Agni merasa lebih dari bodoh, karena itu dia menghapus satu air matanya yang jatuh dan meninggalkan jejak di pipinya sebelum membuka pagar rumah. Dia tersenyum lebar—atau lebih tepatnya; memaksa dirinya tersenyum lebar—lalu masuk ke dalam. Menekan bel dan menunggu siapa pun yang sedang ada di rumah untuk membukakan pintu. Namun waktu di antara dia menekan bel dan pintu yang dibuka hampir bersamaan dan tanpa jeda, itu membuat Agni sedikit kaget. Wajah Mama muncul dari balik pintu dengan senyum lebar.
"Udah ditunggu dari tadi," ujarnya.
Mama menarik tangan Agni dan memaksanya masuk ke ruang tamu. Agni terperangah ketika melihat ada orang lain di sana, lelaki, yang juga tersenyum sama lebarnya dengan mamanya, sedang menghadap ke arahnya—yang mana, itu artinya, senyum itu ditujukan padanya. Agni tersenyum balik—setengah terpaksa.
"Fajar," ucapnya. "Halo."
Fajar berdiri dan mengulurkan tangannya. Agni menyalami lelaki itu dan menurut saja ketika Mama sedikit mendorong punggungnya agar dia memilih bangku yang ada di sebelah Fajar. Agni pun duduk di situ, tepat di sebelah Fajar, yang entah mengapa belum juga berhenti tersenyum.
"Aku ke vila," ujarnya memulai cerita panjang tentang mengapa dia bisa sampai ke sini, "dan kamu enggak ada di sana. Kata Bi Niken, kamu sedang pulang ke Jakarta. Aku lagi nginep di Lembang beberapa hari, udah nyewa vila lain, bukan vila yang kemarin aku tempati. Sebenarnya aku balik ke sana cuma mau ketemu kamu, sih. Waktu kamu enggak ada, aku kecewa juga."
Dia berhenti sebentar karena Mama berdiri dan meninggalkan mereka berdua di ruang tamu dengan alasan; mau mengambilkan minum untuk Agni. Namun sampai beberapa lama kemudian, dan Agni memang menunggu minum yang dijanjikan itu, Mama tidak juga muncul. Sementara Fajar beberapa kali menyesap teh yang disajikan untuknya sambil bercerita.
"Jadi aku minta nomer teleponmu di Jakarta dan buru-buru balik ke sini. Waktu aku nelpon tadi sore, yang angkat mamamu. Dia memberikan alamat rumah ini dan aku datang, deh. Tadi aku sudah minta maaf kalau aku membuatmu jatuh dari sepeda."
"Kamu enggak salah. Itu aku yang enggak hati-hati dan sepedanya memang rusak," kata Agni menyahut. Dia tidak ingin diam saja sementara Fajar bicara banyak sekali. Entah apa yang lelaki ini katakan pada Mama sebelum dia datang tadi karena Mama kelihatan senang sekali ketika Agni pulang. Lebih merisaukan lagi; Mama kelihatan oke-oke saja meninggalkannya dengan Fajar berdua di ruang tamu ini.
"Aku mau ketemu sama kamu lagi," ujarnya, "Eh, ini bukan karena aku tahu kamu penulis terkenal atau apa—"
Agni memutus perkataan Fajar sampai di sana.
"Penulis terkenal bagaimana maksudmu?" tanya Agni.
"Aku mau cerita ini...."
"Cerita, pleaseee." Agni mengatakan itu bukan hanya karena dia tidak ingin bicara lebih panjang—karena tenggorokannya kering dan kakinya lelah—tetapi karena dia juga penasaran.
"Setelah kita bertemu terakhir kali, adikku cerita kalau dia kenal kamu. Eh, bukan kenal, deh. Dia tahu kamu. Dia membaca novel-novelmu dan katanya kamu sangat terkenal. Jadi aku mulai pinjam novel-novel kamu yang dia punya dan mulai membaca. Kamu .... Berbakat."
Karena itu pujian, Agni menyahut, "Makasih. Bakat itu nonsense."
"Aku suka tulisanmu."
"Makasih."
"Aku juga suka kamu."
"Ma—"
"—eh, aku ingin berteman denganmu. Itu saja, kok!"
"Oke. Makasih."
Mereka terdiam. Agni tidak tahu apa lagi yang harus dia katakan pada Fajar. Dia pun tersenyum manis—setengah dipaksa.
"Apa Mama sudah cerita kalau aku diselingkuhi beberapa minggu sebelum akad nikah?" tanya Agni dengan suara dingin. Dia menatap Fajar lekat-lekat dan lelaki itu tampak serbasalah.
"Apa Mama sudah cerita kalau aku ke Lembang untuk lari dari kenyataan bahwa aku terima-terima saja selama bertahun-tahun di selingkuhi di belakang punggungku sendiri tanpa tahu dan tanpa curiga sedikit pun?"
"Eh? Agni...."
"Apa Mama sudah cerita kalau aku selalu yang ditinggalkan? Janji yang diberikan padaku, selalu diingkari?"
Agni lalu menangis.
"Ag—agni!"
Fajar terdiam melihat Agni. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Karena itu, dia meraih tangan Agni yang dia salami tadi dan menggenggamnya erat-erat.
"Agni...," katanya lembut. "Ya, sudah. Menangis saja."
Agni menangis. Tangis yang sudah dia tahan sejak di dalam taksi tadi.
"Tentang Adam, mamamu sudah cerita," ujar Fajar, setengah berbisik di telinganya. "Tentang kamu yang kabur ke vila itu, mamamu juga sudah cerita. Enggak apa-apa, kok, Agni. Kita jadi ketemu, kan."
Agni membiarkan tangisnya makin pecah. Dia tahu Mama berdiri di depan mereka dan hanya bisa memandangi mereka berdua tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mama pasti ingin sekali bertanya tapi dia tahan karena dia melihat wajah Agni mulai basah dengan air mata. Mama meletakkan satu gelas air dingin di meja dan berjalan pelan menghilang di balik tembok ruang tamu. Dia masih memperhatikan Agni dan Fajar dari sana. Menunggu dan mengamati sampai dia bisa paham apa yang sedang terjadi.
"Kalau tentang yang terjadi sore ini, aku enggak tahu. Kamu mau cerita?" tanya Fajar lembut. Suaranya begitu menenangkan. Agni masih terisak.
Namun, dia masih juga merasa kalau Pendar tidak ingkar. Dia masih juga merasa kalau Pendar tidak meninggalkannya. Anehnya, dia masih juga merasa kalau Pendar sama berharganya seperti tadi siang. Semua tentang Pendar masih ingin dia jaga karena terlalu berharga, sampai-sampai dia tidak ingin banyak orang yang tahu.
"Aku enggak mau cerita," jawab Agni. "Aku mau minum."
Dia mendengar langkah kaki Mama terburu-buru berjalan ke belakang setelah dia mengatakan itu. Lalu satu gelas air dingin diulurkan Fajar tidak lama kemudian ke arahnya.
"Benar, enggak mau cerita?" tanya Fajar sekali lagi. Dia menunggu gadis itu menghabiskan satu gelas air dalam beberapa teguk.
"Benar," jawab Agni yakin.
Dia tahu kalau setelah ini, dia harus menceritakan tentang Fajar pada Mama, Papa, dan Dira. Tindakannya yang menangis di depan Fajar ini, bisa jadi bukan hanya membuat Mama bingung, tetapi juga terkejut. Dia akan memikirkan bagaimana menjelaskan itu nanti. Nanti.
"Aku masih menunggu kalau kamu mau cerita," ujar Fajar lagi.
"Aku mau nonton Badut-badut Kota," kata Agni.
"Kapan? Besok?" tanya Fajar antusias. "Ada film lain juga, kan, yang lagi tayang."
"Aku maunya itu."
"Oke."
"Aku mau ke Ragusa."
"Ragusa yang kedai es krim Italia itu?"
"Iya."
"Apa ini kencan?" tanya Fajar. Agni mengerti kalau Fajar perlu kepastian dan Agni memberikan apa yang diinginkan lelaki itu.
"Iya. Ini kencan," jawabnya.
"Kapan? Malam ini masih ada waktu kalau kamu mau. Ini masih kurang dari jam delapan malam."
"Besok. Ini sudah terlalu malam untuk nonton. Lagian, aku udah berantakan begini."
"Baiklah."
"Jangan di Megaria."
"Blok M?"
"Oke. Blok M." Agni setuju.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Ampersand
RomanceSebuah telepon salah sambung mempertemukan Agni dan Pendar. Mereka lalu bertukar cerita, saling berbagi hidup lewat kabel yang mengantarkan suara. Pendar yang orangtuanya sedang dalam proses perceraian, lalu pacarnya yang mulai menjauh karena kesibu...
