9. Apostrophe ['] Part-6

21 5 0
                                        

 Mama dan Om Anton pergi menjelang siang dan Papa datang beberapa saat kemudian. Kepergian dan kedatangan yang terasa disengaja berjarak agar tidak berpapasan. Dia menunjukkan gudang yang sudah rapi dan bersih, lalu beberapa kotak kardus besar yang masih tersisa.

"Ini gimana, Pa? Mau dibuang aja atau gimana?" tanyanya.

Papa melihat sekilas lalu menjawab ringan, "Buang saja." Dia lalu melihat pesawat telepon tua di atas meja. "Itu juga," tunjuknya.

Pendar dengan cepat mendekati benda itu dan memegangnya.

"Ini jangan, Pa. Buat hiasan kamar lumayan." Dia mengangkat dan memandanginya lagi—sambungan kabelnya, putaran dengan lubang yang ditandai dengan angka satu sampai sembilan, gagangnya—dan terpikir hal bodoh yang sebelumnya sudah dia urungkan untuk lakukan tapi karena ada Papa di hadapannya, keinginan itu muncul lagi. "Apa ... ini bisa diperbaiki?" tanyanya.

Papa melihat pesawat telepon itu sekilas lalu menjawab, "Itu enggak rusak. Itu cuma sudah lama enggak dipakai. Coba saja sambungkan dengan jaringan telepon di rumah."

"Memang ada?" Pendar bertanya dengan wajah serius.

"Loh, memangnya kamu enggak tahu? Kabel modem internet itu disambungkan ke jaringan telepon." Papa menunjuk bagian bawah pesawat telepon itu. "Ini sambungan ke RJ45."

Pendar menahan keinginannya untuk langsung kembali ke rumah dan mencoba menyambungkan pesawat telepon itu ke jaringan telepon. Dia membuang sisa barang-barang dan membersihkan sekali lagi sisa debu yang ada di lantai gudang. Papa sudah kembali ke ruang tengah ketika Pendar masuk sambil membawa pesawat telepon itu.

"Coba di situ," Papa menunjuk ke arah meja di samping televisi. "Cabut dulu kabel ke modemnya."

Pendar melakukan itu. Dia mencabut kabel ke modem dan menyambungkannya ke pesawat telepon itu lalu mencoba mendekatkan gagangnya ke telinganya. Benda itu agak aneh buatnya karena dia tidak pernah benar-benar memakai pesawat telepon seperti ini sebelumnya. Di rumah ini, jaringan telepon hanya dipakai untuk modem internet dan itu pun baru dia ketahui hari ini. Terdengar suara 'tut' pendek-pendek.

"Ini nyala, Pa," lapornya. "Apa Papa ingat satu aja nomer telepon rumah untuk dihubungi?"

Papa terdiam—terlalu lama untuk ukuran wajar. Pendar kembali meletakkan gagang telepon itu, tapi kemudian dia mendengar Papa menyebutkan angka-angka yang kemudian dia putar satu per satu di pesawat telepon itu. Rasanya asyik. Seperti ada di film tahun sembilan atau delapan puluhan.

"Nol ... dua ... dua ... delapan ... enam ... dua ...," ujar Papa seolah mendiktekan nomer itu.

Pendar ingin bertanya nomer siapa itu sebenarnya tapi suara 'tuuut' panjang membuatnya terdiam. Itu kode sambungan. Dia menunggu beberapa lama. Tidak diangkat.

"Itu nomer rumah teman Papa. Sudah lama sekali. Bisa jadi saluran teleponnya sudah diputus," katanya kemudian. Dia memperhatikan Pendar yang seolah mendapat mainan baru.

Dia mencoba sekali lagi—dan sekali lagi karena penasaran sekali. Papanya sudah berpindah ke kamar tamu untuk beristirahat ketika Pendar meletakkan gagang telepon itu. Sayangnya, penasarannya belum juga mati.

"Ah, sekali lagi," ujarnya.

Dia mencoba sekali lagi dan terdengar suara telepon itu diangkat di ujung sana. Pendar kaget. Dia berusaha menahan kekagetannya itu dengan langsung bertanya.

"Halo? Ada orang di sana? Halo?!" Dia menyesali suaranya yang terlalu keras—sepertinya. Dia mengulanginya lagi ketika tidak ada jawaban, "Halooo?! Ini nyala enggak, sih? Nyambung enggak?!"

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang