5. Apostrophe ['] Part-2

25 5 0
                                        

 Malam itu gerimis bertahan turun sampai mereka selesai makan malam. Pendar mengambil payung yang dia selalu simpan di mobilnya sementara Lula menunggu di depan restoran. Berteduh sendirian di bawah kanopi berwarna merah. Pendar tetap berkeras ingin berjalan beberapa blok ke kios es krim. Mereka selalu melakukan hal ini setiap kali kencan—kali ini pun harusnya begitu karena bagi Pendar, es krim setelah makan malam itu sudah jadi ritual. Lula menolak awalnya. Dia ingin cepat pulang saja karena lelah.

"Masih jam delapan lewat, La," Pendar memberi alasan. "Masih kesorean buat pulang."

Lula mengangkat bahunya. "Aku capek," jawabnya singkat.

"Sebentar aja, ya. Yuk," bujuk Pendar.

"Hujan."

"Gerimis. Aku ambil payung."

Lula pun tidak lagi bisa menolak.

Aspal memantulkan warna kuning lampu jalan dan warna-warni neon box. Pendar memegang tangkai payung dan sesekali menjulurkan tangannya keluar dari lindungan payung, membiarkan tetes gerimis membasahi telapaknya.

"Cerita dong, La," pinta Pendar setelah mereka berjalan hampir dua blok tanpa bicara.

"Apa?" gadis itu balik bertanya.

"Kita udah lama, loh, enggak kayak gini."

"Kayak gini gimana maksudmu?"

Suara Lula meninggi. Pendar terdiam. Kalau dilanjutkan, bisa jadi mereka akan menghabiskan malam ini dengan bertengkar atau paling minimal, Lula yang jadi sebal padanya.

Mereka berhenti di depan perempatan. Pendar menekan tombol untuk menyeberang. Beberapa orang berdiri di samping mereka.

"Kita udah lama enggak keluar makan, jalan-jalan, have fun," jawabnya. Kemudian dia terdiam dan Lula pun tidak menanggapi. Pendar menoleh ke arah gadis itu ketika dia berkata pelan, "Aku kangen kamu."

Lula masih terdiam.

Lampu penyeberangan berganti putih. Mereka menyeberang dalam diam.

* * *

Pendar mengingat bahwa semua masih terasa mudah beberapa waktu yang lalu, sebelum Lula lulus, mendapat pekerjaan, dan mulai sangat sibuk. Sebelumnya mereka pun sangat sibuk dan perlu usaha untuk hanya sekadar bertemu. Namun akhir-akhir ini, pertemuan itu menjadi sangat jarang dan kalaupun terjadi, Lula terasa—bagi Pendar—seperti setengah hati. Dia memacu mobilnya lebih cepat. Jalanan menuju rumahnya sudah sangat sepi. Ketika berhenti lampu merah, dia mengambil ponselnya dan menekan speed dial nomer satu, lalu menunggu beberapa saat. Teleponnya tidak diangkat. Dia mencoba lagi dua kali, masih sama. Lampu berubah hijau, dia kembali memacu mobilnya.

Pendar turun dan membuka sendiri pagar rumah dengan kunci yang selalu dia bawa. Dia tidak ingin merepotkan siapa pun yang ada di rumah untuk urusan yang dia bisa selesaikan sendiri. Dia kembali masuk, memarkir mobilnya di depan garasi tanpa memasukkannya. Pintu garasi itu tertutup dan lampunya sudah dimatikan. Dia berjalan ke arah pintu ruang tamu ketika melihat dari arah gudang belakang, terlihat kerlip cahaya. Dia mengurungkan niatnya untuk masuk dan menuju ke sana.

Sosok lelaki itu berdiri di depan tumpukan kardus yang masih terbuka. Pendar terdiam di depan pintu gudang tanpa mengatakan apa pun tapi lelaki itu melihatnya dari ujung matanya.

"Baru pulang?" tanyanya.

"Iya, Pa," jawab Pendar. "Masih bebenah? Ada yang mau dibantu?"

"Enggak," jawabnya.

Dia lalu menunjuk ke arah lemari kayu tua yang kedua pintunya terbuka lebar. "Cuma mau membereskan barang-barang di sana. Kebanyakan barang usang. Mungkin lebih baik dibuang atau dibakar."

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang