44. Semicolon [ ; ] Part-3

14 4 0
                                        

  Vila itu persis seperti yang diceritakan Agni ditelepon; pagar berkarat dan halaman yang terawat dengan berbagai macam tanaman di halamannya. Yang berikutnya Pendar lihat adalah seorang perempuan tua tergopoh-gopoh mendekat membukakan pagar. Pendar berdiri beberapa lama sejak dia membunyikan klakson mobil lalu mengucapkan salam dengan setengah berteriak. Dia tahu itu tidak sopan, tapi dia ingin ada seseoran yang mendengar kedatangannya.

"Cari siapa, Mas?" tanya perempuan itu ketika sampai di depan pagar.

"Agni ada, Bu?" tanya Pendar. Dia tahu Agni tidak ada di sini. Agni di rumah sakit dengan berbagai macam alat yang membuat dia masih hidup sampai sekarang.

Perempuan itu berpikir sebentar sebelum menjawab, "Non Agni ada di rumah sakit, kan, Mas."

Pendar terdiam.

"Bi Niken, ya?" tanyanya kemudian.

Perempuan tua itu mengangguk.

"Jadi gimana, Mas?" tanyanya. Dia tampak tidak terkejut ketika Pendar mengetahui siapa namanya.

"Boleh masuk?" tanyanya. "Saya mau lihat rumah ini."

Bi Niken membukakan pagar lebar-lebar. Kemudian dia melihat sekali lagi Pendar dalam-dalam.

"Mas—"

"Ya?" Pendar menyahut.

"Mas Pendar?"

Bi Niken hampir saja gagal memeluk Pendar seandainya dia tidak menangkap tubuh tua itu dengan cepat.

"Mas, akhirnya datang juga. Non Agni bilang, mungkin dua puluh tahun," Bi Niken mulai menangis. "Dia sekarang sekarat, Mas. Kata Non Agni, duluuu ... kalau ada kiriman dari Mas Pendar, itu artinya Mas sudah akan datang. Bibi harus siap-siap. Kiriman itu ada di dalam, Mas."

"Aku tahu, Bi. Aku tahu."

Pendar memasukkan mobil ke carport lalu membantu Bi Niken untuk masuk ke rumah. Tubuhnya yang ringkih itu sudah sedikit sulit dibawa berjalan. Dia membukakan pintu dan Pendar melihat ruangan depan dengan lukisan-lukisan yang juga pernah diceritakan Agni; lukisan Tante Lusi.

"Non Agni minta rumah ini enggak diubah sedikit pun karena dia tahu Mas akan datang," katanya lagi.

Mereka lalu masuk ke ruang tengah. Pendar melihat lemari kayu dengan ukuran bunga di sudut ruangan itu. Dia berjalan mendekati dan membuka pintunya. Lemari ini adalah tempat menyimpan berbagai benang dan peralatan merajut yang diceritakan Agni. Isinya masih penuh dan terawat baik. Pendar menutup lemari itu. Dia lalu memutar pandangannya ke arah belakang, ke balkon. Dia berjalan pelan. Ada dua bangku di sana—dua bangku yang disiapkan Agni agar mereka bisa bicara sepanjang hari sambil melihat ke pegunungan. Lalu ada satu meja di depan bangku itu. Tidak ada apa pun di atasnya. Pendar membayangkan kalau dulu, ada mesin tik, tumpukan kertas, dan gulungan benang rajut di sana—juga seperti yang Agni ceritakan.

Bi Niken datang membawakan sebuah kotak kayu dan menyerahkannya pada Pendar.

"Non titip ini kalau Mas datang," katanya. "Bibi buatkan teh, ya, Mas." Pendar tidak sempat menolak—dan dia memang tidak ingin menolak. Tenggorokannya kering dan dia lelah setelah begitu lama di perjalanan. Bi Niken lalu kembali masuk ke dalam.

Pendar meletakkan kotak itu di meja. Di sampingnya, ada kiriman yang kirimkan dari Jakarta. Masih tertutup rapi. Pendar tidak ingin membukanya karena dia tahu isinya. Dia lebih tertarik pada otak yang satu lagi; jenis kotak yang sama yang dia temukan di gudang rumahnya di Jakarta. Persis. Hanya ukurannya saja yang berbeda. Ini lebih besar. Pendar membuka tutupnya dan yang pertama dia lihat adalah sebuah syal berwarna merah yang dilipat rapi. Dia mengeluarkan syal itu. Mencium aromanya lalu meletakkan di atas meja. Di bagian bawah, dia melihat satu tumpukan kertas dengan dua binder clip besar di sisinya. Dia mengeluarkannya. Melihat halaman pertamanya. Ada tulisan tangan Agni di sana:

Untuk Pendar, kalau kamu sampai datang ke sini. Tapi kamu, kan, sudah janji. Telpon aku, ya.

Dia tahu kalau dia bodoh. Dia tahu seharusnya dia menemui saja Agni di rumah sakit. Meminta Oki untuk memberikan dia akses. Namun hatinya meminta hal lain; dia mencari Agni ke sini, ke tempat ini. Ke tempat yang dia tahu Agni tidak akan ada.

Dia tahu dia bodoh.

Pendar membuka-buka kertas itu dan melihat banyak tulisan tangan Agni di sana. Beberapa ada di bagian tepi kertas yang tidak terkena ketikan. Tulisan itu ada yang berupa catatan obrolan mereka. Pendar ingat apa yang dikatakannya. Lalu ada beberapa gambar coretan yang tidak jelas bentuknya.

Pendar masuk ke dalam. Melihat ke ruang tengah, mencari meja yang jadi tempat Agni meletakkan pesawat telepon. Meja itu ada di sana, di dekat tembok. Ada pesawat telepon di sana, yang modelnya lebih modern dibanding yang dimilikinya di rumah. Pendar menekan nomer Agni. Menunggu nada sambung. Lalu dia mendengar suara itu.

"Pendar?"

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang