Pendar terbangun karena mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Kepalanya berat dan terasa sedikit sakit. Semalam dia pulang larut dan tidur tanpa mengganti baju dan membuka kaos kakinya—kebiasaan yang tidak disukai Mama. Dia berjalan ke arah pintu kamar dan menendang tasnya yang tergeletak di lantai. Dia lupa belum mengeluarkan ponsel, laptop, dan buku dari sana. Kalau tendangannya keras, semoga tidak ada satu pun dari benda yang ada di dalam tasnya itu rusak. Namun sekarang, dia tidak ingin memikirkan itu karena semalam, seingatnya, dia tertidur bukan hanya karena lelah setelah perjalanan panjang; dia juga menangis. Dia menangis sampai ketiduran. Kalau saja Andri sampai tahu hal ini, dia pasti akan menjadikan Pendar bahan ledekan sampai setahun ke depan.
Pendar membuka pintu kamar dan melihat Mama menyilangkan tangan di dada dengan wajah cemberut.
"Dari mana kamu semalam?" tanyanya.
"Lembang," jawab Pendar. Dia tidak bisa berbohong pada Mama, jadi sekalian saja dia katakan yang sebenarnya.
"Andri menunggumu semalaman. Dia tidur di ruang tengah. Memang kamu enggak melihat dia waktu pulang semalam?" tanya Mama dengan suara tinggi.
"Enggak," jawab Pendar.
"Lula juga bolak-balik telepon Mama. Lalu ada satu lagi, perempuan, ah, Mama lupa siapa namanya. Dia teman kelompok proyek tugas membuat apps-mu di kampus. Katanya kamu menghilang dua hari."
"Oki?"
"Bukan. Namanya bukan Oki. Semacam Laras atau apa gitu."
"Aku enggak kenal nama itu," ujar Pendar.
"Kalau kamu enggak kenal, kenapa dia menelepon ke ponsel Mama? Kenapa dia kalut nyariin kamu?"
"Enggak tahu aku, Ma. Kepalaku sakit."
Pendar membuka pintu kamarnya lebih lebar dan kembali duduk di atas ranjang. Mama masuk dan dengan tangan masih terlipat di depan dada, melanjutkan omelannya.
Andri terlihat berdiri di depan pintu kamar Pendar dengan wajah yang masih mengantuk. Dia masuk dan duduk di samping Pendar yang juga kelihatan sama mengantuknya.
"Kalian berdua, ceritakan ini ada apa?" perintah Mama. Pendar tidak bisa mengelak kalau Mama sudah mengatakan sesuatu dengan suara setinggi itu, tetapi dia sendiri tidak tahu harus menceritakan apa karena dia memang tidak mengingat apa pun. Yang dia ingat hanya badannya yang lelah karena pulang dini hari. Itu saja. Dia bahkan tidak bermimpi malam tadi—saking lelahnya.
"Gue nyariin lo seharian. Lula juga," ujar Andri. Dia mengucek matanya dan Pendar mendorong bahu temannya itu menjauh dari tubuhnya.
"Lo belum gosok gigi, kan!"
"Lo juga belum," balas Andri.
"Ceritakan dulu ini ada apa?" ulang perempuan itu lagi. Sekarang sambil menarik kursi meja belajar Pendar ke depan mereka berdua dan duduk dengan kaki disilang.
"Aku nyariin Pendar karena teman sekelompoknya itu, juga nyariin dia."
"Oki?" tanya Pendar.
"Laras!" jawab Andri. "Kok Oki, sih?"
"Kok lo kenal, sih?" Pendar bertanya dengan heran.
"Gue, kan, lagi pendekatan sama dia.... Masak gue harus ngasih detail kayak gitu, sih, di depan nyokap lo?"
Andri tersenyum canggung ke arah Mama yang melihat ke arah mereka berdua dengan pandangan tajam.
"Laras?" tanya Pendar bingung. Dia bangkit dan mengambil ponsel dari tasnya dan menyalakan benda yang baterainya hanya tinggal beberapa belas itu. Dia mencari pesan-pesan yang dikirimkan Oki padanya; tidak ada. Yang dia lihat malah banyak sekali pesan dari seseorang bernama Laras.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
Любовные романыSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...