Sepeda yang dijanjikan itu tidak selesai sampai beberapa hari kemudian. Ada onderdil yang harus diganti dan dibeli di kota, menurut Kang Budi. Mereka akan pergi ke pasar dan mampir di toko sepeda sepulangnya di Rabu pagi. Entah dorongan dari mana yang mendesaknya, ketika mendengar rencana itu, Agni berkata, "Saya ikut, ya."
Bi Niken tentu saja setuju. Dia ingin memperlihatkan tempat ini pada Agni dan itu lebih dari apa yang terlihat dari balkon dan teras rumah.
Agni menitipkan surat untuk Mama dan Papa ketika Pak Pos datang di Senin pagi. Dia menggantikan uang untuk membeli perangko dan melebihkan sedikit. Pak Pos itu kelihatan senang. Dia tersenyum—terlalu—lama dan kemudian menanyakan beberapa hal tidak penting sekadar untuk membuat dia terlihat sedikit perhatian pada Agni—pada gadis yang memberikan dia tip lumayan banyak untuk ukurannya. Agni tidak banyak menjawab. Dia hanya menjelaskan kalau dia tinggal di rumah ini selama menulis buku.
"Agar lebih tenang," jelasnya.
"Neng penulis?"
Pertanyaan itu tidak bersalah, bagamana Agni menerimanya dan lengah untuk tidak memasukkannya ke hati yang membuatnya ingin berdehem berkali-kali setelah mendengarnya—hanya agar dia bisa pamit ke belakang untuk minum. Namun sebelumnya, dia sempatkan bertanya.
"Kalau biaya paket?"
"Itu ditimbang, Neng. Bisa dititip ke saya juga."
Lalu Agni mohon diri untuk ke belakang. Pak Pos itu mengerti dan meninggalkan teras rumah. Agni menutup pintu. Dia lalu duduk di balkon, memandang kosong ke arah gunung, dan terdiam ketika Bi Niken membawakan kopi panas. Dia ada di sana sampai sore dan hanya pergi untuk makan, minum, dan meluruskan kakinya. Dia (seharusnya) penulis dan penulis (seharusnya) menulis. Tidak seperti ini.
Malamnya, dia tidak bisa tidur. Duduk di ruang tengah sambil memegang sebuah novel yang tidak juga selesai dia baca. Suara radio terdengar samar, melantunkan lagu-lagu tentang cinta. Lagi-lagi, bukan lagu tentang cinta itu yang salah, tapi bagaimana Agni menerima dan tidak memikirkan terlalu dalam liriknya. Detak jam dinding, lampu pijar ruang tengah yang redup, dan udara dingin malam yang menyusup dari celah jendela membuat dia tidak bisa untuk tidak memikirkan banyak hal, cinta terutama, walaupun sekuat tenaga dia tidak ingin. Namun pikirannya lebih kuat dibanding keinginannya saat ini. Dia biarkan saja pikiran itu berjalan dari satu kenangan ke kenangan lain; pahit dan manis.
Agni melihat ke arah jam dinding. Sembilan lewat dua sebelas menit. Dia menarik napas, mengeluarkannya pelan, dan bangkit dari duduknya. Kakinya mulai pegal karena terlalu lama ditekuk. Kursi rotan yang ada di ruang tengah ini tidak terlalu nyaman untuk diduduki berlama-lama. Ketika dia melangkahkan kaki sampai di depan pintu kamarnya, terdengar dering dari ruang tengah. Agni terdiam dengan tangan sudah memegang kenop. Terdengar dering sekali lagi. Kenop itu dia lepaskan. Terdengar dering sekali lagi. Dia berjalan kembali ke ruang tengah, mengangkat gagang telepon, melekatkannya ke telinga, dan bicara dengan sedikit ragu.
"Halo."
"Bisa bicara dengan Agni?" tanya suara itu. "Ah, ini Agni, ya?"
"Pendar?" tanyanya. Dia pun masih mengenali suara itu.
"Iya. Ini bukan salah sambung."
"Tentu saja. Kamu tahu siapa yang akan kamu hubungi kalau menekan nomer ini, kan."
"Memutar, bukan menekan. Pesawat teleponku pakai putaran. Vintage banget emang."
"Di sini juga," ujar Agni. Dia memegang pesawat telepon itu dan bersiap untuk meletakkannya di lantai seperti beberapa malam lalu seandainya pembicaraan ini akan panjang. Dia pun lalu bertanya, "Ada apa?"
"Mau ngobrol aja sama kamu."
Jawaban itu membuat Agni terdiam. Dia pun, bisa jadi, menginginkan hal itu sekarang ini.
"Mau ngobrol apa?" tanya Agni.
"Apa aja," jawab suara di telepon itu yang kemudian dilanjutkan dengan usul yang agak aneh, "bagaimana kalau basa-basi garing tentang cuaca?"
Agni tertawa.
"Basa-basi garing katamu? Cuaca di sini bagus dan aku suka. Itu enggak garing sama sekali. Lagian—"
Suara Pendar menyahut dengan tidak sabar, "—lagian apa?"
Agni mengambil pesawat telepon dan duduk di lantai. Dia meluruskan kaki dan menyandarkan punggungnya di tembok.
"Lagian," sambungnya, "cuaca bukan bahan obrolan yang sederhana."
Agni tahu kalimat itu membuat Pendar tertarik karena kemudian dia menyahut dengan pertanyaan bertubi-tubi, "Bagaimana mungkin itu enggak sederhana?" Mereka terdiam. Lelaki itu melanjutkan lagi, "Tentu saja enggak sederhana karena ini bukan tentang cuacanya, kan? Bukan tentang panas, terik, hujan, atau kabut. Iya, kan? Ini tentang apa yang ada di dalam cuaca dan apa yang kamu rasakan?"
"Banyak sekali pertanyaanmu." Agni tersenyum ketika mengatakan itu.
"Karena ... karena menarik sekali pernyataanmu." Suara itu terdiam lagi, lalu bertanya lagi, "Apa aku boleh tinggal sebentar untuk membuat teh? Apa aku bisa membicarakan tentang cuaca denganmu panjang-lebar? Aku mau ambil bangku juga."
"Aku akan melakukan hal yang sama," jawab Agni. Namun dia tidak perlu membuat teh karena sudah ada seteko yang masih hangat di meja dapur. Juga sepiring kue sus yang dipesankan Bi Niken, "Kalau tidak dihabiskan malam ini, besok basi, Non."
Agni membawa seteko teh, sebuah cangkir kosong, dan sepiring kue sus ke ruang tengah. Lalu kembali ke dapur untuk mengambil lap tangan—berjaga-jaga kalau isi kue sus itu mengotori tangan atau jatuh ke lantai. Ketika dia menempelkan kembali gagang telepon itu ke telinganya, suara lelaki itu sudah ada di sana.
"Apa kamu ada di sana?" tanyanya.
"Sudah," jawab Agni. "Kamu buat teh apa?"
"Teh kelat biasa, itu yang ada." Suara lelaki itu melembut tapi tetap terdengar antusias, "Bicara tentang cuaca kita?"
"Ya. Tentang cuaca."
* * *

KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...