39. Hypen [ - ] Part-1

15 4 0
                                    

 Agni mengingat dengan jelas kalau Pendar bilang bahwa proyek ini akan berjalan selama dua bulan, setidaknya. Selama itu, dia akan menelepon Agni untuk direkam sekali sepekan. Sisanya, beberapa malam dalam seminggu, mereka bicara banyak hal lain yang tidak ada hubungannya dengan proyek itu. Namun malam ini, Pendar menceritakan bahwa dua episod dari sembilan yang mereka—Pendar dan Oki—rencanakan, sudah siap rilis. Agni senang mendengarnya walaupun dia tidak suka dengan kalimat Pendar selanjutnya.

"Tapi, apps-nya belum jadi, aku sama Oki harus lembur buat ngoding."

"Lembur, Nda?" tanya Agni. Dia tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya, tetapi dia ingin Pendar sendiri yang mengucapkannya.

"Iya. Jadi ... yah, bisa jadi aku enggak akan bisa bicara denganmu beberapa hari ke depan," ucap Pendar, persis seperti yang diperkirakan Agni.

Agni mencoba membawa pembicaraan itu ke arah lain. Di pun bertanya, "Bagaimana aku bisa mendengarkan hasil pekerjaan kalian? Kalau dari penjelasanmu, sepertinya enggak perlu radio, ya?"

"Enggak," jawab Pendar, "Tapi, kamu enggak ada komputer, kan, di sana. Jadi ... gimana, ya?"

"Mungkin harusnya aku mulai mempertimbangkan untuk beli komputer, ya."

"Hmmm ... iya. Kamu itu kayak penulis lawas aja, masih pakai mesin tik."

"Masih banyak, kok, penulis yang pakai mesin tik. Rasanya lebih asyik. Suara taktiktuknya itu menyenangkan didengar," ujar Agni membela diri.

Dia membawa pesawat telepon ke balkon agar bisa bicara dengan Pendar sambil melihat pegunungan yang meremang di bawah cahaya bulan yang bulat sempurna. Malam tidak terlampau gelap dan bulan nyaris benderang. Sudah beberapa pekan dia terus-menerus menulis, tidak berhenti sehari pun.

Dia bangun di pagi hari, lalu mulai mengetik sambil menghabiskan kopinya dan menunggu Bi Niken menyiapkan air panas untuk mandi. Lalu dilanjutkan sampai siang hari, sampai dia lapar. Setelah makan, dia akan duduk di ruang tengah, di kursi rotan, sambil mendengarkan lagu-lagu yang diputar dari radio, dan tangannya sibuk merajut. Sore, dia mandi dan bersepeda sampai ke sungai. Menyandarkan sepedanya di pohon yang letaknya dekat dengan jalan raya, lalu berjalan menyusuri aliran sungai itu sampai lelah. Dia kembali menjelang gelap, makan malam, mengetik sebentar sambil menunggu Pendar menghubunginya. Begitu terus setiap hari, dari hari ke hari—kecuali di malam Pendar tidak meneleponnya. Di malam-malam seperti itu, dia akan melanjutkan mengetik sampai tengah malam, lalu tidur dalam keadaan sangat lelah.

"Bagaimana, ya?" tanya Pendar lagi—buat Agni, itu lebih kedengaran seperti pertanyaan untuk dirinya sendiri. "Bagaimana kalau ... aku kirimkan saja file-nya? Aku simpan ke flashdisk, lalu aku kirimkan ke tempatmu. Kamu emang enggak punya komputer sekarang, tapi kalau kamu sudah punya, kamu bisa dengarkan," usul Pendar.

"Itu rencana yang bagus," Agni memberikan persetujuannya. "Tapi masih lama, kan? Harus menunggu ini semua selesai dulu."

"Iya, sih." Pendar lalu melanjutkan dengan usul lain, "Bagaimana kalau aku kirimkan sesuatu untukmu besok atau lusa? Agar kamu semangat menulisnya?"

"Aku selalu semangat, kok. Tanpa disuap dengan hadiah pun, aku semangat."

"Aaah, bukan begitu, Ni."

"Lalu bagaimana?"

"Aku hanya ingin mengirimkan sesuatu buatmu. Itu saja."

"Apa?" tanya Agni. Dia memang jadi tergoda untuk menyetujui usul itu dan ingin tahu apa yang Pendar tawarkan.

"Apa, ya?"

"Jangan balik bertanya."

"Kamu perlu apa?"

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang