, "Mama pernah cerita itu dan dia sepertinya senang sekali dijodohkan dengan Papa."

"Senang karena kami sama-sama sudah melewati batas umur yang membuat orangtua kami kuatir. Papa sudah lewat tiga puluh waktu itu dan mamamu, mungkin sedikit lagi tiga puluh."

"Orang dulu itu aneh. Menikah dibatasi umur."

Papa tersenyum.

"Itu lebih sederhana daripada yang kamu kira. Orangtua memahami bahwa menikah itu membuat seseorang bahagia dan mereka ingin anak-anaknya bahagia. Itu saja."

"Tapi Papa enggak bahagia? Jadi pemahaman itu salah?" tanya Pendar.

Papa terdiam sebentar. Berpikir.

"Bukan karena itu. Pemahamannya enggak salah. Menikah memang membuatmu bahagia, kok. Hanya saja, kami enggak berhasil membuat pernikahan itu berjalan seperti yang kami mau."

"Terdengar agak klise jawabannya," ujar Pendar. "Pasti bukan itu permasalahannya."

"Memang bukan."

"Lalu apa?"

"Hati."

Jawaban itu membuat Pendar terdiam beberapa lama.

"Hati?" tanyanya memastikan kalau dia tidak mendengar kata yang salah tadi.

"Iya. Hati," ulang Papa.

"Apa karena Om Anton?"

"Bukan."

"Jadi bukan karena Mama jatuh cinta pada Om Anton di tengah pernikahan kalian?" Pendar ingin memastikan hal ini sekali lagi.

"Bukan. Om Anton itu datang karena pernikahan kami membuat kesepian yang kami rasakan makin menjadi-jadi. Begitu juga dengan perasaan enggak bahagia tadi."

Pendar memikirkan perkataan Papa.

"Jadi ... Papa yang duluan jatuh cinta pada entah siapa di tengah pernikahan kalian?" tanyanya.

"Enggak. Itu enggak pernah terjadi."

"Jadi, sebelumnya? Sebelum kalian menikah?"

"Iya."

"Lalu kenapa kalian menikah? Kenapa Papa enggak nikah sama perempuan itu?"

"Karena dia enggak mau."

"Kenapa?"

"Ceritanya panjang."

"Macetnya juga panjang, Pa. Tenang aja."

Di depan mereka barisan mobil masih sangat panjang sementara lampu merah tidak terlihat sama sekali.

Papa menarik napas panjang dan menghembuskannya.

"Baiklah," jawabnya. "Kamu mungkin memang perlu tahu."

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang