24. Space [ ] Part-5

11 4 0
                                        

 Bi Niken setengah berlari menuju ke ruang tamu ketika pintu diketuk berkali-kali. Sebelumnya, terdengar suara mobil memasuki pekarangan depan; bunyi bebatuan yang menutupi carport terlindas ban, derit rem, bunyi pintu mobil dibuka, dan kemudian—bunyi yang lebih kencang ketika—pintu itu ditutup. Agni mendengarkan sambil merajut di ruang tengah. Kedua tangannya sibuk, dia menunggu sampai Bi Niken membukakan pintu sambil merapikan apa yang sedang dia kerjakan. Susah untuk berhenti di tengah-tengah baris rajutan karena dia akan lupa dengan hitungan polanya. Agni memilih untuk menyelesaikan sampai ujung baru meninggalkan rajutan itu.

Namun dia belum sempat berdiri ketika sosok itu masuk dan berdiri di depannya. Rambut panjangnya yang tergerai, matanya yang bulat, alisnya yang terangkat sebelah—yang membuat wajahnya jadi terlihat menyeramkan—dan tingginya yang semampai membuat Agni terdiam. Tidak ada gunanya membela diri karena Agni tahu mengapa gadis itu ada di sini sekarang—dan itu bukan sekadar karena dia ingin bertemu dengannya, gadis itu ingin memarahinya.

"Aku sudah kasih kabar ke Mama," Agni buru-buru membela diri, "Papa juga sudah setuju."

"Bullshit!" mata gadis itu makin membulat. Kedua tangannya terlipat di siku.

Agni ingin bangun agar perdebatan—ya, sebentar lagi akan ada perdebatan yang pasti akan dimenangkan gadis itu, Agni tahu—ini berjalan seimbang. Tinggi badan Agni tidak sama dengan gadis itu, dia lebih pendek hampir lima belas sentimeter, dan kalaupun dia berdiri, dia harus sedikit mendongak agar mata mereka bisa bertemu. Baru saja dia ingin bangkit, gadis itu mendekat selangkah dan Agni membeku lagi di posisi duduknya.

"Lo harus balik!" Agni tahu kalau itu adalah kalimat perintah.

"Gue balik setelah semua selesai," jawab Agni.

"Apa yang selesai?" tanyanya. Dia menunduk dan memicing melihat ke arah rambut Agni yang dikat asal di atas tengkuknya.

"Semua ini selesai," jawab Agni. "Gue mau ten—"

"Bodo amat!" Suaranya makin naik. "Lo tahu enggak, kalau si Adam kurang ajar itu sekarang udah baik-baik aja? Cuma lo yang menderita sendirian."

"Gue enggak sendirian?"

Gadis itu merentangkan tangannya. "Tinggal di vila kayak gini dua bulan lebih, apa namanya kalau bukan—"

"Bu—bukan?" tanya Agni karena kalimat gadis itu terputus.

"Cemen," jawabnya.

Agni menarik napasnya. Dia tidak ingin mendebat lagi. Gadis itu menarik tangannya dan memeluk Agni beberapa lama.

"Dia udah enggak kenapa-kenapa. Minggu lalu gue ketemu sama dia waktu gue ke Ancol sama temen-temen gue. Dia jalan sama cewek. Kalau enggak karena temen-temen gue megangin tangan gue, mungkin udah abis itu cowok gue labrak," ceritanya sambil memeluk Agni. "Ceweknya juga bukan cewek selingkuhannya, gue yakin. Yang ini agak bule."

Agni melepaskan pelukan itu dan menatap gadis itu lekat-lekat.

"Itu udah enggak jadi masalah sekarang," ujarnya.

"Kalau emang udah enggak jadi masalah, harusnya lo enggak terus-terusan ada di sini dan menyembunyikan diri lo. Tunjukin kalau lo baik-baik aja."

"Gue nulis."

"Lo sakit hati."

"Gue sakit hati, tapi itu udah enggak apa-apa," ralat Agni.

"Balik, Kak," ujar gadis itu, kali ini dengan suara memelas.

"Dira," Agni menyebut nama gadis itu pelan, "gue masih perlu ada di sini."

"Berapa lama lagi?" tanyanya. "Biasanya kalau lo kesel sama gue, lo panggil gue 'Adi'," dia merajuk.

Gadis itu bernama Adira—dan kalau mereka sedang bertengkar, Agni akan memanggilnya dengan 'Adi' hanya untuk mengganggu gadis itu karena dia sangat tidak suka dipanggil seperti itu.

"Kita enggak lagi berantem. Gue juga enggak lagi kesel sama lo," jawab Agni.

"Pleaseee ... beberapa hari aja," ujar Dira masih belum menyerah. "Lusa ulang tahun lo."

Agni terdiam beberapa lama. Memejamkan matanya dan mencari tahu ke dalam hatinya, apa dia sudah siap mengatakan apa pun yang akan keluar dari mulutnya setelah ini. Dia memutuskan kalau dia bisa. Dia harus bisa karena dia sudah mengatakan pada Dira kalau dia baik-baik saja.

"Lusa harusnya gue berangkat bulan madu," ujarnya. Agni tahu masih ada getaran di suaranya ketika dia mengatakan kalimat itu dan juga sedikit perasaan dingin dan pedih di dadanya.

"Oh! Persetan itu semua!" teriak Dira. "Lusa lo ulang tahun dan gue mau lo ada di rumah karena begitu aturannya. Begitu tradisinya. Kita selalu begitu dan tahun ini, kita akan begitu!"

"Gue—"

Dira memotong ucapan Agni dengan cepat. "Gue udah nyiapin semuanya."

"Gue masih harus nulis," Agni kehabisan alasan.

"Nulis di rumah. Seumur hidup lo, lo nulis di rumah dan gue terganggu sampai-sampai gue harus minta pindah kamar sama Papa. Sekarang gue enggak peduli sama suara mesin tik lo yang kencengnya kurang ajar itu!"

Agni terdiam. Satu butir air mata jatuh. Dia menunduk.

"Kak, jangan nangis. Sori sori! Kaaak!"

Dira memeluk lagi kakaknya itu dan Agni menangis pelan. Agni tidak tahu mengapa dia menangis—dia hanya ingin.

Hari ini, dia hanya ingin.

* * *

AmpersandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang