"Sorry, yaaa...."
Suara itu terdengar lembut di telinga Pendar. Dia menarik napas dalam-dalam. Sulit untuk mengabulkan permintaan Lula yang satu itu karena—iya, dia tahu—karena dia egois. Dia ingin bertemu dengan gadis itu besok. Hanya itu yang dia inginkan dan tunggu sepekan belakangan.
"Jadi, kapan lagi kita bisa ketemu?"
Lula terdiam sebentar. Pendar membayangkan dia membuka aplikasi kalender di ponselnya untuk melihat jadwal dan janjinya yang lain. Mencari tahu apa dia bisa disusupkan di antara jadwal dan janji itu. Pendar menunggu. Dia duduk diam di kursi meja belajarnya dengan layar laptop yang sudah berubah menjadi hitam. Tangan kanannya memainkan pensil, mencoba menggambar hal-hal tidak penting di binder notes yang ada di depannnya. Dia baru saja akan menambahkan sepasang mata ke gambar burung yang dia buat ketika Lula menjawab.
"Enggak bisa dalam waktu dekat kayaknya."
"Tapi, aku kangen," Pendar mengatakannya pelan sambil menahan kecewa.
"Aku juga," balas Lula singkat dan terasa dingin di telinga Pendar.
Mereka lalu terdiam. Pendar memikirkan untuk mengalihkan pembicaraan mereka ke hal lain saja. Dia menoleh ketika pintu kamarnya dibuka dan mamanya muncul dari arah luar. Tersenyum manis dan menanyakan apakah Pendar sudah ingin makan.
"Mama masak sup ayam dan balado kering tempe, Sayang," ujarnya.
Pendar menggeleng cepat, "Nanti, Ma. Belum laper."
"Biar kita bisa makan ba—"
Ucapan mamanya itu langsung dipotong cepat oleh Pendar, "Aku lagi nelpon Lula, Ma."
"Oh. Okay," sahut mamanya. "Nanti kalau udah laper, langsung ke bawah, ya. Makan. Jangan ditunda. Jangan ditunggu sampai laper banget. Salam buat Lula. Udah lama banget dia enggak main ke sini."
Lalu mamanya menutup pintu dan pergi.
"Mama ngirim salam," kata Pendar pada Lula yang ternyata mendengar obrolan dia dan mamanya karena kemudian gadis itu bertanya, "Ada pacarnya mamamu, ya, di bawah?"
"Iya. Ada Om Anton."
Menyebutkan nama orang itu saja membuat lidah Pendar terasa kelu dan pahit.
"Pantesan kamu enggak mau ikut makan bareng," ujar Lula lagi.
"Cuma enggak pengen kehilangan selera makan, La," alasan Pendar. Lula sudah tahu betapa dia ingin menghindari mamanya dan Om Anton setiap kali ada kesempatan. Dia bahkan tidak ingin melihat kedua orang itu ada di ruangan yang sama.
Pendar mengalihkan pembicaraan.
"Jadi, apa acaramu Sabtu besok?" tanyanya pada Lula yang sepertinya juga tidak ingin melanjutkan pembicaraan tentang Mama—dan pacar mamanya.
"Ada diskusi buku di public library," jawabnya. Pendar bersiap untuk jawaban lebih panjang karena dia tahu 'buku' dan 'perpustakaan' adalah dua kata yang sangat disukai Lula.
"Terus?" tanya Pendar tidak sabaran. Mungkin setengah dari ketidaksabarannya ini karena dia ingin mendengar suara Lula bercerita tentang banyak hal, apa pun, yang tidak dia sukai dan mengerti pun tidak mengapa asalkan gadis itu terus bicara. Setengahnya lagi, dia sudah mengakuinya tadi, itu tentang rindu yang tidak tertahan.
"Kamu tahu, kan, tentang Pijar Jingga?" tanya Lula.
Pendar menggeleng. Dengan cepat dia menjawab, "Enggak, siapa dia?" Pendar baru sadar kalau Lula tidak akan melihat gelengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...
