Bukan ini 'sebentar' yang dimaksudkan Agni. Bukan ini.
Bukan berdiri di depan halaman Megaria dan melihat ke arah bioskop yang mulai didatangi orang-orang yang ingin menghabiskan malam ini dengan pasangan mereka.
Agni mengatakan ulang pada Pendar kalau dia akan menunggu di depan, di dekat pagar, karena dia akan mudah dilihat dari arah jalan. Dia juga memberitahukan Pendar kalau dia akan memakai gaun sebetis berwarna merah hati, mungkin dengan bando berwarna sama, dan membawa tas sandang berwarna hijau muda—dia tahu kalau tas ini tidak sesuai dengan pakaiannya, tetapi ini tas kesukaannya yang selalu dia pakai di setiap acara penting. Dia tidak ingin meninggalkannya di saat sepenting ini. Agni mengingat perkataan Pendar kalau dia akan menyetir sendiri. Prius hitam, katanya. Namun Agni tidak tahu mobil seperti apa itu karena dia sendiri tidak pernah tahu jenis dan model mobil. Agni hanya mengingat warnanya; hitam. Pendar datang dari Jakarta Utara, kalau begitu, dia akan datang dari arah Matraman.
Agni tidak terlalu suka bertemu dengan orang baru. Selama ini begitu. Namun sore ini, dia sangat senang akan bertemu dengan Pendar. Walaupun berkali-kali Pendar mengatakan kalau dia tidak secakep, serapi, dan sekece teman-temannya yang lain, Agni tetap saja membayangkan dia seperti itu. Ini adalah hal yang paling menyeramkan dari pikiran dan imajinasi yang dibawa oleh pikiran itu, Agni tahu, tetapi dia membiarkan saja imajinasi itu menguasainya. Kalau sampai nanti Pendar tidak seperti yang dia imajinasikan, dia pun tidak akan menuntut pikirannya karena pasti akan ada beda antara Pendar yang ada di kepalanya dan Pendar yang sebenarnya. Dia memahami itu. Karena itu pula, dia menikmati saat-saat terakhir dia bisa mengimajinasikan Pendar seperti apa yang dia ingin. Dia tahu, seharusnya dia takut pada pikirannya sendiri.
Agni mulai menulis karena dia pun takut pada pikirannya sendiri. Pikirannya itu merangkai cerita di kepalanya bahkan ketika dia tidak meminta. Hal itu membuatnya merasa kalau di beberapa tahun menjelang masa remajanya, dia semacam terkena masalah mental atau apalah—dia pun tidak tahu. Lalu Tante Lusi mengatakan kalau sebaiknya dia menulis. Dia pun setuju. Dia melakukan itu untuk menaklukkan pikiran dan imajinasi liarnya untuk dikendalikan, dibuat masuk akal, diatur sampai logikanya tidak ada yang bolong, lalu dirangkaikan menjadi cerita. Dengan begini, imajinasi itu tidak hanya akan jadi sekadar makhluk halus di pikirannya yang mengganggu dan membuat dia kuatir.
Orang-orang pun menerima apa yang dia lakukan, bahkan menyukai, dan beberapa novel yang dia tulis dianggap bisa menyampaikan sesuatu yang selama ini tidak bisa disampaikan oleh orang lain. Agni pun menyimpulkan kalau bukan hanya dia yang punya imajinasi sekuat dan seliar itu, setiap orang punya. Pemahaman ini juga yang membuat Agni tahu bahwa, seperti dirinya, Pendar akan mengimajinasikan tentang dirinya, dan sebagian dari imajinasi itu bisa jadi salah. Dan sudah seharusnya salah, karena kalau tidak, Pendar bukan lagi manusia biasa, tetapi cenayang.
Agni melirik jam tangannya. Sudah lewat setengah jam dari waktu janjian dan Agni mulai resah.
Di telepon tadi siang, Pendar menanyakan nomer Agni yang lain, yang bisa dihubungi. Namun kemudian dia dengan cepat memotong perkataannya sendiri dan tertawa, lalu bilang kalau Agni penulis yang aneh dan antik, yang mengetik dengan mesin tik dan kertas, jadi kemungkinan besar dia tidak punya nomer lain, apalagi nomer seluler. Agni ikut tertawa. Dia memang tidak punya nomer telepon lain, selain nomor rumahnya Jakarta dan nomor vila di Lembang. Hanya itu. Lalu Pendar sambil bercanda bilang kalau Agni akan tahu kalau dia sudah sampai.
"Kamu akan tahu kalau aku sudah di sana nanti, aku enggak perlu memberitahumu," ujar Pendar.
"Bagaimana caranya?" tanya Agni bingung.
"Kamu akan tahu."
Agni merasa Pendar sudah di sini sejak tadi, itu masalahnya. Dia merasa tidak sendirian. Dia merasa tidak kesepian. Dia pun curiga kalau ada salah informasi tentang di mana seharusnya mereka bertemu. Agni pun mulai berjalan, masuk ke bioskop Megaria, melihat sekilas poster film yang sedang diputar di dalamnya—yang sebenarnya sama saja dengan baliho yang dia lihat di luar tadi—dan dalam hati memilih film mana yang akan dia anjurkan untuk ditonton dengan Pendar nanti kalau mereka sepakat untuk menonton malam ini. Kemarin sore dia melihat artikel review tentang film Badut-badut Kota di majalah wanita yang dia baca. Sepertinya sangat menarik. Dia akan memilih film ini nanti.
Agni kembali berjalan keluar. Satu jam sudah berlalu. Dia kembali ke tempat awal dia menunggu. Bersandar di pagar dan memandang ke arah jalan raya. Matahari mulai memerah, dan sebentar lagi akan tenggelam. Jalanan semakin ramai. Beberapa pasang muda-mudi turun dari Metromini dan masuk di halaman Megaria sambil tertawa-tawa. Agni mengikuti mereka sampai menghilang masuk ke dalam bioskop. Salah satu dari mereka memakai kulot berwarna hitam, seperti yang Dira anjurkan untuk Agni pakai. Dia baru menyadari kalau kulot itu sangat bagus kalau dibawa berjalan, membuat kaki pemakainya terlihat panjang dan potongannya tetap elegan. Agni menyesali mengapa dia tidak mempertimbangkan dua kali saran Dira tadi. Dia malah memilih gaun yang paling dia suka begitu saja—selain karena memang ini gaun paling pas di badannya.
Agni melihat lagi jam tangannya. Sudah satu jam setengah berlalu dan langit mulai hitam. Lampu-lampu jalanan mulai menyala dan udara mulai dingin. Setengah dari perasaannya berbisik kalau Pendar tidak mungkin ingkar. Namun dia juga sudah menunggu lama dan kakinya mulai lelah, begitu juga dengan pikirannya yang menyiapkan banyak sekali kalimat yang akan dia ucapkan pada Pendar kalau lelaki itu ada di hadapannya.
Dia berbisik pada dirinya sendiri, Pendar tidak mungkin ingkar.
Lalu sebagian dari pikirannya menyahut, mungkin saja.
Dia pun mulai membenci pikirannya sendiri.
Lalu hitam malam pun mulai melarut dalam senja.
* * *
![](https://img.wattpad.com/cover/245960039-288-k933217.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...