Agni bilang kalau Pendar bisa menanyakan tentang hal yang lebih pribadi—misalnya pekerjaan—di telepon kelima. Namun gadis itu bercerita tentang pasar, jamur, dan dia yang menangis di depan hamparan mangga. Buat Pendar ini hal pribadi dan ini baru telepon ketiga—dan tentu saja, dia tidak akan mengingatkan Agni tentang perkataannya tempo hari itu. Dia juga berharap Agni tidak mengingatnya.
"Menangis? Di tengah pasar?" tanya Pendar. Dia sudah menarik kabel sambungan telepon hingga dia bisa menelepon sambil duduk di sofa.
Terdengar suara napas Agni, hening beberapa saat, kemudian suaranya yang membelokkan cerita ke arah lain.
"Menurutmu, aneh enggak rasanya kalau ada orang yang mengenalimu di tempat yang kamu pikir, enggak ada yang tahu siapa dirimu?" tanyanya.
Pendar terdiam beberapa lama. Berpikir. Bukan tentang jawaban apa yang bisa dia berikan kepada Agni, tapi tentang siapa gadis itu sebenarnya. Dia bertanya tentang orang yang mengenalinya di tempat yang dia pikir, tidak akan ada yang tahu siapa dirinya. Pendar ingin menebak kalau Agni bukan orang biasa. Setidaknya, dia terkenal.
"Apa kamu terkenal?" tanyanya. "Terkenal banget, gitu?"
"Enggak—enggak seperti itu," jawab Agni cepat. "Bukan seperti pemain film atau penyanyi. Aku bukan keduanya."
"Lalu apa?" tanya Pendar hati-hati sambil berdo'a kalau Agni akan menjawab.
"Penulis," jawabnya.
"Ah," sahut Pendar pelan, "kamu penulis terkenal."
Lalu hening lagi beberapa lama.
"Kalau kamu pikir aku mengenalimu, itu salah," Pendar tertawa, "aku enggak suka membaca. Jadi ... aku enggak tahu nama-nama penulis walaupun dia terkenal sekalipun."
"Jadi, kamu enggak pernah mendengar namaku? Atau baca novelku?" tanya Agni.
Pendar tidak tahu apakah jawaban 'tidak' akan membuat Agni senang atau dia malah merasa sedikit tersinggung. Dia memutuskan untuk menjawab apa-adanya, "Enggak. Tapi, pacarku suka baca. Dia mungkin kenal kamu."
"Aku enggak seterkenal itu, sih," ujar Agni.
"Seterkenal apa?" tanya Pendar.
"Bisa kita lewatkan saja pembicaraan tentang seberapa terkenal ini? Kamu, kan, sudah tahu pekerjaanku. Sekarang gantian, ceritakan tentang pekerjaanmu," pintanya.
Pendar merasakan ada nada tidak nyaman di suara Agni ketika membelokkan pembicaraan sekali lagi. Pendar menjawab apa yang gadis itu tanyakan agar mereka tidak kehilangan bahan pembicaraan. Dia tidak ingin telepon ini cepat berakhir.
"Hmmm ... aku belum bekerja," jawabnya, "masih kuliah. Harusnya tahun depan lulus kalau aku serius mau menyelesaikannya." Pendar terdiam. Tidak ada hal menarik yang bisa dia ceritakan tentang kuliahnya dan dia pun berpikir untuk membawa obrolan ini ke topik awal. Dia pun menjawab apa yang ditanyakan Agni sebelum ini.
"Aku enggak terkenal, sedikit pun enggak. Di kampus aku punya banyak kenalan, beberapa teman, satu sahabat, satu pacar, dan sisanya orang asing. Jadi, aku enggak bisa menjawab pertanyaanmu tadi. Sayangnya.... Aku enggak bisa menceritakan pekerjaanku."
Pendar merasa Agni tidak lagi tertarik dengan apapun jawabannya karena dia kemudian dia lebih tertarik dengan hal lain.
"Kenapa kamu membagi orang-orang jadi seperti itu?" tanyanya.
"Seperti apa?"
"Kenalan, teman, sahabat, pacar, dan orang asing?"
"Karena memang sudah seharusnya begitu, bukan?" Pendar balik bertanya. "Aku suka membuat klasifikasi orang-orang yang ada di sekelilingku. Di hidupku. Untuk memberi batas dan biar aku bisa adil juga memperlakukan mereka."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...