Pendar masih di lab komputer sore itu, mencari tempat baru yang lebih nyaman untuk menyelesaikan sisa tugas dibanding kamar atau kafe kecil di dekat kampusnya—dengan wifi alakadarnya yang kadang membuat Pendar kesal. Internet lambat itu lebih menyebalkan dibanding tidak ada internet sama sekali. Sebenarnya lab ini tidak senyaman itu, tapi koneksi internetnya luar biasa cepat dan komputernya, ah, jangan ditanya. Laptop yang dia punya jadi tidak ada apa-apanya.
Namun jarang yang mau bertahan lama di sini dan alasannya bukan karena pendingin ruangan yang keterlaluan rendah suhunya, tentu saja. Bisa jadi, mereka tidak tahan dengan bagaimana ruangan ini ditata—cat temboknya, bangku dan meja, lalu komputernya—seolah ingin mengintimidasi siapa pun yang ada di dalamnya. Pendar tidak terintimidasi dengan ruangan ini seandainya gadis itu tidak menepuk bahunya dari belakang dan membuatnya terkejut setengah mati karena dia pikir, hanya dia yang ada di ruangan ini sejak tadi.
"Kaget?" tanyanya.
Dia tersenyum dan Pendar tidak bisa untuk mengalihkan pandangan pada kacamata gadis itu yang bingkainya berwarna putih dengan model besar. Dia kelihatan seperti kutu buku dan ketika dia tersenyum, dia kelihatan seperti kutu buku yang baru saja membaca halaman di mana tokoh jahat yang dia benci mati-matian akhirnya menerima balasannya—ini imajinasi Pendar saja karena kacamata itu begitu menarik perhatiannya. Imajinasinya itu tidak membuat pandangannya berpindah dari kacamata itu. Mata kurang ajarnya malah mulai memperhatikan bola mata gadis itu yang berwarna cokelat muda.
"Coding lo udah gue periksa semalam. Good. Tapi kurang apa ... ya, hmmm ... 'ketat' atau okelah, gue pakai istilah ini; seksi." Dia tersenyum lagi.
"Lo—lo siapa?"
Ketika pertanyaan itu keluar dari mulut Pendar, gadis itu tertawa sampai kacamatanya sedikit melorot. Dia membetulkannya dengan menggeser ke atas menggunakan jari tengahnya.
"Kita satu kelompok," jawab gadis itu di sela tawanya. "Karena lo tadi kaget, gue mau menjelaskan ini juga. Gue masuk ke lab ini beberapa waktu setelah lo ada di sini. Lo terlalu asyik sama kerjaan lo jadi lo enggak tahu kalau ada manusia lain di sini." Dia menunjuk kakinya dan Pendar malah tertarik dengan sepatu kanvas berwarna kuning yang dia pakai. Sebelah tali sepatu itu ikatannya lepas dan gadis itu kelihatan tidak peduli. "Lihat, kan? Napak. Bukan makhluk astral."
"Okay...." Pendar tidak terlalu tertarik dengan penjelasan itu. Dia memang merasa pernah melihat gadis ini di kampus, entah di mana tepatnya.
"Gue yang nge-chat lo semalam dan enggak lo balas," jelasnya lagi—belum putus asa.
"Oh, ya?" Pendar tidak percaya. Semalam, setelah menelepon Agni, dia memasukkan bagian tugas yang sudah selesai dia kerjakan ke cloud storage kelompoknya. Memang sebelumnya ada pesan yang masuk dan menanyakan tugas itu. Namun seingat dia, bukan dari perempuan.
"Siapa namamu?" tanya Pendar.
"Lo serius nanya itu?" mata cokelat mudanya membulat.
"Gue nanya."
"Kita udah empat tahun satu jurusan," jawabnya.
"Oh, ya?"
"Gue Oki," jawab gadis itu yang kelihatannya tidak ingin berlama-lama lagi ada di depan Pendar.
"Oki?" Pendar menyebutkan nama itu karena dia tahu. Dia ada di beberapa kelas dengan seseorang yang bernama Oki, tapi bukan perempuan—bukan gadis ini.
"Gue Oki," ujarnya lagi. "Mau lihat KTP?"
"Perempuan?"
Oki menyerenyitkan matanya dan kemudian mendengus kesal. "Gue cuma mau bilang kalau coding-an lo masih ada bugs-nya dan harusnya bisa lebih disederhanakan logikanya." Dia membetulkan lagi letak kacamatanya. "Gue juga agak tersinggung lo enggak kenal gue. Bukan salah gue kalau nama gue unisex."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomansSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...