14. Ellipsis [ ... ] Part-5

13 3 0
                                        

 Agni suka rok selutut hijau lumut dengan motif polkadot putih yang selalu dia pakai menggunakan ban pinggang kulit berwarna cokelat. Dia sudah memakainya dengan kemeja polos kuning muda tadi pagi sebelum Bi Niken datang dan melihat penampilannya dari atas sampai bawah.

"Pasarnya mungkin becek, Non," ujarnya.

Untungnya Bi Niken belum melihat pilihan sepatu Agni karena kalau sudah, dia pasti akan meminta Agni memakai sepatu lain saja. Dia mengganti pilihan sepatunya dengan sepatu balet hak datar dan roknya, ah, itu sulit sekali karena setengah jam kemudian, dia masih memilih-milih mana yang sebaiknya dia pakai.

Dia teringat lagi ucapan Bi Niken sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikat saja rambutnya ke belakang dan menjadikannya ekor kuda, "Itu pasar, Non. Kita mau ke pasar."

Agni keluar dari kamarnya dan Bi Niken sudah duduk di ruang tengah, menunggunya sambil bertopang dagu.

"Lama ya, Bi?" tanya Agni, basa-basi.

"Bawa jaket atau sweater, Non," katanya lagi. "Dingin loh, di luar."

Agni menoleh ke arah pintu yang menuju balkon belakang. Sekarang jam tujuh pagi dan kabut sedang tebal-tebalnya. Di luar memang dingin, tapi Agni tidak memperhitungkan kalau dia akan pergi dengan mobil kap terbuka milik Kang Budi—yang di sepanjang jalan jendelanya terbuka karena kacanya rusak, dan menurutnya, dia sudah berusaha membetulkannya berkali-kali, tapi belum juga berhasil.

Agni memilih cardigan rajut yang diberikan oleh Tante Lusi di hari ulang tahunnya. Warnanya merah jambu dan cocok dengan baju terusan merah selutut yang akhirnya dia pilih untuk dikenakan. Awalnya, cardigan itu dia pegang saja, lalu kemudian dia letakkan di atas pangkuannya untuk menutupi tas kecilnya yang berisi dompet, buku catatan kecil, dan sebuah pena. Namun belum lama mobil itu berjalan, dia sudah mengenakan cardigan itu. Angin yang masuk membuatnya mengigil padahal dia duduk di tengah, di antara Bi Niken dan Kang Budi. Mereka berdua kelihatan sama sekali tidak terganggu dengan angin dingin itu padahal baju mereka hanya selapis saja.

"Si Non belum biasa dengan hawa di sini kalau pagi," kata Bi Niken.

"Bukan belum biasa, Bi, ini ada anginnya aja, sih," ujar Agni membela diri. Dia sudah terbiasa duduk di balkon sejak pagi dan dia suka dengan dinginnya hawa di sana. Memang awalnya hawa dingin itu membuatnya enggan bangkit dari dipan, apalagi untuk mandi pagi. Namun Bi Niken selalu menyiapkan air hangat untuk mandi dan segelas kopi atau teh panas setelahnya untuk melawan semua dingin.

Jalanan menuju ke pasar sepi sekali, seolah hanya mobil mereka yang menyusurinya sepagian ini. Lama sampai mereka berpapasan dengan mobil lain dari arah yang berlawanan. Agaknya pasar itu ada di lembah karena jalananan banyak menurun dan berbelok. Melewati tepian pegunungan dan sawah yang bertingkat-tingkat, lalu deretan pinus yang menjulang menutupi langit. Matahari mulai terlepas dari kungkungan awan ketika mereka sampai di depan pasar dan ketika turun dari mobil, Agni merasa udara sudah menghangat. Kang Budi hanya menurunkan mereka karena dia ingin langsung pergi ke toko sepeda yang ada di kota. Dia akan kembali satu jam lagi menurut perhitungannya.

Dia mengikuti saja ke mana Bi Niken pergi; membeli bumbu, ayam, lalu jalan ke bagian belakang untuk melihat sayur-sayuran. Pasar ini tidak terlalu besar dan penjual menggelar begitu saja dagangan mereka dengan dialas terpal di tanah lapang di depan kios-kios kecil yang berderetan.

"Mau jamur, Non?" tanya Bi Niken sambil melihat-lihat jamur merang yang diletakkan di dalam baskom besar.

"Diapakan, Bi?" Agni balik bertanya.

"Untuk campuran omelet dan pepes tahu ini enak sekali, Non."

Agni menyentuh permukaan jamur-jamur itu. Bentuknya lucu, seperti kancing-kancing gendut yang bertangkai.

"Saya mau, Bi," jawabnya.

Bi Niken pun membeli semangkok kecil. Jamur itu tidak ditimbang, tapi ditakar dengan mangkok plastik berwarna hijau. Mungkin banyaknya jamur yang dibeli hanya setadahan kedua telapak tangan, tidak begitu banyak.

Bi Niken mendapat uang belanja dan perawatan rumah sebulan sekali dari Tante Lusi. Begitu juga dengan gajinya. Agni tahu ini karena dia ingin memberi uang belanja kepada Bi Niken ketika baru datang ke rumah itu dan Tante Lusi melarangnya. Tantenya itu meyakinkan Agni kalau semua sudah diurus, semua sudah beres, dan dia hanya perlu melakukan apa yang perlu dia lakukan di rumah itu; menulis dan mencoba untuk tidak sedih lagi. Uang yang diberikan Tante Lusi cukup untuk membeli bermacam-macam bahan masakan, yang kemudian dimasak Bi Niken menjadi bermacam-macam masakan yang Agni tidak bisa mengelak, kalau dia sangat suka.

Bi Niken tahu bagaimana mengolah makanan. Dia tahu caranya memasak lebih baik dari chef di restoran yang sering Agni datangi di Jakarta. Namun setelah melihat bagaimana Bi Niken berbelanja, dia juga menilai kalau masakan Bi Niken bisa jadi seenak itu karena dia juga tahu betul bagaimana memilih bahan-bahan yang baik dan segar. Bi Niken memilih satu per satu cabai yang ingin dia beli. Teliti dan berhati-hati sampai Agni pun bosan dibuatnya.

Agni menoleh, berjalan ke tengah pasar, melihat-lihat apa yang dijual di sana, sambil memastikan kalau Bi Niken tidak lepas dari pandangannya. Sewaktu kecil, dia suka ikut Mama berbelanja ke pasar. Namun makin besar, dia semakin jarang ikut karena dia harus sekolah dan di hari libur, dia lebih suka menonton televisi sejak pagi. Agni berdiri di depan penjual buah-buahan. Memegang mangga yang ranum dan mulai memilih beberapa untuk ditimbang. Dia berjongkok pelan, memastikan roknya tidak menyentuh tanah yang agak lembab—pasar ini tidak terlalu becek seperti yang dikatakan Bi Niken. Dia baru saja akan memanggil menjualnya untuk meminta agar mangga-mangga itu ditimbang ketika seseorang menyentuh bahunya. Dia menyangka kalau itu Bi Niken karena itu dia menoleh dengan cepat. Tapi ternyata bukan. Dia melihat seorang gadis muda dengan rambut dikepang dan senyum merekah yang sangat manis.

"Kak Agni, ya?" tanyanya.

Agni terdiam. Dia tidak menjawab.

"Saya penggemar novel-novel Kakak!" ujarnya dengan senyum semakin lebar.

Agni berdiri. Dia berpikir akan melakukan apa.

"Kakak sedang apa di sini?" tanyanya lagi.

"Kamu tahu saya dari mana?" Agni balik bertanya.

"Lho? Ada foto Kakak di setiap novel yang Kakak tulis. Di bagian belakangnya. Saya punya koleksinya. Apa Kakak mau kasih tanda tangan?" Gadis itu memberondongnya dengan pertanyaan.

Agni terdiam. Dia tahu kalau ada foto wajah di setiap novelnya yang terbit. Bukan itu masalahnya. Dia hanya tidak menyangka kalau ada yang menganggap foto itu penting, lalu mengingat bagaimana rupa wajahnya, dan kemudian bisa mengenalinya.

"Sa—saya ...," Agni terbata. Dia ingin sekali berbohong. Mengatakan kalau dia bukan orang yang gadis itu maksud.

"Saya juga baca wawancara Kakak di majalah dan koran. Saya juga nonton Kakak di berita," kata gadis itu lagi. "Tadi saya lihat Kakak pas baru dateng. Saya yakin itu Kak Agniya karena wajahnya mirip banget sama yang ada di majalah bulan lalu. Saya balik lagi ke rumah buat ambil novel-novel ini."

Gadis itu menyodorkan setumpuk novel. Agni masih terdiam. Menundukkan kepalanya. Bergeming beberapa lama. Wajahnya terasa menghangat. Dia berusaha menahan sekuat tenaga, tapi....

"Kak Agni!" gadis itu panik, "Kak Agni kenapa menangis? Kak Agni!"

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang