27. Tilde [ ~ ] Part-2

11 4 0
                                    

 Mama pamit untuk makan di luar ketika Pendar baru saja pulang dari kampus malam itu. Dia tidak melihat mobil Om Anton di depan rumah, jadi kemungkinannya hanya satu; Mama dan Om Anton berjanji untuk bertemu di tempat makan.

"Apa kamu mau nitip sesuatu?" tanya Mama sambil memasukkan kunci pagar yang disatukan dengan kunci pintu depan dengan gantungan kunci berbentuk Merlion yang—Pendar ingat sekali—kalau itu dia beli ketika mereka pergi ke Singapur bersama-sama. Satu hal yang Pendar baru ketahui; Mama dan Papa pergi ke sana untuk membicarakan lagi tentang rumah tangga mereka. Awalnya dia malah tidak ingin ikut, tetapi ketika Papa menjanjikan kalau mereka tidak harus selalu bersama-sama, Pendar pun memutuskan ikut. Sekarang dia paham mengapa selama di perjalanan itu, Papa selalu saja memasang wajah serius dan sering terlihat seolah sedang memikirkan sesuatu; karena dia memang sedang memikirkan sesuatu.

Sepulang dari sana, Mama dan Papa lebih banyak diam dan kemudian mereka mulai merencanakan perceraian ini dengan rapi dan beradab. Lalu, masuklah Om Anton ke hubungan mereka—yang diterima dengan biasa saja oleh Papa. Pendar pun baru memahami kalau memang hal itu biasa saja karena mereka sudah berpisah, tinggal menunggu perpisahan itu disahkan di atas kertas.

"Hmm ... apa, ya, Ma? Nasi goreng?" tanyanya. Dia tahu ke mana Mama akan pergi, jadi dia tidak tahu bisa minta dibelikan apa.

"Oke. Nanti Mama bungkuskan."

Satu ciuman mendarat di keningnya. Pendar sudah lama jadi lebih tinggi dari mamanya sekarang sehingga perempuan itu harus berjinjit untuk mencapai kening Pendar walaupun dia sedang mengenakan sepatu berhak tinggi.

Tidak ada yang bisa disalahkan dari hubungan Mama dan Om Anton, seperti kata Papa. Mama memang sudah separuh baya tapi masih cantik, badannya masih bagus karena rajin olah raga, dan penampilannya selalu terawat. Memang ada guratan-guratan halus di wajahnya, tetapi itu malah membuat rautnya terlihat lebih bijaksana. Pendar berusaha memahami itu. Om Anton sendiri—menurut ceritanya ketika Pendar bertemu untuk pertama kali beberapa bulan lalu—duda tanpa anak. Istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu dan dia pernah jadi teman kerja Mama di kantor yang dulu. Mama beberapa kali pindah kantor, jadi Pendar tidak ingat kantor mana yang dimaksudkan oleh Om Anton.

Lelaki itu baik dan Papa pun bilang begitu. Hanya saja, tentu ada banyak rasa yang berkecamuk di antara mereka sebelum semuanya benar-benar diputuskan. Bahwa dulu mereka pernah baik, pernah berusaha untuk saling mencintai walaupun gagal, tentu meninggalkan bekas. Ini yang Pendar tanyakan kepada Papa ketika dia datang ke apartemennya akhir pekan kemarin. Selain untuk memastikan kalau lelaki itu sudah hidup lebih layak dibanding saat terakhir Pendar datang, dia juga ingin mengobrol dengannya.

"Aneh memang kalau Papa katakan ini, tapi mungkin kamu perlu tahu," ujar Papa membuka pembicaraan panjang malam itu, "Kami kesepian. Papa dan mamamu, kesepian di pernikahan kami. Bukan karena kami enggak saling berusaha ada, tapi...." Papa berhenti dan memejamkan matanya. Seolah kalimat yang berikutnya dia katakan perlu dia cari dulu keberadaannya di dalam lubuk hatinya. Seolah setelahnya, kalimat itu pun masih perlu dipancing untuk keluar dari mulutnya. Namun akhirnya dia katakan juga, "Karena bisa jadi kami enggak pernah saling mencintai."

"Sama sekali?" Pendar ingin memastikan.

"Mungkin. Kami sudah mengusahakannya dan itu enggak pernah ada. Lalu, bagaimana?" Pendar tahu kalau itu bukan pertanyaan yang harus dia jawab. Semua yang terjadi sekarang ini adalah jawaban dari pertanyaan itu.

"Ada apa sih, Pa?" Dia ingin tahu apa yang benar-benar ada di benak lelaki itu.

"Mungkin karena hati sudah lama penuh dengan perempuan lain. Bukan hanya dia, tapi tentang penyesalan dan rasa bersalah," jawabnya.

"Kalau enggak ada nasi goreng?" pertanyaan Mama itu menyentak dan memaksa pikiran Pendar untuk kembali hadir di depan pagar rumah, di hadapan mamanya.

"Apa aja, Ma. Mungkin aku bakalan lapar, sih, tengah malam nanti," jawabnya.

"Kamu mau nelpon pacar barumu itu, ya?" tanya Mama sambil tersenyum simpul. Pendar tahu kalau Mama bisa jadi mendengarkan pembicaraannya dengan Agni setiap kali mereka menelepon, tetapi Pendar baru menyadari kalau mamanya memperhatikan mereka.

"Bukan pacar, Ma," jawab Pendar. "Temen aja."

"Oh, ya?" Mama tersenyum lagi sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya dan memastikan layanan taksi daring yang dia pesan sampai tidak lama lagi. "Masuk sana," perintah Mama, "ini udah mau sampai, kok."

Pendar menurut dan masuk ke rumah. Dia ingin sekali mandi dan bersantai sambil menunggu jam sembilan malam—mungkin dengan menyicil tugas atau menonton televisi. Namun setelah dia mandi, dia melihat di ponselnya ada beberapa pesan panjang yang ditinggalkan Oki. Menceritakan tentang bagaimana dia berusaha mempertahankan proyek tugas yang sedang mereka kerjakan bersama di depan dosen mereka dan gagal. Oki tidak menyalahkan Pendar yang ingin pulang lebih dulu, tetapi dia menyayangkan kalau mereka tidak bisa menemukan ide yang lebih brilian lagi. Di akhir pesan itu, Oki meminta Pendar meneleponnya—dua kali, satu dengan huruf kapital semua. Pendar pun melakukan itu walaupun dia belum sempat berpakaian dan hanya memakai handuk yang melilit di pinggangnya.

"Gimana?" tanyanya ketika sambungan telepon itu diangkat.

"Gagal, seperti yang gue tulis di chat," jawabnya.

Pendar memahami kalau telepon mereka berdua kurang sopan-santun seperti mengatakan 'halo', 'selamat malam', dan yang sejenis itu tapi sepertinya Oki tidak menganggap itu penting sama sekali karena gadis itu sudah bercerita tentang bagaimana dia mendebat dosen mereka walaupun berakhir dengan kalah telak.

"Kita harus ketemu untuk ngomongin ini. Waktu enggak banyak. Kapasitas otak lo meragukan," ujarnya dengan nada serius.

"Kenapa kapasitas otak gue di bawa-bawa?" tanya Pendar heran.

"Bisa jadi setengahnya masih dipakai untuk memproses patah hati lo itu," jawab Oki cuek.

"Enggak, kok," Pendar membela diri. "Seperti namanya, 'patah hati' itu pakai hati, bukan pakai otak."

"Oh, ya?" ledek Oki, "Trus tadi kenapa lo maksa buat pulang cepet? Gue jadinya harus ketemu Pak Ben sendirian, kan."

"Gue ada janji."

"Sama cewek?"

Pendar tidak berbohong karena memang tidak ada gunanya. Dia pun menjawab, "Iya."

"Tuh, kan."

"Apanya yang 'tuh, kan'?"

Oki tidak ingin memperpanjang perdebatan mereka karena dia kemudian mengajak untuk bertemu di kafe besok siang setelah jam kuliah.

"Gue free sampai sore," ujar Pendar memberikan informasi.

"Gue juga," sambar Oki. "Kita selesaikan ini!"

"Oke." Pendar setuju dan dia ingin pembicaraan ini berakhir karena tubuhnya mulai dingin dan punggungnya yang belum dilap dengan handuk pun sudah mulai mengering begitu saja. Selain itu, ketika dia melirik ke arah jam dinding, tinggal beberapa menit lagi sebelum jam sembilan malam.

"Kita perlu sesuatu yang lebih progresif. Apps yang bisa memberikan sesuatu yang baru," jelas Oki. "Lo harus bisa bikin itu!"

"Lo juga," balas Pendar.

Lalu sambungan telepon diputus tanpa basa-basi.

Pendar melemparkan ponselnya ke atas ranjang, mengambil asal kaos dan jogger pants dari lemari, lalu berdiri di depan pesawat telepon yang sekarang ada di atas meja belajarnya. Dia menekan nomer Agni. Menunggu. Tidak diangkat.

Pendar mencoba lagi.

Tidak diangkat.

Dia mencoba lagi.

Tidak diangkat.

Pendar terdiam. Menunggu. Lalu mencoba lagi.

Masih tidak diangkat.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang