41. Hypen [ - ] Part-3

14 4 0
                                        

 Pendar bilang semalam kalau mereka sudah selesai. Semua rekaman tinggal diedit dan di-mixing. Dia juga bercerita tentang banyaknya orang yang mendengarkan Agni bicara tentang cinta, patah hati, kesepian, dan hal-hal rumit lain dengan cara yang sederhana.

"Mungkin karena kamu banyak membaca, menulis, observant, makanya semua jadi bisa kamu jelaskan ulang," ujar Pendar. "Dua puluh ribu pendengar untuk satu episod yang sudah rilis itu banyak, loh, Agni. Ini dibantu dengan aku dan Oki yang memang mempromosikan podcast ini di semua grup jurusan dan fakultas yang ada di kampus. Dibantu sama temen-temen juga, sih."

"Iyakah?" tanya Agni.

Dia tidak paham perhitungannya, jadi dia memilih untuk percaya saja pada apa pun yang Pendar katakan.

"Banyak yang bilang kalau suaramu menyenangkan, enggak terburu-buru. Aku pun merasa begitu," tambah Pendar.

"Bagaimana itu suara yang terburu-buru?" Agni tidak mengerti.

"Suara yang seolah kamu ingin pembicaraan dengan lawan bicaramu cepat berakhir," jawab Pendar. "Sisa pekerjaannya tinggal upload sisa episodnya, lalu menunggu perhitungan pendengar yang streaming dan download, terus ... yaaa, membuat analisa apakah proyek ini berhasil atau enggak."

Lagi-lagi Agni tidak terlalu mengerti dan dia hanya terdiam mendengarkan. Dia tidak ingin bertanya terlalu banyak tentang hal teknis seperti itu karena dia yakin, Pendar tahu apa yang dia lakukan.

"Tulisanmu bagaimana?" tanya Pendar.

"Sudah mau selesai. Tapi draf ini berantakan sekali. Penuh coretan, ini dan itu. Mungkin pekan ini aku mau edit sedikit sambil diketik ulang," jawabnya. "Syal yang aku kirimkan dua pekan lalu, apa sudah sampai?"

"Belum. Belum ada kiriman datang," jawab Pendar. "Apa kiriman foto-fotoku sudah sampai?"

"Belum juga," jawab Agni. Bahkan dia sudah hampir menyelesaikan draf pertamanya dan foto yang dia minta Pendar kirimkan dari Jakarta belum juga sampai. Ini enggak biasa. Senin lalu dia bertanya pada Pak Pos yang datang lewat di depan rumah ini, memintanya memeriksa sekali lagi semua kiriman yang dibawa dengan sepeda motornya. Tetap tidak ada.

"Aku menguburkan cincin dari Adam di halaman depan. Di dekat pot kaktus, di pekarangan," ujarnya menceritakan hal lain yang mungkin Pendar akan suka.

"Oh, ya?" tanya Pendar antusias. "Akhirnya kamu bisa melakukan itu juga."

"Iya. Ini sudah selesai."

"Kita juga sudah mau menyelesaikan ini semua. Bulan depan aku ujian. Apa aku bisa datang ke tempatmu setelah itu?" tanya Pendar.

Mereka sudah merencanakan ini sebelumnya. Agni pun sudah membayangkan banyak hal yang bisa dia kerjakan dengan Pendar. Berjalan ke sungai, tentu saja—dengan rute baru yang dia susuri dengan Fajar tempo hari. Dia dan Fajar akhirnya meneruskan perjalanan ke sungai sampai matahari tenggelam dan kembali setelah gelap. Makan malam bersama dan bicara—tetapi tidak lagi tentang cinta. Sampai malam, sampai mereka lelah dan Fajar pulang ke vila yang disewanya. Keesokan harinya, mereka bertemu lagi. Bicara lagi. Lebih banyak lagi. Begitu terus sampai tiga hari karena di hari keempat, Fajar harus kembali ke Jakarta untuk urusan bisnisnya. Agni pun merasa, seandainya hatinya tidak penuh, tentu Fajar akan bisa masuk dengan mudah. Dia mudah untuk disayangi.

"Datanglah. Aku akan menunggu," jawab Agni.

Dia ingin memperlihatkan koleksi benang rajut milik Tante Lusi yang disimpan di lemari, lalu pekarangan dengan semua tanaman yang menurutnya cantik—terutama kaktus dan amarilis jingga di dekat teras. Dia ingin mengambil satu buah bangku lagi agar mereka bisa duduk di balkon, memandang ke arah pegunungan, menyesap teh, lalu bicara tentang banyak hal yang mungkin bisa jadi hanya akan mengulang-ngulang apa yang pernah mereka bicarakan di telepon. Namun semua tentu akan terasa lain kalau dibicarakan tanpa perantara kabel dan pesawat telepon itu.

Dia juga ingin bicara tentang betapa dia merasa kalau Pendar datang di saat yang tepat. Telepon salah sambung itu seperti bantuan yang diberikan semesta padanya. Dia jadi punya teman bicara untuk menguraikan banyak sengkarut yang sebelumnya tidak dia pahami—yang akhirnya dia susun ulang karena itu yang membuat tangannya selalu kaku di depan mesin tik. Dia tidak bisa menulis bukan karena dia tidak bisa, tetapi karena luka terlalu dalam yang tidak juga dia mau akui ada. Pendar membantunya melihat itu, lalu menemaninya untuk menyembuhkannya.

"Pendar," panggil Agni.

"Ya?"

"Apa aku sudah pernah bilang kalau aku ingin sekali berterimakasih padamu?"

"Belum," jawab Pendar. "Jangan berterimakasih padaku. Untuk apa?"

"Untuk semua."

"Untuk semua?"

"Untuk waktu dan obrolan-obrolan kita," ujar Agni. Dia melanjutkan, "Untuk hati."

"Kalau tentang hati, itu aku yang ingin berikan padamu. Jangan berterimakasih untuk itu."

Percakapan malam itu masih terngiang di telinga Agni, membuatnya sulit tidur, tetapi juga tidak ingin terbangun. Dia mengisi waktu istirahat menulisnya dengan membuat daftar hal-hal apa saja yang ingin dia kerjakan bersama Pendar kalau lelaki itu datang di bagian belakang kertas yang baru selesai dia ketik. Daftar itu terus memanjang sampai dia sendiri tidak yakin kalau semua itu akan bisa mereka lakukan kecuali kalau Pendar memutuskan untuk menginap seminggu lebih.

Setiap malam, Pendar menelepon. Melaporkan apa saja yang terjadi dengan podcast mereka. Menyampaikan salam yang dikirimkan pendengar kepadanya. Pendar bilang kalau teman-teman kuliahnya menyukai apa yang Agni bicarakan dan kalau memungkinkan, Agni seharusnya datang ke kampusnya dan bicara langsung di depan mereka. Setidaknya ketika Pendar presentasi terakhir proyeknya.

"Aku ingin mereka lihat betapa menakjubkannya kamu," ujarnya.

"Kamu bahkan belum pernah melihatku, Nda," kata Agni.

"Aku seperti sudah melihatmu, setiap malam, di mimpiku. Aku seperti sudah dekat sekali denganmu, sampai-sampai kadang aku merasa kalau kamu itu ada di dekatku, yang dengan satu uluran tangan saja akan tersentuh."

Agni mengulurkan tangannya. Meraba udara malam yang kosong di atas mesin tiknya. Itu juga yang dia inginkan sekarang ini; menyentuh Pendar yang jaraknya hanya seuluran tangan darinya.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang